Kiai Bisri Syansuri lahir pada 28 Dzulhijjah 1304 H, atau 18 September 1887. Data lain menyebut 05 Dzulhijjah 1304 H, atau 23 Agustus 1887.
Setelah nyantri di berbagai pesantren, antara lain Tebuireng asuhan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan Demangan Bangkalan asuhan Syaikhona Kholil, Kiai Bisri Syansuri pada 1911/1912 mulai belajar agama kepada para ulama terkemuka di Mekah. Tahun 1914 beliau menikah dengan Nyai Nur Khodijah yang ketika itu naik haji ke Mekah bersama bundanya, dan di tahun yang sama kembali bertolak ke tanah air.
Pada 1917, Kiai Bisri Syansuri mendirikan Pesantren Denanyar, dan pada 1919, bersama istri beliau, Nyai Nur Khodijah mendirikan pesantren putri yang oleh banyak kalangan disebut sebagai rintisan pertama pesantren putri di Indonesia.
Kiai Bisri Syansuri banyak terlibat dalam dinamika fikih, pergerakan kemerdekaan dan aktif di Nahdlatul Ulama. Ketika Rais Aam PBNU, KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pada 29 Desember 1971, Kiai Bisri Syansuri kemudian menjadi Rais ‘Aam PBNU menggantikan kakak iparnya tersebut.
Kiai Bisri Syansuri wafat pada Jumat, 25 April 1980 dalam usia 93 tahun, selaras dengan 09/10 Jumadil Akhir, 1400 Hijriah.
Kiai Aziz Masyhuri dalam buku “Al Maghfurlah KH. M Bisri Syansuri” mencatat bahwa Kiai Bisri wafat pada Jumat sore, pukul 17.05 WIB.
Beberapa detik dari kewafatan itu, kemudian terlihat kesibukan para putra, keluarga, santri, tetangga dan masyarakat di tengah duka cita yang mendalam, untuk memberikan penghormatan kepada jasad ulama ahli fikih yang menjadi Rais Aam PBNU pada 1971-1980.
Interlokal ke seluruh Jawa, Madura dan Jakarta dilakukan pada saat itu juga. Banyak para santri yang secara langsung menelepon keluarganya untuk memberitahukan kabar duka tersebut. Karena interlokal Jombang ramai antrian, ada pula beberapa santri yang pulang ke rumah, mencarter mobil untuk memberitahukan kabar duka kepada keluarganya.
Wali santri, keluarga, tetangga, masyarakat umum, para Kiai dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah susul menyusul memberikan penghormatan terakhir.
Malam Sabtu itu juga Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta menyiarkan berita kewafatan Kiai Bisri, demikian juga Televisi Republik Indonesia (TVRI). Berita ini juga diulang keesokan harinya, Sabtu 26 April 1980.
Upacara pemandian jenazah dilaksanakan pada malam itu juga, oleh KH. Mansyur Anwar, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Ahmad Hafidz Ahmad. Sedangkan penyiraman air dilakukan oleh KH. Adlan Aly, KH. M. Iskandar, KH. Jamaluddin Ahmad, KH. Abdul Aziz Masyhuri, KH. Yusuf Hasyim, KH. Wahib Wahab, dan dua putri KH Bisri Syansuri yaitu Nyai Sholihah Bisri (istri KH. Wahid Hasyim Tebuireng), dan Nyai Musyarofah Bisri (istri KH. Fattah Hasyim Tambakberas).
Kiai Aziz Masyhuri dalam bukunya menyebut bahwa di Ndalem Kasepuhan, shalat jenazah dilaksanakan sebanyak 32 kali. Karena terus membludak, akhirnya jamaah shalat jenazah dilaksanakan di Masjid Denanyar. Pelaksanaan shalat jenazah terakhir diimami oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
Pada waktu jenazah akan dikeluarkan dari Ndalem Kasepuhan sudah diumumkan bahwa pemberangkatan dan pengangkatan jenazah hanya dilakukan oleh keluarga almarhum. Namun, arus manusia yang demikian meluap ingin ikut serta memikul jenazah membuat isi pengumuman tersebut tidak bisa dilaksanakan.
Jalanan macet dengan lautan manusia dan aneka kendaraan berderet panjang di sekitar Denanyar. Para kiai dan tokoh masyarakat yang tinggal di ibukota, naik pesawat udara menuju Bandara Juanda, di Surabaya, kemudian bertolak ke Jombang melalui jalur darat.
Demikianlah, Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar dipenuhi pentakziah. Jenazah almarhum itu berjalan terus, seolah-olah ada kekuatan ghaib yang mendorongnya dengan iringan derai air mata. Pengiring jenazah terus menerus saling berebut memanggul jenazah, setidaknya sekedar untuk menyentuhnya.
Jenazah dikebumikan pada Sabtu, pukul 13.00 WIB. Pidato sambutan atas nama keluarga disampaikan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Atas nama PBNU disampaikan oleh Prof. KH. Anwar Musyaddad; atas nama DPR RI disampaikan KH. Masykur; atas nama MUI disampaikan oleh Prof. Dr. Hamka; atas nama pemerintah disampaikan oleh Menteri Agama, H. Alamsyah Ratu Prawiranegara; atas nama ulama Jawa Timur disampaikan KH. Mahrus Aly Lirboyo, atas nama partai disampaikan oleh H. Nuddin Lubis; dan disambung oleh, Dr. KH. Idham Cholid yang baru datang ketika doa sedang dibaca oleh KH. Mahrus Aly. Bertindak sebagai penalqin adalah KH. Abdullah Zen Salam, Kajen Jawa Tengah.
Selepas upacara tersebut, dilakukan sekali lagi upacara mensalatkan jenazah di samping atas liang makam Kiai Bisri Syansuri oleh Dr. KH. Idham Cholid, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Ahmad Syaikhu, KH. Ali Yafi, Dr. KH. Tholhah Mansur, KH. Abdullah Shiddiq, KH. Imron Rosyidi, dan para kiai lainnya yang datang terkemudian, juga para pejabat dan intelektual antara lain J. Naro, Wagub Jatim Sugiono, H. Imam Sufyan, Bupati Probolinggo H. Sudirman, Bupati Jombang Hudan Dardiri, jajaran pimpinan Muslimat (Nyai Asnah Syahroni, Nyai Saifuddin Zuhri, Nyai Ali Masyhur, Nyai Malihah Agus), dan Prof. Nakamura seorang Sosiolog dari Jepang.
Banyak kesaksian atas kebesaran sosok KH. Bisri Syansuri dari para kiai dan tokoh masyarakat. Kiai Yusuf Hasyim Tebuireng, antara lain menyatakan,
“Almarhum KH. Bisri Syansuri, seperti pengakuan KH. As’ad Syamsul Arifin dari Pondok Pesantren Asembagus Situbondo, sebagai Rais Aam PBNU memiliki tiga hal yang sukar dicari bandingannya: (1). Melaksanakan dan menguasai ilmu secara konsekuen, (2) Berpandangan luas mengenai kemasyarakatan, (3) Memiliki sifat panglima.
Buya Hamka, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan kesaksian: “Almarhum sebagai ulama yang shaleh yang tidak henti-hentinya membaca Al-Qur’an dan menyebut nama Allah walaupun beliau sedang berjalan. Kecil diri saya di hadapan beliau. Kepergian beliau hendaknya seperti pohon pisang. Jika ditebang satu, maka serta merta akan tampil tumbuh generasi penggantinya. Sampai akhir hayatnya beliau tetap sederhana, konsekuen dan teguh dalam pendirian, tak tergoyahkan oleh gemerlapnya kehidupan modern.”
Haji Alamsyah Ratu Prawiranegara, Menteri Agama RI menyatakan: “Kepergian Mbah Bisri ini, bukan saja merupakan kehilangan bagi umat Islam Indonesia, tapi juga masyarakat pada umumnya. Sebab di Seratus Empat Puluh Lima Juta penduduk Indonesia sulit dicari penggantinya. Beliau, di samping sebagai seorang ulama yang bisa menjadi bapak, guru, sekaligus juga pejuang!”
KH. Mahrus Ali, Rais Syuriyah PWNU Jatim memberikan kesaksian: “Kiai Bisri termasuk pemimpin yang sering dimintai nasehatnya oleh Presiden Soeharto. Karena itu, meninggalnya merupakan musibah besar bagi umat Islam Indonesia. Kita kehilangan seorang ulama besar yang sanggup menyatukan umat Islam dalam kondisi kritis.”
H. AR Fakhruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah memberikan kesaksian,
“Kebesaran almarhum sebagai orang tua sekaligus sebagai sumber hukum, tempat banyak orang bertanya dan meminta tahkim atas berbagai masalah. Kami merasakan kehilangan seorang tokoh.”
Tengku H. M. Sholeh, salah seorang pimpinan DPR RI memberikan kesaksian: “Almarhum dikenal sebagai orang yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Tidak saja dalam soal berpakaian, tetapi terutama dalam soal tingkah lakunya. Dalam soal mengambil suatu keputusan, almarhum selalu tegas dan teguh dalam prinsip. Tetapi juga selalu berusaha agar setiap keputusannya tidak terlalu keras, tidak mencari-cari suatu yang bisa menimbulkan perpecahan. Bahkan selalu berusaha bagaimana agar kebijaksanaan tersebut bisa diterima oleh semua pihak.”
KH. Hasan Basri pimpinan MUI menyatakan dalam siaran persnya,
“Dengan meninggalnya Mbah Bisri bukan hanya MUI telah kehilangan salah seorang anggota dewan pertimbangan, tetapi bahkan umat Islam serta bangsa Indonesia telah kehilangan seorang ulama besar yang amat besar jasanya terhadap Nusa bangsa dan agama.”
Kiai Bisri adalah seorang ulama besar. Cucu beliau, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku “Kiai Bisri Syansuri Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat” menulis sebagai berikut:
“Kiai Bisri adalah orang besar, karena ia lebih besar dari kehidupan sehari-hari manusia umumnya. Tetapi kebesaran itu hanya akan ada, karena Kiai Bisri memilih mengikuti sebuah pola kehidupan yang juga lebih besar dari kehidupan itu sendiri, yaitu pola kehidupan yang sepenuhnya tunduk kepada hukum fiqh. Dengan kewafatannya, hilang pula sebuah tonggak besar dalam kehidupan kita sebagai bangsa: angkatan ulama yang mampu menerapkan hukum fiqh secara tuntas dan penuh dalam kehidupan mereka sendiri, dan kemudian diperluas menjadi sebuah pola perjuangan kemasyarakatan.”
Majalah (Buletin) Aula PWNU Jatim, nomor 03 tahun II 1400 H/1980 memuat cover dengan judul” Mbah Bisri Telah Pergi”. Di antara muatan tulisan itu, “…Ia salah seorang pendiri NU yang terakhir. Tak hanya itu, ia juga seorang Rais ‘Aam. Orang pertama dalam NU. Bukan lantaran jabatannya beliau dihormati dan disegani, tapi karena kearifan beliau dalam menentukan sesuatu.”
*Oleh: Yusuf Suharto (Aswaja NU Center PWNU Jatim, Pegiat Sejarah Tokoh NU dan Pesantren)
Baca juga: Kiai Bisri Syansuri; dari Melawan Penjajah sampai Orde Baru