Kemunduran kaum Muslim adalah tema klasik yang sudah dilontarkan para intelektual dan sarjana sejak akhir abad ke-19. Pencarian tentang sebab-sebab kemunduruan Islam terus dicari para pakar dari Islam dan luar Islam.
Shakib Arslan (1869-1946) barangkali adalah intelektual pertama yang melempar isu menggugah ini, dalam sebuah bukunya yang terkenal: Limadza ta’akkhara al-muslimun wa limadza taqaddama ghayruhum? (Kenapa kaum Muslim terbelakang dan bangsa-bangsa lainnya maju?).
Arslan, seorang pendukung Pan-Islamisme dan pengagum Jamaluddin Al-Afghani dan Abduh, mencoba bicara jujur tetang kemurungan kaumnya.
Hampir seluruh tanah Muslim ketika itu berada di bawah penjajahan Eropa, dari Maroko hingga Aceh, tak ada negara Muslim yang bebas dari cengkeraman kolonialisme.
Arslan heran, kenapa bangsa yang kitab sucinya meneguhkan “sebaik-baik bangsa yang dihadiahkan untuk manusia” (khaira ummatin ukhrijat linnas), berada dalam kegelapan, keterbelakangan, miskin dan jorok?
Mengapa kaum Muslim yang pada suatu masa pernah menjalani kejayaan kini mengalami keterpurukan yang luar biasa?
Dalam bukunya itu, Arslan menjelaskan dua sebab utama mengapa kaum Muslim mengalami kemunduran.
Pertama, karena mereka semakin menjauh dari tradisi. Kedua, karena mereka menjadi kaum fatalis yang membuatnya kehilangan gairah untuk bekerja keras.
Menurut Arslan, dua sebab ini adalah kunci jatuh-bangunnya sebuah peradaban. Dia menyimpulkan: Eropa maju karena memegang teguh tradisinya dan membangun etos kerja yang luar biasa.
Seperti kaum romantis Muslim awal abad ke-20 pada umumnya, Arslan mengagumi era keemasan Islam ketika peradaban Islam memproduksi ratusan ilmuwan, filsuf, dokter, dan petualang.
Menurutnya, jika kaum Muslim ingin mengulang kembali era kejayaannya, maka mereka harus berkaca pada kerajaan-kerajaan Islam di era pencerahan.
Sebagai seorang Pan-Islamis, Arslan merindukan kepemimpinan Islam yang kuat tapi tercerahkan. Pada satu sisi, dia mengutuk praktik-praktik despotik khilafah, tapi pada sisi lain dia mengagumi efektifitas sistem totaliter ini dalam mewujudkan proyek-proyek pencerahan (Tibi, 2009).
Sejak Arslan menerbitkan buku itu, belasan sarjana dan intelektual Muslim mengajukan pertanyaan yang sama, dengan jawaban yang berbeda-beda.
Setelah hampir satu abad, pertanyaan Arslan tetap valid: mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa-bangsa lain (Eropa, Amerika, Jepang, Korea Selatan) maju?
Ketika Arslan hidup, ukuran keterbelakangan sangat kasat mata: sebagian besar negara Muslim ketika itu terjajah, miskin, dan buta huruf.
Baca juga: KH M Hasyim Sang Mujaddid
Sekarang, seluruh negara Muslim sudah merdeka, sebagian berlimpah harta dan menikmati angka melek huruf yang cukup tinggi. Jadi, apa ukuran bahwa negara-negara Muslim kini tetap terbelakang?
Jawabannya adalah indeks. Dari hampir semua indeks yang dicatat lembaga-lembaga kredibel dunia, dari indeks demokrasi, kebebasan, inovasi, literasi, pendidikan, dan kesejahteraan, tidak ada satu pun negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia yang berada di peringkat atas.
Dalam Indeks Demokrasi yang dikeluarkan the Economist Intelligent Unit (EIU) 2019, misalnya, 40 negara yang berada di urutan teratas, semuanya non-Muslim.
Indonesia berada di urutan ke-64. Sementara dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang secara rutin dikeluarkan UNDP (United Nations Development Programme), tak ada negara-negara Muslim dalam daftar 25 negara dengan HDI tertinggi.
Yang paling ironi adalah “Indeks Negara Paling Islami” yang dikeluarkan oleh Islamicity Foundation, lembaga yang didirikan oleh Hossein Askari, guru besar ekonomi asal Iran. Dalam indeks ini (2019), tak ada satupun negara Muslim yang masuk 40 besar.
Negara paling Islami –yakni negara yang menjalankan nilai-nilai keislaman, seperti kejujuran, keadilan, dan kebersihan– adalah Selandia Baru, disusul Swedia, Islandia, dan Belanda.
Negara Muslim yang “paling Islami” menurut indeks ini adalah Uni Emirat Arab, yang berada di posisi ke-44. Indonesia sendiri berada di urutan ke-61, di bawah Serbia, Peru, dan Argentina.

Nah, berdasarkan indeks-indeks itulah, Ahmet Kuru, sarjana asal Turki yang kini mengajar di Amerika Serikat mengajukan kembali pertanyaan klasik Shakib Arslan.
Yang menarik, Kuru datang dengan jawaban baru dan cara pandang yang segar. Sebelum memberikan jawabannya sendiri, dia mengulas jawaban-jawaban yang pernah ada selama ini, termasuk jawaban yang diberikan oleh Arslan.
Menurutnya, seluruh jawaban terhadap pertanyaan mengapa kaum Muslim terbelakang, bisa diringkas menjadi dua: Pertama, sebab utama kemunduran kaum Muslim adalah agama Islam itu sendiri. Islam tidak cocok buat kemajuan.
Kuru menyebut kelompok ini sebagai “kaum esensialis,” yakni orang yang menganggap Islam sebagai sesuatu yang tetap dan tak bisa berubah.
Kedua, sebab utama kemunduran kaum Muslim adalah kolonialisme. Biang kerok keterbelakangan negara-negara Muslim adalah penjajahan bangsa Eropa. Penjajahan mewarisi kemandekan, kebodohan, dan kemiskinan.
Menurut Kuru, kedua penjelasan itu kurang meyakinkan. Pertama, karena jika Islam dianggap sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan, bagaimana menjelaskan era keemasan Islam yang pernah terjadi pada abad ke-7 hingga abad ke-11?
Selama empat abad itu, kaum Muslim memproduksi pengetahuan yang luar biasa, ketika bangsa Eropa hidup dalam kegelapan. Kedua, kolonialisme juga tidak bisa disalahkan.
Sebabnya jelas, beberapa abad sebelum kolonialisme datang, kaum Muslim sudah mengalami kemunduran. Sejak abad ke-12 hingga kolonialisme Eropa datang, kaum Muslim tak lagi memproduksi pengetahuan seperti yang pernah mereka capai di era-era sebelumnya.
Kendati ada tiga kerajaan Islam yang cukup sukses, yakni Ottoman, Safawiyah, dan Mughal, pencapaian mereka terbatas hanya pada aspek militer. Aspek-aspek lain yang menjadi ciri peradaban Islam (filsafat, sains, dan kedokteran) boleh dibilang mati.
Aliansi Ulama-ulama
Lalu, jika bukan keduanya, apa yang menjadi sebab utama kemunduran peradaban Islam?
Dengan membandingkan era keemasan dan era kemunduran peradaban Islam, Ahmet Kuru menyimpulkan bahwa sebab utama kemunduran peraban Islam adalah menguatnya aliansi ulama dengan negara yang terjadi pada abad ke-11 hingga sekarang.
Dosen Ilmu Politik di Universitas San Diego State, Amerika Serikat itu, mengajukan beberapa argumen mengapa aliansi itu menjadi faktor penting kemunduran peradaban Islam.
Pertama, sebelum abad ke-11, posisi ulama (sarjana Islam) cukup independen. Mereka cenderung menjauh dari negara. Sebagian mereka bahkan menolak posisi di pemerintahan.
Para ulama pada zaman itu, tulis Kuru, menganggap dekat dengan kekuasaan sebagai sesuatu yang hina dan tercela. Karenanya mereka lebih memilih independen dan menjauh dari politik.
Baca juga: Indonesia akan memimpin umat Islam dunia
Contoh terbaik adalah Abu Hanifah (699-767), ahli fikih pendiri mazhab Hanafi. Ketika Khalifah al-Mansur (714-775) menawarkannya jabatan sebagai hakim, dia menolak, yang membuat sang khalifah berang. Karena penolakan ini, Abu Hanifah dipenjara dan mati diracun (h. 72).
Para ulama sebelum abad ke-11, menurut Kuru, sangat independen. Sebagian besar mereka berprofesi sebagai pedagang atau profesi-profesi lain yang tidak terkait dengan jabatan di pemerintahan.
Mengutip data dari Hayyim J. Cohen, sarjana Amerika yang menulis buku tentang para ulama Muslim di era keemasan Islam, “dari abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-11, 72,5 persen sarjana dan ulama Muslim bekerja di bidang perdagangan dan industri” (h. 80).
Kehidupan ekonomi di kota-kota besar Islam ketika itu (Damaskus, Baghdad, Basrah, dan Kufah) ditopang oleh kelas menengah (borjuasi) yang kuat.
Ketergantungan kepada negara yang kecil memungkinkan pemerintah mengalokasikan dana untuk membangun fasilitas-fasilitas publik, seperti perpustakaan, rumah sakit, dan laboratorium.
Bisnis atau perdagangan merupakan profesi utama yang digeluti para ulama. Mereka menganggap profesi ini lebih mulia daripada menjadi pejabat atau politisi (h. 81).
Jahiz, sastrawan dan intelektual terbesar era itu, menulis sebuah makalah berjudul “Pujian untuk Pedagang dan Kutukan untuk Pejabat Negara,” di mana dia menjelaskan bahwa para pedagang adalah “orang-orang yang hidupnya bahagia dan nyaman, sementara para pegawai negeri adalah orang-orang stress yang terbelenggu.”
Pakaian, makanan, dan hewan ternak adalah komoditas yang diperjualbelikan di kota-kota besar Islam pada saat itu. Pertukaran barang dan interaksi para pedagang dengan negara-negara tetangga (khususnya India dan China) bukan hanya memperkuat jaringan bisnis, tapi juga mengokohkan posisi mereka sebagai warga dan kelas menengah yang independen.
Kedua, aliansi ulama-negara tidak datang begitu saja. Ia dibentuk oleh situasi sosial-politik yang menentukan. Abad ke-11 adalah masa-masa genting dalam sejarah Islam.
Memasuki abad ke-10, untuk pertama kalinya sejak revolusi Abbasiyah, kekhalifahan Islam terpecah menjadi beberapa kerajaan besar dan kecil. Pada 909, dinasti Fatimah berdiri.
Pada 934, dinasti Buwayhid (Buyid) menyusul. Menjelang akhir abad ke-10, dua kerajaan Sunni, Ghaznawi (977) dan Saljuq (990) memisahkan diri dari kontrol Abbasiyah.
Pada abad ke-11, kekuasaan Abbasiyah praktis hanya nama saja. Kekuasaan real ada di tangan para raja dan sultan di berbagai wilayah Islam. Baghdad, sebagai pusat kekhalifahan Islam beberapa kali jatuh ke tangan musuh, dan memaksa khalifah memindahkan ibu kota ke Raqqa dan Samarra.
Penentang utama khilafah adalah kaum Muslim sendiri. Pada abad ke-10, sebagian besar wilayah Islam dikuasai oleh dinasti Syiah: Idrisiyah menguasai kawasan Maghrib, Fatimiyah menguasai Mesir, Alawiyah dan Buwayhid menguasai Iran dan Transoxiana, dan beberapa kerajaan Syiah lainnya, seperti Qaramitah dan Banu Ukhaidir, menguasai Yaman dan kawasan Teluk.
Model aliansi ulama-negara dan sistem iqta adalah kombinasi yang sempurna untuk kemunduran peradaban Islam

Ghaznawi dan Saljuq, dua kerajaan Sunni, tak kurang mengganggunya bagi kekhalifahan Islam. Perang saudara tak pernah habis, baik antara kerajaan-kerajaan Sunni maupun antara kerajaan Sunni dan kerajaan Syiah.
Dalam situasi seperti inilah muncul Al-Qadir (947-1031), khalifah Abbasiyah yang namanya jarang didengar kaum Muslim tapi memiliki pengaruh luar biasa bagi masa depan dunia Islam.
Al-Qadir adalah khalifah Abbasiyah ke-25 yang lahir di tengah kecamuk konflik dan perang saudara antar kerajaan-kerajaan Islam. Ia berusia panjang dan menjadi khalifah selama 40 tahun.
Sadar bahwa kekuasaan yang dimilikinya sangat rentan, ia menyusun rencana bagaimana mempertahankan kekuasaan dan memeliharanya selama mungkin. Salah satu strategi yang diambilnya adalah mengumpulkan ulama dan meminta mereka bekerja untuknya.
Dia memerlukan para ulama untuk memberikan legitimasi pada kebijakan-kebijakannya, khususnya dalam menumpas musuh-musuh politiknya.
Dia menunjuk Al-Mawardi (972-1058), salah satu ulama terkemuka dan ahli politik ulung, sebagai penasehatnya. Magnum opus al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, sebagian ditulis sebagai panduan bagi pemerintah dan para pejabat yang bekerja untuk al-Qadir.
Al-Mawardi berperan cukup penting dalam membantu sang khalifah menelurkan kebijakan-kebijakannya. Pada 1011, Al-Qadir mengeluarkan “Manifesto Baghdad,” yang isinya anjuran untuk memberangus kelompok-kelompok non-Sunni, baik itu Syiah, Mu’tazilah, dan orang-orang yang dianggap “sesat.”
Manifesto ini secara terang mengumumkan bahwa siapa saja yang menganut paham itu boleh dibunuh dan darahnya halal.
Belum pernah ada dalam sejarah Islam sebuah dekrit yang dibuat begitu gamblang dan disebarluaskan secara massif. Kebijakan Al-Qadir dalam merangkul ulama dan memerangi kelompok-kelompok non-Sunni dilanjutkan oleh anaknya, Al-Qaim (1001-1075).
Posisi Al-Mawardi tak tergantikan. Dia tetap menjadi pejabat penting (salah satunya menjadi hakim agung) di pemerintahan Al-Qaim hingga akhir hayatnya.
Patut dicatat adalah, kampanye anti-Syiah disambut baik oleh kerajaan-kerajaan Sunni, yang tengah berkonflik dengan Fatimiyah dan kerajaan-kerajaan Syiah lainnya. Pada 1055, Tughrul Bey, Sultan Saljuk (Sunni) berhasil menumpas dinasti Buwayhid (Syiah).
Kesultanan Saljuk ini memainkan peranan sangat penting dalam mensosialisasi doktrin Al-Qadir. Puncaknya adalah ketika Alp Arslan (1030-1072), penerus Tughrul Bey, menunjuk Nizam al-Muluk (Hasan bin Ali al-Tusi), seorang ulama cum politisi menjadi Perdana Menteri.
Untuk menanamkan doktrin Al-Qadir lebih dalam dan luas, dia membangun ratusan sekolah yang dikenal dengan sebutan “Sekolah Nizamiyah.” Nizam Al-Muluk menunjuk Abu Hamid Al-Ghazali (1058-11) menjadi direktur sekolah Nizamiyah di Baghdad.
Berbeda dari sistem pendidikan Islam sebelumnya, Sekolah Nizamiyah hanya mengajarkan ilmu-ilmu Islam. Ilmu-ilmu umum (astronomi, kedokteran, matematika) tidak diajarkan. Persis seperti umumnya pesantren di Indonesia sekarang.
Kalaupun ada mata kuliah filsafat dan logika, kedua ilmu ini dipelajari justru untuk menyerang filsafat. Al-Ghazali berperan sangat besar menyusun kurikulum Sekolah Nizamiyah yang anti-filsuf, ant-Syiah, dan anti-rasional.
Kontribusi Al-Ghazali dalam mempercepat kemunduran, keterbelakangan, dan diseminasi intoleransi di kalangan kaum Muslim tak bisa dibesar-besarkan. Kuru menulis:
“Kontribusi utama Al-Ghazali dalam meneguhkan aliansi ulama-negara adalah peran teoretisnya dalam membangun ortodoksi Sunni. Dengan mendeklarasikan para filsuf sebagai orang-orang sesat (apostates) yang boleh dibunuh, dia tengah membangun pandangan ortodoks yang tak perlu diragukan. Al-Ghazali memang bukan yang pertama membolehkan orang mendakwa seseorang yang jelas-jelas Muslim sebagai sesat. Tapi sebagai seorang ulama terkenal, dia membantu melegitimasi dan mensahkan pandangan itu.” (h. 110).
Peran Al-Ghazali dalam kemunduran kaum Muslim telah lama menjadi isu kontroversial. Ada yang setuju ada yang tidak.
Namun, Kuru memberikan argumen dan bukti-bukti yang sangat kokoh tentang keterlibatan sang hujjatul Islam dalam membangun fondasi ortodoksi Islam yang konservatif dan intoleran.
Al-Ghazali menulis beberapa buku yang isinya menghujat para filsuf (Tahafut al-Falasifah) dan mendiskreditkan kaum spiritualis dan Syiah (Fadaih Batiniyah).
Karya utamanya, Ihya Ulum al-Din diajarkan di Sekolah Nizamiyah dan kemudian menjadi buku penting bagi pesantren-pesantren di Indonesia.
Aliansi ulama-negara yang dibangun Al-Qadir dilanjutkan oleh penerusnya. Karena terbukti ampuh dalam mengkonsolidasikan kekuasaan, resep ini dipakai oleh kerajaan-kerajaan Islam lain.
Bahkan, beberapa dekade setelah Abbasiyah runtuh (1258), resep itu dipakai oleh tiga imperium besar Islam, yakni Uthmaniyyah di Turki, Safawiyah di Iran, dan Mughal di India.
Perubahan Pondasi Ekonomi
Satu hal yang berubah dari peradaban Islam pasca menguatnya model aliansi ulama-negara (setelah abad ke-11) adalah menurunnya borjuasi (kelas menengah) Muslim.
Para ulama lebih senang bergantung atau merapat ke penguasa ketimbang menjadi pengusaha yang independen, seperti dilakukan oleh ulama-ulama pra-abad ke-11.
Karakter ekonomi kerajaan-kerajaan Islam yang sebelumnya cenderung merkantilis, berubah menjadi ekonomi rente di mana sistem iqta menjadi fondasinya.
Iqta adalah sistem pengelolaan tanah negara oleh warga di bawah kontrol militer. Sistem ini sangat ampuh dalam menundukkan warga dan mengurangi peran kelas pedagang yang independen.
Model aliansi ulama-negara dan sistem iqta adalah kombinasi yang sempurna untuk kemunduran peradaban Islam. Kuru mencatat, selama delapan abad (ke-11 hingga ke-19), produksi pengetahuan turun drastis.
Jumlahnya jauh berada di bawah produksi kerajaan-kerajaan Islam pra-abad ke-11 yang berlangsung hanya empat abad.
Peradaban Islam tidak lagi memproduksi ilmuwan dan filsuf sekelas Al-Khawarizmi, Ibn Haytham, Abu Bakar Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.

Wacana yang berkembang di dunia Islam selama era kemunduran ini adalah pengharaman filsafat dan peminggiran ilmu-ilmu umum (sains dan kedokteran), sambil terus mengkampanyekan pengajaran ilmu-ilmu agama yang direkomendasikan Al-Ghazali.
Enlightened Despot
Di sekujur bukunya, Ahmet Kuru mencoba meyakinkan kita bahwa aliansi ulama-negara memainkan peran penting dalam melancarkan dan mengkonsolidasikan kekuasaan dalam Islam.
Namun, aliansi ini sebetulnya tidak dimulai pada abad ke-11, seperti yang berulangkali ditegaskan Kuru. Kolaborasi ulama dan umara (penguasa) sudah ada sejak awal kerajaan Islam.
Jika yang dimaksud dengan ulama adalah “kaum terdidik yang menguasai ilmu-ilmu agama,” keberadaan mereka di istana sudah ada sejak zaman Umayyah.
Dinasti Abbasiyah awal, yang diagung-agungkan Kuru, mungkin tak akan pernah berdiri jika tidak ada sokongan dari ulama ketika itu. Inilah yang absen dari pembahasan Kuru dalam bukunya.
Agak mengherankan Kuru tidak mengulas latar belakang berdirinya dinasti Abbasiyah. Padahal menyoroti asal-usul berdirinya dinasti yang melahirkan era keemasan ini sangat penting.
Kuru hanya menyinggung sepintas tentang pergantian kekuasaan dari Umayah ke Abbasiyah, tapi tidak menjelaskan sama sekali mengapa dinasti Abbasiyah awal begitu tercerahkan.
Sebagian besar aktor intelektual revolusi Abbasiyah (747-750) adalah para ulama. Mereka adalah kaum mutakallimin (teolog) dan filsuf yang selama era Umayyah didiskriminasi dan ditindas.
Lain halnya kalau para teolog (sebagian penghafal al-Quran) itu tidak dianggap Kuru sebagai “ulama” karena kecenderungan mereka yang “liberal.”
Tokoh-tokoh seperti Abu Yunis Aswari, Ma’bad Juhani, Ghilan al-Dimashqi, Ja’d bin Dirham, Jahm bin Shafwan, Muqatil bin Sulayman, dan Wasil bin Atta, adalah para teolog yang keulamaannya tak perlu diragukan (Ess, 2017).
Dalam literatur Sunni, nama-nama ini dianggap “sesat”, “zindiq,” dan “keluar dari Islam”, karena kecenderungan mereka yang “liberal” atau “melenceng” dalam memahami Islam.
Sebagian mereka adalah penganut mazhab “Kebebasan” (free-will/qadariyah) yang mengecam kekuasaan Umayyah dan karenanya dengan suka rela mendukung revolusi Abbasiyah.
Ketika Abbasiyah berdiri, sebagian ulama itu diakomodasi dan dipekerjakan di istana. Sebagian mereka menjadi penasehat khalifah, sebagian lain menjadi menteri dan kepala perpustakaan.
Darul Hikmah, lembaga penerjamah buku-buku asing yang melahirkan banyak ilmuwan dan filsuf Muslim, didirikan pertama kali oleh Al-Mansur (714-775), khalifah kedua.
Pada mulanya, Darul Hikmah adalah perpustakaan pribadi, tapi dua generasi setelah itu, khususnya di era khalifah Harun al-Rasyid (766-809), Rumah Kebijakan itu diperluas menjadi lembaga penerjemahan, penelitian, pusat studi, dan penerbitan (Lyons, 2009).
Kuru tidak menjelaskan mengapa sejak awal, dinasti Abbasiyah begitu “intelektual” dan pro-pengetahuan.
Problem utama peradaban Islam setelah abad ke-11 –atau lebih tepatnya abad ke-13– setelah Perang Salib dan invasi Mongol, adalah absennya kebebasan yang disediakan oleh penguasa yang tercerahkan (enlightened despot). Hilangnya kebebasan sangat ditentukan oleh penguasa, khalifah atau raja.
Peran ulama penting, tapi bersifat sekunder. Ulama selalu hadir dalam praktik-praktik politik Islam, sejak awal sejarah Islam hingga era modern. Mereka akan memiliki peran besar jika penguasa memberinya tempat dan tak memiliki peran sama sekali jika penguasa mengabaikannya.
Sebelum abad ke-11, aliansi ulama-negara model Al-Qadir –tokoh yang oleh Kuru dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab membentuk aliansi– sudah ada.
Di zaman Al-Mutawakkil (822-861), prosekusi terhadap kelompok-kelompok sektarian, khususnya dari kalangan Mu’tazilah dan kaum rasional, mengalami puncaknya.
Pembunuhan dan pengejaran terhadap kelompok-kelompok ini begitu brutal, yang tak ada presedennya dalam sejarah Islam (El-Hibri, 1999). Semua tindakannya itu dimulai dengan mengumpulkan ulama konservatif (Sunni) yang anti-Mu’tazilah.
Absennya kebebasan dalam sejarah Islam pasca-invasi Mongol bersumber pada perilaku raja atau khalifah. Produksi pengetahuan yang begitu besar di era Abbasiyah, sesungguhnya hanya terjadi di masa-masa awal Abbasiyah, khususnya pada era tujuh khalifah pertama.
Setelah itu, produksi pengetahuan mulai menurun, karena kebebasan mulai terancam.
Apa yang dilakukan Al-Qadir hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah dimulai oleh Al-Mutawakkil dua abad sebelumnya. Ini juga yang menjelaskan mengapa dalam beberapa episode era kemunduran Islam (setelah abad ke-11) muncul beberapa ilmuan dan gerakan pengetahuan.
Kemunculan Nasr Al-Din Tusi (1201–1274) dan muridnya, Qutb al-Din Shirazi (1236–1311), sangat bergantung sepenuhnya pada perilaku raja yang berkuasa.
Tusi membangun observatori dan mengembangkan astronomi di Maragha atas perintah Hulagu Khan, panglima Mongol yang mengakhiri imperium Abbasiyah dan meluluh-lantakkan Baghdad.
Kesimpulannya, aliansi ulama-negara bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah Islam. Bahwa taktik ini digunakan dan dilembagakan begitu rupa oleh raja-raja Islam setelah invasi (abad ke-13), menunjukkan peran penting raja ketimbang ulama.
Keputusan para penguasa Muslim untuk menerapkan sistem iqta adalah akibat –dan bukan sebab– dari situasi murung kaum Muslim.
Setelah perang saudara bertahun-tahun, khususnya antara puak Syiah dan Sunni, konsolidasi politik sangat diperlukan. Perbedaan ideologi memerlukan dosis motivasi yang besar untuk mengobarkan peperangan dan penaklukan.
Dosis itu ditemukan pada para ulama yang terbiasa memupuk kebencian terhadap sesuatu yang berbeda.
Di tengah konflik, ulama dibutuhkan untuk memobilisasi massa. Para raja sepenuhnya sadar, senjata dan pasukan perang mereka akan ampuh jika didukung dan diberkati para ulama.
Info Buku:
Judul: Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison
Penulis: Ahmet T. Kuru
Penerbit: Cambridge University Press, 2019
Tebal : 303 halaman
ISBN: 978-1-108-41909-3 (hardback) – 978-1-108-40947-6 (paperback)
LUTHFI ASSYAUKANIE
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta.
Bibliografi
1. Kuru, Ahmet T. 2019. Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison. Cambridge University Press.
2. Lyons, Jonathan. 2010. The House of Wisdom: How the Arabs Transformed Western Civilization. Bloomsbury Publishing USA.
3. Ess, Josef van. 2017. Theology and Society in the Second and Third Century of the Hijra. Volume 1: A History of Religious Thought in Early Islam. BRILL.
4. Tibi, Bassam. 2009. Islam’s Predicament with Modernity: Religious Reform and Cultural Change. Routledge.
5. El-Hibri, Tayeb, and Tayeb Hibri. 1999. Reinterpreting Islami Historiography: Harun Al-Rashid and the Narrative of the Abbasid Caliphate. Cambridge University Press.