• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Yuk! Ziarah ke Makam Kiai Asy’ari, ayah pendiri NU

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2021-10-25
in News, Tokoh
2
makam kiai Asy'ari Jombang

Musala di pinggir makam Kiai Asyari

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Kiai Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras, yang terletak di Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, sekitar tahun 1876. Ayahanda KH M Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pengasuh Pesantren Tebuireng, ini dikenal pula sebagai perintis tradisi keilmuan pesantren di daerah Jombang.

Ziarah ke makam Kiai Asy’ari sebagai bentuk kesempurnaan jika seseorang datang berziarah ke makam Gus Dur dan Kiai Hasyim Asy’ari. Lokasinya sangat dekat, 15 menitan dari Tebuireng ke keras.

Lahir di Demak, Jawa Tengah, sekitar tahun 1830. Menurut informasi dari keluarga Pesantren Tebuireng, seperti ditulis KH M Ishom Hadziq, ayah beliau bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim.

Abdul Wahid adalah salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama “Pangeran Gareng”, di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo. Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir alias Sultan Pajang.

Sejak muda Kiai Asy’ari nyantri di Pesantren Gedang, dekat Tambakberas, Jombang, sekitar dua kilometer dari pusat kota, dan berguru pada Kiai Usman. Pesantren Gedang didirikan oleh Kiai Abdus Salam atau dikenal dengan nama Kiai Shihah.

Kiai asal Lasem, Rembang, ini bersama istrinya, Muslimah, membuka hutan di Gedang untuk mendirikan permukiman dan pesantren pada tahun 1825. Di antara santri beliau adalah Kiai Usman.

Sufi dan ahli tarekat ini dinikahkan dengan putri sulung guru beliau bernama Nyai Layyinah. Keduanya kemudian dikarunia seorang putri sulung bernama Halimah (lahir 1851, disapa Winih).

Tidak lama setelah Kiai Usman wafat, sekitar tahun 1855 Halimah-ketika itu baru menginjak usia empat tahun-dinikahkan dengan Kiai Asy’ari, santri senior Kiai Usman, yang berusia 25 tahun.

Alasan pernikahan ini adalah untuk menyelamatkan garis keturunan pendiri pesantren yang akan menjadi pelanjut kepengasuhan pesantren usai wafatnya sang guru.

Pasangan baru ini kemudian dikaruniai putra-putri: Nafiah, Ahmad Sholeh, Muhammad Hasyim (lahir 1871), Rodliah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Ma’shum, Nahrowi dan Adnan.

Putra ketiga beliau ini yang kemudian terkenal sebagai pendiri Pesantren Tebuireng dan pendiri Nahdlatul Ulama. Nyai Halimah dikenal suka melakoni tirakat dan praktik sufi lainnya – mengikuti jejak ayahnya.

Beliau pernah berpuasa selama tiga tahun berturut-turut dengan niat tertentu. Puasa tahun pertama ditujukan untuk kebaikan keluarga, tahun kedua diniatkan untuk kebaikan santrinya.

Puasa tahun ketiga dimaksudkan untuk kemaslahatan masyarakat. Konon, saking khusyuknya dalam bertirakat, suatu hari saat mencuci beras, beras tersebut berubah menjadi butir-butir emas!

Kiai Asy’ari kemudian pindah bersama keluarganya ke Desa Keras dan mendirikan pesantren di sana sekitar tahun 1876. Sementara Pesantren Gedang berkembang menjadi Pesantren Tambakberas, Jombang, di bawah kepengasuhan saudara misan Kiai Asy’ari yaitu Kiai Said, yang kemudian menurunkan Kiai Chasbullah, ayahahanda KH. Abdul Wahab Chasbullah, pendiri NU.

Waktu itu Kiai Hasyim masih kecil, dan baru diboyong dari tempat kelahirannya di Gedang. Di bawah asuhan Kiai Asy’ari Pesantren Keras mengandalkan ngaji kitab-kitab sorogan dan baru belakangan di abad 20 mulai dibuka madrasah.

Kebanyakan yang mondok berasal dari Jawa Tengah, terutama dari Ambarawa dan Salatiga. Sementara yang berasal dari Jombang lebih banyak menjadi santri kalong.

Untuk sampai di pesantren ini, dari Surabaya kita naik bis jurusan Kediri, lalu turun di Desa Kwaron. Setelah itu naik becak ke arah barat, sekitar satu kilometer, maka sampailah ke alamat yang dituju.

Para santri tidak tinggal di pondok, tapi ditempatkan di rumah-rumah penduduk. Ini dimaksudkan agar dakwah Islam bisa langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Memang tidak terlihat pemondokan besar, di pesantren inilah KH M Hasyim Asy’ari digembleng pertama kali oleh ayahnya sebelum mengembara berguru menuntut ilmu di beberapa pesantren.

Kiai Asy’ari wafat sekitar tahun 1890 dan dimakamkan di lingkungan Pesantren Keras. Ketika putra ketiga beliau, KH M Hasyim Asy’ari, menikah di tahun 1892 dengan Nyai Nafisah, putri KH Ya’qub bin Hamdani, Pengasuh Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Kiai Asy’ari sudah tiada.

Pesantren Keras kemudian dikelola masing-masing oleh putra beliau, KH Saleh, dan menantu beliau, KH. Alwi, yang dikenal ahli bela diri dan kanuragan.

Di tahun 1930-an, pesantren kemudian diasuh oleh KH. Basuni, lalu KH. Salahuddin (di masa itu tidak ada lagi yang mondok di tahun 1970-an), kemudian KH. Ahmad Labib di tahun 1990-an.

Meski tidak sebesar Pesantren Tebuireng, Pesantren Keras mulai membuka madrasah dan berganti nama menjadi Pesantren Al-Asy’ari keras.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tags: Gus DurGus SholahKH. M. Hasyim Asy’arikiai asy'ariWisata Religi
Previous Post

Mencipta Maslahah sebagai Nafas Perjuangan

Next Post

Muslim Alami Kemunduruan, Ini Penyebabnya

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Muslim China saat menjual hewan kurban di pinggir jalan (Ist)

Muslim Alami Kemunduruan, Ini Penyebabnya

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Kemenhaj Resmi Rilis Desain Batik Baru untuk Penyelenggaraan Haji 2026
  • Berdakwah Ala Jek: Penuh Humor tapi Teguh Syariat
  • Hati-Hati Bahaya Maghrur, Tertipu Oleh Kebaikan Diri Sendiri
  • Manusia dalam Pancasila: Makhluk Monoplural yang Menyatu dalam Keberagaman
  • Menjadi Mandiri: Seni Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng