Perayaan malam Nisfu Sya’ban telah menjadi tradisi yang hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia. Malam yang jatuh pada pertengahan bulan Sya’ban ini dipandang sebagai momen istimewa untuk memperbanyak doa, memohon ampunan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun, di balik semaraknya amalan tersebut, muncul suara-suara yang mempertanyakan keabsahannya, terutama dari kalangan yang berpegang pada pemikiran Wahabi. Mereka beranggapan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban merupakan bid’ah yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.
Tulisan ini hadir untuk memberikan counter atau tanggapan terhadap pemikiran tersebut dengan pendekatan yang berlandaskan pada dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadis, serta pandangan ulama-ulama terpercaya.
Penjelasan ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan perpecahan, melainkan sebagai bentuk klarifikasi agar umat Islam dapat memahami duduk permasalahan dengan adil dan bijaksana. Melalui kajian yang komprehensif ini, diharapkan pembaca dapat melihat bahwa tradisi perayaan Nisfu Sya’ban, selama tidak diiringi dengan keyakinan yang bertentangan dengan syariat, merupakan bagian dari upaya memperbanyak amal kebaikan yang telah dianjurkan dalam Islam.
Salah satu ulama terkemuka yang sering mengkritisi perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah Abdul Aziz bin Baz, seorang tokoh yang dikenal berafiliasi dengan pemikiran Wahabi. Menurutnya, perayaan malam Nisfu Sya’ban tergolong sebagai amalan bid’ah yang tercela.
Pandangan ini didasarkan pada argumentasi bahwa tidak ditemukan satu pun riwayat sahih dari Rasulullah ﷺ yang secara khusus menjelaskan keutamaan malam tersebut. Oleh karena itu, menurutnya, mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan perayaan atau amalan tertentu tanpa landasan dalil yang valid merupakan praktik yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Berikut pernyataan Abdul Aziz bin Baz
وقد عرفت آنفا من كلام العلماء أنه لم يثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا عن أصحابه رضي الله عنهم شيء في فضل ليلة أول جمعة من رجب، ولا في ليلة النصف من شعبان، فعلم أن الاحتفال بهما بدعة محدثة في الإسلام، وهكذا تخصيصها بشيء من العبادة، بدعة منكرة
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya dari penjelasan para ulama, tidak terdapat riwayat yang sahih dari Rasulullah ﷺ maupun dari para sahabatnya RA mengenai keutamaan malam Jumat pertama di bulan Rajab, begitu pula pada malam Nisfu Sya’ban. Maka dipahami bahwa perayaan pada kedua malam tersebut merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam Islam. Demikian juga, mengkhususkan kedua malam tersebut dengan ibadah tertentu merupakan bid’ah yang tercela.
Seandainya golongan Wahabi yang dipelopori oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz bersedia membuka diri terhadap pandangan para ulama terdahulu mengenai malam Nisfu Sya’ban, mereka akan mendapati adanya perbedaan pendapat yang telah berlangsung sejak masa para Tabi’in sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Rajab dalam Lata’if al-Ma’arif.
Perbedaan ini mencerminkan keragaman dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari generasi salaf. Sebagian ulama Tabi’in dari wilayah Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, dan Luqman bin Amir, sangat memuliakan malam Nisfu Sya’ban.
Mereka mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah sebagai bentuk pengagungan terhadap malam tersebut. Pandangan dan praktik serupa juga ditemukan di kalangan ulama dari wilayah Bashrah. Sebaliknya, ulama dari wilayah Hijaz menunjukkan sikap yang berbeda. Mereka menolak praktik perayaan yang dilakukan sebagian kaum Muslimin pada malam itu dan menganggapnya sebagai bentuk bid’ah. Di antara tokoh yang menganut pandangan ini adalah ‘Atha’, Ibn Abi Mulaikah, serta sejumlah murid Imam Malik di Madinah.
Kemudian pernyataan Ibn Baz mengenai tidak adanya satupun Riwayat yang sahih dari Rasulullah mengenai keutamaan dan kemuliaan malam Nisyfu Sya’ban tidaklah benar, Sebagian Riwayat hadis mengenai keutamaan malam Nisyfu Sya’ban memanglah lemah bahkan ada yang sampai kepada taraf Maudhu’ namun masih ada sebagian Riwayat terkait keutamaan malam Nisyfu Sya’ban yang diterima dikalangan ulama hadis, berikut diantaranya
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ»
Artinya: Dari Mu’aż bin Jabal, dia berkata: Rasûlullah bersabda: “Sesungguhnya Allah memerhatikan hamba-Nya dengan penuh rahmat pada malam Nisfu Syaban, kemudian Dia akan mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik dan musyāhin (orang yang dalam hatinya ada kebencian antar sesama umat Islam). (HR. At-Tabrānī: 16639).
Ada beberapa ulama hadis yang memberikan komentar kepada kualitas sanad dari hadis di atas, diantaranya adalah imam Ibnu hibban yang juga meriwayatkan hadis ini dalam Sahih-nya dan beliau menilai hadis dengan jalur ini sahih, senada dengan itu Al-Hafiz al-Haisamī berkata dalam Majmaʻiz-Zawā’id: “Hadis tersebut diriwayatkan oleh at-Tabrānī dalam al-Mu’jamil-Kabīr dan al-Mu’jamil-Ausat, dan para perawinya dapat dipercaya.”
Selain itu Hadis di atas diriwayatkan dari beberapa jalur. Diantaranya
- jalur Abu Hurairah oleh al-Bazzār dalam Musnad, 2/436,
- jalur Abū Šaʻlabah al-Khusyanī oleh at-Tabarānī dalam Majma’uz-Zawā’id, 8/65, dan Ibnu Abī ‘Āşim dalam as-Sunnah, 1/223;
- jalur ‘Auf bin Mālik oleh al-Bazzar, 2/463; 4) jalur Abū Bakar aş-Şiddīq oleh Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, 90, dan Ibnu Abī ‘Āşim, no. 509,
- jalur Abū Mūsa oleh Ibnu Majah, 1/446, dan al-Lālakā’ī, no. 763;
- jalur Sayidah ‘A’isyah oleh Ahmad, 6/238, al-Tirmizī, 3/107, dan Ibnu Majah, 1/445.
Keberadaan jalur yang berbeda-beda ini tentunya akan saling menguatkan antara satu sama lain, bahkan hadis dhaif pun akan menjadi maqbul dengan adanya dukungan dari beberapa jalur yang banyak, sebagaimana yang disampaikan Imam Nawawi
وقال النووي في (شرح المهذب): إن الحديث إذا روي من طرق ومفرداتها ضعاف يحتج به، على أنا نقول: قد شهد لمذهبنا عدة أحاديث من الصحابة بطرق مختلفة كثيرة يقوي بعضها بعضا، وإن كان كل واحد ضعيفا، لكن يحدث عند الاجتماع ما لا بحدث عند الانفراد، على أن بعض طرقها صحيحة وذلك يكفي للاحتجاج
Artinya: Imam Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab berkata: “Sesungguhnya hadis jika diriwayatkan melalui berbagai jalur dengan perawi-perawi yang lemah, maka tetap dapat dijadikan hujah. Selain itu, kami mengatakan bahwa banyak hadis dari para sahabat yang menjadi pendukung mazhab kami, diriwayatkan melalui berbagai jalur yang banyak dan saling menguatkan satu sama lain. Meskipun setiap jalur secara individu lemah, namun ketika berkumpul, jalur-jalur tersebut menghasilkan kekuatan yang tidak dimiliki saat berdiri sendiri. Terlebih lagi, sebagian jalurnya adalah sahih, sehingga hal itu cukup untuk dijadikan hujah.
Bahkan lebih dari itu, Al-Bani seorang ulama dari kalangan wahabi sendiri juga menilai hadis di atas dengan predikat Shahih, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam karyanya Silsilah al-Ahadis as-Sahihah
حديث صحيح، روي عن جماعة من الصحابة من طرق مختلفة يشد بعضها بعضا وهم معاذ ابن جبل وأبو ثعلبة الخشني وعبد الله بن عمرو وأبي موسى الأشعري وأبي هريرة وأبي بكر الصديق وعوف ابن مالك وعائشة
Ini adalah hadis sahih. Diriwayatkan dari banyak sahabat dengan jalur riwayat yang berbeda-beda yang saling menguatkan. Mereka adalah Mu’aż bin Jabal, Abū Ša’labah al-Khusyanī, ‘Abdullah bin ‘Amr, Abū Mūsā al-Asy’arī, Abū Hurairah, Abū Bakar aş-Şiddiq, ‘Auf bin Malik dan Sayidah ‘A’isyah.
Tidak hanya Al-Albani, seorang ulama yang sering dijadikan rujukan oleh kalangan yang diidentifikasi dengan gerakan Wahabi. Ibn Taimiyyah (1263–1328 M), juga mengakui keutamaan malam tersebut. Dalam karya-karyanya, Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa terdapat riwayat-riwayat yang menunjukkan adanya keutamaan pada malam Nisfu Sya’ban, meskipun ia menegaskan pentingnya menjauhi praktik-praktik ibadah yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat.
Pengakuan Ibn Taimiyyah ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai perayaan atau pengkhususan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban bukanlah hal yang sederhana, bahkan di kalangan ulama yang dikenal kritis terhadap amalan-amalan yang dianggap sebagai bid’ah. Berikut pernyataan Ibn Taimiyyah
ومن هذا الباب: ليلة النصف من شعبان، فقد روى في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي أنها ليلة مفضلة وأن من السلف من كان يخصها بالصلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومن العلماء: من السلف من أهل المدينة، وغيرهم من الخلف، من أنكر فضلها، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث: «إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم كلب» “. وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثير من أهل العلم، أو أكثرهم، من أصحابنا وغيرهم -على تفضيلها، وعليه يدل نص أحمد، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفية
Artinya: Termasuk dalam bab ini adalah malam Nisfu Syaban. Telah diriwayatkan tentang keutamaannya dalam beberapa hadis marfū’ dan āśār yang menunjukan bahwa malam tersebut adalah malam yang diberi keutamaan, dan bahwa para salaf ada yang mengkhususkan malam tersebut dengan salat. Puasa bulan Syaban telah dijelaskan dalam hadis-hadis şahīh. Sebagian ulama salaf Madinah mengingkari keutamaannya dan menilai lemah hadis-hadis tentang malam Nisfu Syaban, seperti hadis: “Sesungguhnya Allah mengampuni pada malam Nisfu Syaban lebih dari hitungan bulu domba Bani Kalb”. Mereka berkata: Tidak ada perbedaan antara malam itu dengan malam lainnya. Namun kebanyakan ahli ilmu, bahkan mayoritas mereka dari ulama mazhab kami dan lainnya berpendapat adanya keutamaan malam Nisfu Syaban. Naş al-Imām Ahmad juga menunjukkan pada hal itu, karena beberapa hadis tentangnya serta āśār-āśār para ulama salaf.
Dengan demikian, pendapat yang disampaikan oleh Abdul Aziz bin Baz yang beranggapan bahwa tidak terdapat satu pun riwayat yang dapat diterima mengenai keutamaan malam Nisfu Sya’ban sehingga perayaan pada malam tersebut dianggap sebagai bid’ah tidak dapat dipertahankan.
Pendapat ini runtuh jika dihadapkan dengan sejumlah riwayat yang membahas keutamaan malam ini, meskipun sebagian diperselisihkan status kesahihannya, tetapi mendapatkan penguatan dari sejumlah hadis yang dinilai sahih oleh para ulama.
Ulama juga ada yang mengingkari perayaan di malam Nisyfu Sya’ban yang biasa dilakukan di kalangan masyarakat Kami tidak mempersalahkan siapa pun yang berpendapat bahwa mengadakan perayaan tertentu di malam ini merupakan sebuah bid’ah.
Pendapat tersebut lahir dari hasil ijtihad, pemikiran, dan penelitian yang bersangkutan, dan setiap orang memang memiliki hak untuk berpendapat, merenungkan, serta mengambil keputusan sesuai pemahamannya, selama tujuannya adalah mencari kebaikan dan berusaha mencapainya. Namun, permasalahan yang sering muncul di kalangan sebagian pihak yang menolak (praktik ini) adalah kecenderungan mereka untuk tidak menyampaikan seluruh fakta secara utuh kepada masyarakat.
Mereka hanya memaparkan pendapat mereka sendiri, lengkap dengan dalil dan metode pengambilan kesimpulannya, seolah-olah itu adalah satu-satunya kebenaran yang ada. Hal ini membuat masyarakat umum, termasuk kalangan terpelajar yang tidak mendalami permasalahan ini secara mendalam, beranggapan bahwa tidak ada pandangan lain selain yang mereka sampaikan, sedangkan pendapat yang berbeda dianggap salah atau bahkan dusta.
Sikap seperti ini pada hakikatnya adalah bentuk manipulasi informasi yang tidak sesuai dengan prinsip kejujuran ilmiah. Dalam kajian keilmuan yang sehat, seharusnya semua pendapat yang sah disampaikan secara adil, disertai dalil dan argumentasi yang objektif, sehingga masyarakat dapat memahami perbedaan pendapat secara proporsional tanpa terjebak dalam penggiringan opini yang menyesatkan
Penulis: Ma’sum Ahlul Choir
Editor: Thowiroh

