tebuireng.co – Cak Imin atau Muhaimin Iskandar merupakan salah satu tokoh politik Nahdliyin yang cukup lincah dan cerdas. Pria yang kini mulai mengenalkan diri sebagai Gus Ami (Abdul Muhaiman Iskandar) seakan tanpa pesaing di Partai kebangkitan Bangsa (PKB).
Saat ia berhasil menguasai PKB setelah berkonflik dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Muhaimin memang nyaris tanpa pesaing. Manuver-manuver politiknya membuat partai yang secara kultural dekat dengan Nahdlatul Ulama itu dapat ia kontrol dengan baik.
Secara nasab, Cak Imin merupakan keponakan dari Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid, pendiri PKB. Setelah memecat ketua umum pertamanya, PKB kubu Gus Dur juga memecat Alwi Shihab.
Lalu pada 2005, giliran Muhaimin yang dipecat Gus Dur karena dianggap “main sendiri ke istana”.
“Bila Muhaimin masih bersikap mendua, muktamar akan kami gelar pertengahan September,” ujar Gus Dur seperti dikutip Gatra.
Tempo edisi 7 April 2008 melaporkan, dalam pandangan Gus Dur, kemenakannya itu telah berkali-kali melalukan kesalahan, yakni gagal mengatur organisasi, bermain mata dengan pemerintah, berambisi menjadi wakil presiden 2009, dan berkonspirasi dengan seorang jenderal yang dekat dengan pemerintah untuk menggulingkan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syura PKB.
“Masak saya mau melawan Gus Dur, memangnya saya ini siapa?” ucap Muhaimin membantah tudingan tersebut.
Berbeda dengan dua ketua umum sebelumnya yang relatif kurang memberikan perlawanan saat dipecat, perlawanan Muhaimin begitu alot.
“Saya tidak akan mundur selangkah pun,” ujarnya seperti dikutip dari tirto.id
Perseteruan itu kemudian dengan cepat menjalar ke daerah. Kubu Gus Dur memecat sejumlah pendukung Muhaimin di daerah. Sebaliknya, karena posisi mereka tertekan, kubu Muhaimin segera merapatkan barisan.
Sejumlah cara dilakukan Muhaimin dan para pendukungnya. Selain melakukan perang kata di media massa, mereka juga menurunkan massa ke jalan, menggalang kekuatan di daerah, dan mendekati sejumlah kiai yang dianggap berpengaruh.
Dukungan dari 15 pengurus provinsi yang menamakan diri Kaukus 15 segera didapat. Juru bicara kaukus tersebut menuding para pegurus pusat berada di balik penggusuran Muhaimin dari ketua umum.
“Orang-orang itu [harus] segera digusur,” katanya.
Kedua kubu kemudian menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB). 30 April-1 Mei 2008, kubu Gus Dur menggelar MLB di Parung, Bogor. Sementara kubu Muhaimin menggelar MLB pada 2-4 Mei 2008 di Ancol.
Dalam catatan Kompas edisi 9 Mei 2008, masing-masing MLB dihadiri hampir 400 DPC PKB se-Indonesia. Konflik internal PKB yang berkepanjangan sejak pemecatan Matori Abdul Djalil pada 2001, membuat sejumlah kader cemas akan karier politiknya.
Hal ini dengan jeli dimanfaatkan oleh Muhaimin. Kondisi MLB Ancol jauh berbeda dengan MLB Parung yang digelar di Pondok Pesantren Al-Ashiriyyah Nurul Iman.
Sebagaimana kondisi pesantren pada umumnya, fasilitas dan layanan yang diberikan kepada peserta MLB terbatas. “Masalah muncul saat hujan mengguyur sesaat setelah muktamar dibuka.
Tidak adanya saluran air pada lokasi muktamar, yang dibangun secara terburu-buru itu, membuat air hujan menggenang dan membanjiri lokasi muktamar hingga setinggi betis orang dewasa,” tulis Kompas.
Sementara MLB kubu Muhaimin di Ancol diadakan di hotel berbintang empat. Tentu saja fasilitas dan layanannya lebih prima. Hal ini oleh sebagian peserta dianggap lebih menjajikan bagi masa depan PKB, artinya karier politik mereka pun tidak terlalu mengkhawatirkan.
Gugatan dan Pandangan Dua Kubu Mekanisme internal partai yang tak mampu menyelesaikan konflik, akhirnya dibawa ke pengadilan.
Sejak Gus Dur melakukan pemecatan terhadap Muhaimin sebagai ketua umum, dan terhadap Lukman Edy selaku sekjen, keduanya telah mengajukan gugutan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 14 April 2008.
Putusan PN Jaksel memenangkan para penggugat. Proses pengadilan tersebut terus bergulir sampai pada tahap kasasi di Mahkamah Agung yang diajukan kubu Gus Dur.
Juli 2008, MA menolak kasasi tersebut, dan struktur kepengurusan PKB mesti kembali ke hasil Muktamar Semarang 2005, yakni Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syura, Muhaimin Ketua Umum Dewan Tanfidz, dan Yenny Wahid sebagai Sekjen.
Namun, pasca kedua MLB digelar, kubu Gus Dur berbalik menggugat kubu Muhaimin. Mereka menganggap MLB Ancol menyimpang dari AD/ART PKB, sebab AD/ART tersebut mensyaratkan muktamar harus dilakukan bersama-sama dengan Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz.
Sementara MLB Ancol hanya dilakukan oleh Muhaimin dan beberapa pengurus saja. Di pengadilan, kubu Muhaimin lagi-lagi menang.
Pada sebuah wawancara khusus dalam Tempo edisi 14 April 2008, baik Gus Dur maupun Muhaimin, menyampaikan unek-uneknya.
“Saya sudah tak percaya lagi padanya,” kata Gus Dur.
Menurut Gus Dur, hal ini bermula dari Susilo Bambang Yudhoyono yang tak menginginkan dirinya menjadi presiden, dan Muhaimin merapat ke presiden petahana tersebut. Gus Dur menyebut Muhaimin dimainkan lewat SBY dan Jusuf Kalla.
“[Muhaimin hanya] loyal kepada dirinya sendiri, kok. Kan, ngomong doang. Saya enggak percaya karena dia selalu dua kata,” imbuhnya.
Gus Dur menambahkan, sikap Muhaimin itu merupakan warisan sejak zaman Matori Abdul Djalil dan Alwi Shihab yang keduanya juga ia pecat. Ia menyebutnya sebagai barang busuk yang berat untuk diperbaiki.
Sementara kepada Tempo Muhaimin mengatakan bahwa dirinya tidak pernah ada masalah dengan Gus Dur. Namun, orang-orang di sekitar Gus Dur yang menurutnya kerap menggosok isu-isu yang membuatnya seolah bermusuhan dengan pamannya tersebut.
“Saya tidak akan pernah melawan Gus Dur. Tapi akan saya bersihkan partai ini dari semua pihak yang mengganggu,” pungkasnya.
Dan sejak kemenangannya yang berturut-turut di pengadilan, perlahan ia dan para pendukungnya mengambil alih kendali partai. Sementara Gus Dur dan para pendukungnya mulai tersingkir dari panggung politik nasional.
Keberhasilannya melawan Gus Dur sehingga tak bertekuk letut seperti dua ketua umum pendahulunya, membuat ia malah mampu membalikkan keadaan.
Rekam jejak seperti itu membuat para pesaingnya di PKB mesti benar-benar mesti berhitung dengan matang jika ingin bersaing secara terbuka dengannya.
Penulis: Irfan Teguh