• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Kisah Hidup Kiai Ahmad Syadzili Pakis

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2022-12-09
in Tokoh
0
Kisah Hidup Kiai Ahmad Syadzili (1)

Makam Kiai Ahmad Syadzili

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Kisah hidup Kiai Ahmad Syadzili Muhdlor, pendiri Pondok Pesantren Salaf Al-Qur’an (PPSQ) Syadzili, Desa Sumber Pasir, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang menarik untuk dipelajari. Karena merupakan sosok ahli Al-Qur’an dan santri KH M Hasyim Asy’ari.

Kiai Syadzili lahir pada tahun 1916 di Sidayu, Gresik. Ia merupakan putra H Muhdlor bin H Khudhari Bani Imran. Sedangkan sang ibu (Nyai Murthosiah) telah wafat saat ia masih berusia 4 tahun.

Ketika kecil, Kiai Syadzili belajar dengan Kiai Munawwar (juga guru dari Kiai Adlan Aly, pendiri Pesantren Walisongo Cukir). KH Munawwar mendirikan Pesantren Tahfizul Qur’an di Kauman, Sidayu, pada tahun 1910.

Kiai Syadzili dikenal sebagai santri yang pandai dan memiliki ilmu yang mumpuni. Ini membuat Kiai Munawar tertarik menikahkan Kiai Syadzili dengan putrinya. Di bawah bimbingan langsung KH Munawwar, KH Ahmad Syadzili Muhdlor sudah hafal Al-Qur’an bilghoib dalam usia kira-kira 9 tahun.

Akhirnya Kiai Syadzili menikah dengan putri KH Munawar bernama Hj Muniroh. Buah dari pernikahan ini, ia dikaruniai 4 anak. Putra pertama Syaikh Muwaffaq Al-Hafidz (alm), Kedua, Musyafiyah (almarhumah). Ketiga H Mu’adz. Keempat Hj Qayimah.

“Sejak kecil KH Ahmad Syadzili Muhdlor dipasrahkan kepada Romo KH Munawwar Al-Hafidz di Kauman, Sidayu, Gresik,” kata putra KH Syadzili yang bernama KH Abdul Mun’im Syadzili.

Belajar ke KH M Hasyim Asy’ari di Tebuireng

Setelah menikah dengan Nyai Muniroh sekitar tahun 1930-an, Kiai Munawar mengutus Kiai Syadzili untuk belajar ke KH M Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang selama kurang lebih 5 tahun.

Saat belajar di Tebuireng, ketika Kiai Hasyim Asy’ari dawuh kepada para santrinya, waktu KH Hasyim Asy’ari harus mengucapkan ayat Al-Qur’an, Kiai Syadzili bagian bacakan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Karena Kiai Syadzili sudah hafal Al-Qur’an sejak kecil.

Saat belajar di Tebuireng, ayahnya wafat, sehingga tidak ada yang membiayai. Namun, Kiai Syadzili tetap belajar di Tebuireng. Sehingga Ketika boyong dari Tebuireng harus jalan kaki ke Sedayu, Gresik. 

Menurut keterangan KH Abdul Mun’im Syadzili, setelah KH Syadzili wafat, ia menemukan surat (tulisan pego) milik Kiai Syadzili yang dikirimkan ke Kiai Munawar (guru sekaligus mertua) yang berisi permintaan untuk beli kitab qiraat bernama Sirojul Qori’.

“Saya menduga bahwa Kiai M Hasyim Asy’ari juga ahli qiraat,” jelasnya.

Kisah Hidup Kiai Ahmad Syadzili di Malang

Pasca istri pertama (Hj Muniroh) dari KH Ahmad Syadzili dipanggil oleh Allah SWT, selang beberapa tahun kemudian, ada seorang aghniya’ (dermawan) dari Pakis, Kabupaten Malang bernama H Marzuki yang meminta KH Ahmad Syadzili Muhdlor untuk jadi guru ngaji di Pakis.

Karena tertarik dengan kepribadian dan keilmuan serta semangat dakwah KH Ahmad Syadzili Muhdlor, H Marzuki  kemudian menawari KH Ahmad Syadzili Muhdlor untuk dinikahkan dengan putrinya  bernama Nyai Rahmah. Dari perkawinannya yang kedua ini dikaruniai 10 putra.

Yaitu Hj Affifah Syadzili Al-hafidz, Drs H Misbachu Rofiq Syadzili, H Abdul Mujib Syadzili, Almh H Khalilah Syadzili, H Abdul Qodir Syadzili, H Abdul Mun’im Syadzili Alhafidz, Hj Mufidah Syadzili Alhafidz, Dr Mufidz Syadzili, Hj Mufarrikhah Syadzili Al-Hafidz, Adibatusshalikhah Syadzili Al-Hafidz.

Suasana PPSQ Asy-Syadzili Pakis Malang

Saat awal-awal mengajar di Malang, Kiai Syadzili memiliki santri tidak lebih dari 40. Awalnya mengajar dengan metode cukup tegas dan cenderung keras. Lalu didatangi oleh KH Hasyim Asy’ari dalam mimpinya untuk jangan terlalu keras.

Selain itu, diminta fokus mengamalkan ilmu. Hal ini diceritakan ke istrinya (Hj Rahmah). Saat itu nama lembaga Pesantren Tarbiyah Tahfidzul Qur’an dengan bangunan masjid, ndalem dan asrama kecil.

Semasa hidupnya, Kiai Syadzili selalu melekat dengan Al-Qur’an. Hari-hari diisi dengan mengajar Al-Qur’an, deresan dan sema’an Al-Qur’an.

Pada tahun 1969, Kiai Syadzili bersama para kiai yang lain membuka majelis khataman Al-Qur’an bil ghoib di Masjid Agung Jami’ Malang. Sebelum itu, Kiai Syadzili meminta do’a dan restu dari Romo Kiai Arwani Kudus. Sang waliyullah itupun berpesan agar Kiai Syadzili mengadakan khataman sampai wafat.

KH Ahmad Syadzili Muhdlor wafat pada tanggal 24 Jumadil Awal 1412 H atau 1 Desember 1991 pada usia 75 tahun di Pakis, Malang. Makamnya berada tidak jauh dari PPSQ Syadzili 1 (khusus putra) yang diasuh KH Abdul Mun’im Syadzili

“Menurut kesaksian Nyai Rahmah (istri KH Ahmad Syadzili) yang diceritakan ke putra-putrinya, KH M Hasyim Asy’ari pernah datang dalam mimpi KH Syadzili untuk menasehati agar mengajar santri tidak terlalu keras. Selain itu, Kiai Syadzili diminta fokus menyebarkan ilmunya Allah,” tandas Kiai Mun’im.

Tags: Asy-Syadzili Pakis MalangKIai Ahmad Syadzili MalangKiai Ahmad Syadzili Muhdlor
Previous Post

Hari Antikorupsi, AJI Kediri Gelar Acara Unik

Next Post

Ciri Kaum Khawarij di Era Modern

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Ciri Kaum Khawarij di Era Modern

Ciri Kaum Khawarij di Era Modern

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Kemenhaj Resmi Rilis Desain Batik Baru untuk Penyelenggaraan Haji 2026
  • Berdakwah Ala Jek: Penuh Humor tapi Teguh Syariat
  • Hati-Hati Bahaya Maghrur, Tertipu Oleh Kebaikan Diri Sendiri
  • Manusia dalam Pancasila: Makhluk Monoplural yang Menyatu dalam Keberagaman
  • Menjadi Mandiri: Seni Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng