Friedrich Nietzsche (1844-1900) merupakan filsuf yang cukup populer dalam satu abad terakhir. Ia hadir bersama Karl Marx dan Charles Darwin. Ketiganya menjadi rujukan banyak kalangan. Hingga kini, gagasan Nietzsche masih memiliki dampak yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dalam diskusi-diskusi mahasiswa atau dosen di berbagai kampus di tanah air, nama pria asal Jerman ini sering disebutkan.
Tak bisa dipungkiri, Nietzsche juga menjadi salah satu filsuf yang paling sering disalahpahami, terutama oleh orang-orang yang belum pernah membaca karya-karyanya. Terkhusus para oknum fundamentalis agama yang membenci pemikirannya. Oleh karenanya, tulisan ini hadir mencari titik temu antara keduanya.
Sekilas Nietzsche memang tak pernah membahas tentang Ma’had Aly. Dikarenakan instansi di bawah naungan Kementerian Agama RI ini baru saja resmi diakui 2016. Meskipun begitu, pisau analisis Nietzsche yang berbicara secara umum bisa digunakan untuk melihat Ma’had Aly dari sisi yang berbeda dan baru.
Dalam yudisium wisuda ke-5 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng tahun 2019, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng saat itu KH Salahuddin Wahid mengatakan tujuan utama pendirian Ma’had Aly untuk kaderisasi ulama. Hal ini dikarenakan di fakultas-fakultas di perguruan tinggi Islam yang negeri dianggap masih belum cukup. Banyak lulusan dari perguruan tinggi ini yang kurang fokus sehingga banyak hal terkait hukum Islam tidak dimengerti secara utuh. Perjalanan pengakuan Ma’had Aly sebagai perguruan tinggi resmi cukup lama. Kiai Salahuddin mencatat tak kurang dari 10 tahun berusaha agar lulusan Ma’had Aly memiliki ijazah yang setara dengan perguruan tinggi Islam lainnya.
Baca Juga: Dirjen Pendis Minta Maha Santri Ma’had Aly Terbuka dengan Kemajuan Zaman
Kenapa Ma’had Aly harus ada?
Jawabnya mudah tapi prakteknya berat, karena Ma’had Aly kelanjutan dari pendidikan diniyah di pesantren dan tahu cara mendidik calon ulama. Ma’had Aly lebih fokus, disebabkan setiap satu Ma’had Aly hanya boleh buka satu jurusan. Rujukannya juga memakai kitab kuning karya ulama terdahulu dan karya terbaru. Hal yang sama jarang dilakukan oleh perguruan tinggi Islam lainnya.
Ketika kita ingin mendidik ulama maka sebetulnya harus membiasakan mereka dengan Alquran, hadis dan karya ulama besar baik berbahasa Arab atau non arab. Namun, umumnya materi agama Islam banyak berbahasa Arab maka seorang ulama juga harus pandai membaca literatur klasik maupun kontemporer berbahasa Arab.
Kadang di kampus lain, banyak materi yang diajarkan sebenarnya tidak berkaitan dengan jurusan. Tetap dimasukkan karena aturan yang ada, maka dipaksakan diberikan. Ini ibarat hiasan yang memperindah tapi meremehkan substansinya. Alhasil, lulusan perguruan tinggi model begini jadi sosok yang tahu sedikit dari banyak hal. Ilmunya serba menanggung dan kadang bisa menyesatkan.
Ma’had Aly begitu tegas memberikan garisan syarat masuk dan kelulusannya. Semisal, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng memberikan syarat bagi yang ingin masuk Ma’had Aly harus bisa ilmu dasar baca kitab kuning seperti nahwu, sharaf dan lancar baca Alquran. Syarat kelulusannya pun tak kalah, sebelum wisuda maha santri harus hafal minimal 6 juz dari Alquran dan ratusan hadis yang ditentukan kampus. Terlebih lagi, dalam proses belajar mengajar menggunakan bahasa pengantar bahasa Arab.
Maha santri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari setiap hari mempelajari kaidah hadis dari kitab rujukan utama seperti Shohih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Dawud dan disambungkan dengan kitab digital ala maktabah syamilah. Batas-batasan ini membuat Ma’had Aly benar-benar serius sebagai wadah melahirkan para ulama. Inilah yang kita inginkan. Ulama yang dilahirkan dari kedalaman ilmu dan keluasan wawasan. Setiap fatwa yang dikeluarkan memiliki dasar keilmuan yang kuat. Bukan hanya mengandalkan ilmu “katanya” dan “google.”
Ma’had Aly, secara umum memberikan alternatif pilihan yang seksi dibandingkan kampus lain yang kerap menambahkan entitas-entitas tak esensial dalam sistem belajarnya, yang justru, sebetulnya, merusak dan menyemari citarasa ulama hakiki, memiskinkan kemampuan menggali ilmu berdasarkan kaidah-kaidah yang tepat. Semisal Ma’had Aly Probolinggo yang fokus di ilmu tafsir. Maka secara otomatis para santri setiap waktu dibiasakan bersahabat dengan pakar tafsir, mengkaji pemikirannya, merumuskan hal baru terkait tafsir Alquran.
Meskipun Ma’had Aly sedikit ketat, tetapi kita berterima kasih kepadanya karena berhasil mewujudkan apa yang betul-betul kita inginkan. Terutama menyikapi bermunculannya tokoh agama dadakan di Indonesia. Meskipun mereka menyandang gelar sarjana, tapi proses belajarnya tidak seperti Ma’had Aly. Tak jarang, seusai wisuda ada wisudawan yang belum bisa baca tulis Alquran. Tentu kita tak perlu menyalahkan siapapun jika kemampuan lulusannya begitu. Karena setiap manusia punya potensi yang beda pula. Hanya saja, lulus seperti ini ada baiknya tak berfatwa atau mendaku sebagai ulama.
Nietzsche pernah mengungkap segala motivasi manusia dalam satu premis: “Kehendak akan kuasa!”. Perkataan Nietzsche ini cocok dengan banyaknya orang berperan sebagai ulama karena ingin dimuliakan dan dekat dengan kekuasaan. Andalannya hanya ijazah perguruan tinggi, tapi nol dalam ilmu.
Kehendak akan kuasa kerapkali bertopengkan moralitas, kesantunan dan kesopanan, kepandaian, atau apa pun itu berbagai kualitas nilai yang dianggap lebih dan dihargai dalam masyarakat. Lewat perspektif Nietzsche, seorang pemuka agama yang alim dan kalem bisa dituduh memilki kehendak akan kuasa pada umatnya. Hal ini tak aneh bila melihat banyak orang yang mengaku ulama dan berpakaian layaknya ulama lalu melakukan deklarasi mendukung salah satu calon pemimpin. Bila hanya deklarasi tidak begitu bahaya. Hanya saja, terkadang para ulama dadakan ini ikut menyebarkan kebencian dan suka terjadi perpecahan. Sikap ini tentu tak cocok dengan warisan Nabi Muhammad, padahal ulama adalah pewaris para nabi.
Saat pernyataannya dikritik, orang yang mirip dengan ulama ini langsung menjelaskan jika ia lulus dari perguruan tinggi Islam. Memiliki ijazah sah dan resmi oleh negara. Jika mengacu pada ucapan budayawan Ainun Najib, “Ijazah bukan tanda kamu pernah berpikir, ijazah tanda kalau kamu pernah kuliah.”
Andai saja saat itu Nabi Muhammad dakwah dengan cara mencaci maki, membunuh karena alasan tidak totalitas menjalankan perintah agama, menjarah dan memecah belah umat mungkin orang tidak tertarik masuk Islam. Bisa jadi juga Islam hanya diikuti oleh nabi saja. Sebab saat itu semua orang masih awam tentang Islam.
Kekuasaan membuat banyak perubahaan pada sikap seseorang tak terkecuali ulama. Oleh karenanya, ulama harus melewati proses pembelajaran yang serius dan mendalam. Ulama tidak bisa dididik setengah hati. Harus totalitas. Supaya misi yang dibangun bukan keinginan pribadi untuk berkuasa semata tapi memang melanjutkan syiar dan dakwah nabi. Syi’ar memang lebih sempurna jika lewat kekuasaan. Namun, kekuasaan tersebut harus diraih dengan cara yang tidak menimbulkan kerusakan baru. Sesuai kaidah, dar’ul mafasid muqaddamun’ala jalbi al-mashalih.
Nietzsche pernah berkata, seringkali usaha untuk mencapai kuasa dilakukan dengan membalikkan nilai, norma, atau budaya yang ada—bahkan peradaban. Ketika seseorang tak mampu berkuasa lewat sarana kekerasan dan kehewanan, ia akan berupaya membalikkan semua itu pada nilai-nilai kasih sayang dan “kecengengan”. Lewat nilai-nilai baru inilah sesungguhnya seseorang menjadikannya cara untuk berkuasa. Kita bisa lihat ketika menjelang pemilu, para calon berusaha menarik dukungan sebanyak-banyak dari tokoh agama. Mereka menjanjikan begitu banyak program dan uang. Bagi tokoh agama atau ulama yang tidak kuat, seringkali mereka terbawa arus permainan politikus. Bahkan kadang berbalik menjadi pendukung fanatiknya.
Dalam hal ini, Ma’had Aly tampil sebagai “pengubah jalannya permainan”. Ia menerabas pakem-pakem dunia persopayaman konvensional, menjungkirbalikkannya, dan membuat definisinya sendiri tentang sosok ulama, yaitu sosok yang memang seyogyanya hadir di masyarakat dengan ilmu yang mumpuni dan membimbing ke arah lebih baik. Dengan cara inilah Ma’had Aly merebut pasar dunia keulamaan tanah air, dan menguasainya.
Nietzsche juga menelanjangi selubung motivasi orang-orang yang mengaku ulama tapi secara keilmuan agama jauh panggang dari api. Kebaikan, keramahan, perhatian, atau hal-hal menyentuh lain dari bergaya ulama sebagai instrumen untuk berkuasa, berpengaruh, atau “dianggap” di antara orang-orang lainnya, baik disadari atau tidak. Kenapa dikatakan demikian, karena mereka yang bersandiwara ini tak memiliki basic pengetahuan tentang Alquran, hadis dan cara menggali hukum Islam sesuai kaidah ilmu. Mereka tak melewati proses yang diterapkan di Ma’had Aly.
Dari sini kita bisa mengetahui, jika sorban, jubah, kopiah, imamah, tutur kata yang halus, publik speaking yang mempesona dan pengikut yang banyak bukan tanda seseorang bisa dikatakan ulama. Seorang ulama, harus melewati proses yang sesuai tuntunan nabi, sahabat nabi dan ulama.
Lewat analogi nietzschean yang lain, Ma’had Aly adalah dyonsian, sementara perguruan tinggi Islam lainnya adalah apollonian. Dyonsian adalah kejujuran, keliaran, dan keberanian untuk apa adanya, sementara apollonian adalah pengingkaran, pengilahan atas sesuatu lewat selubung-selubung yang lain
Kadang orang mirip ulama ini berlindung dibalik kata “Ilmu Allah itu luas, orang bisa belajar dengan caranya masing-masing.” Tentu kita sepakat dengan kata itu, tapi ada baiknya sebelum mempelajari ilmu yang lebih luas. Seorang ulama memiliki pondasi yang kuat. Membaca pemikiran baru dalam rangka menambah referensi baru. Bukan terbawa arus baru.
Singkat kata, Ma’had Aly adalah lembaga super, karena ia mampu mengatasi narasi besar perguruan tinggi sebelumnya.