tebuireng.co- Pudarnya pesona permainan tradisional. Ibarat bunga mawar, karena warna dan tampilan indahmya dulu menjadi idola, namun kini mulai kehilangan pesonanya, sebabnya ada bunga-bunga baru yang lebih cantik, indah warnanya, tak perlu disiram, ekonomis, dan tahan lama dialah si bunga plastik.
Nasib serupa dialami teman lama kita “permainan tradisional atau dolanan” (istilah Jawa), kini mulai pudar pesona alami dan kesan menariknya, dan bahkan dicap kuno, ndesit, ndak gaul, kurang update, dan ketinggalan zaman. Jika tuhan mengizinkan permainan tradisional atau dolanan itu bisa bicara, ia akan bertanya: “kemana anak-anak itu pergi?”
Era Nostalgia
Masa kecil adalah masa bermaian, itulah ungkapan masa saya kecil dulu, dimana ada waktu kosong maka bermainlah sebagai top choice (pilihan utama). Hiruk pikuk sorak-sorak dan teriakan menjadi bukti begitu gembirannya saya dan kawan-kawan saat menikmati permainan, sampai jadwal makanpun terabaikan menjadi agenda harian paling buncit.
Waktunya cukup banyak, bisa sepulang sekolah, sore sampai menjelang maghrib, ba’da maghrib hingga menjelang Isya, dan full time bila akhir pekan dan liburan panjang tiba. Hal ini seolah telah terorganisir dengan baik, tanpa perlu komando lagi, secara otomatis mereka akan berkumpul dan tepat waktu.
Mengenai tempat tidak perlu repot-repot, biasanya di lapangan, halaman rumah, jalan-jalan gang, yang penting tidak berbahaya, dan tidak mengganggu kepentingan umum, maka berlangsunglah permainan atau dolanan.
Permainan yang dipilih tidak perlu biaya, modal rupiah sepeserpun, karena hanya bermodal hompimpa alaihom gambreng atau suit, tuk membagi kelompok A atau B. Setelah itu permainan tradisional Jawa seperti petak umpet, gobak sodor, glatikan, lumbungan, sepur-sepuran, nekeran, patahan, lompat tinggi (spintrong), tung gala gatung, dan lain sebagainya, pokoknya banyak deh. Tentu tidak semua permainan langsung sekaligus, hanya sekitar dua sampai tiga permainan bisa kita lakoni jika waktunya memungkinkan.
Usai bermain, kami berkumpul, duduk-duduk sambil kipas-kipas mengeringkan keringat, bercerita lelucon (kelucuan-kelucuan) saat permainan, ketawa-ketiwi manjadi penghangat waktu rehat, terkadang bicara skor siapa yang kalah dan menang, seolah sedang rapat evaluasi.
Selain itu, ada hal yang paling terkenang biasanya jika ada yang bawa camilan (jajan), umpama bakwan cuma satu buah, maka bakwan dipotong memakai mulut masing-masing, begitu pula air minum maka sedotan akan muter dari mulut ke mulut lainya, prinsipnya saling berbagi (mirip di pesantren) urusan kesehatan nanti aja, hingga kini belum ada berita anak meninggal gara-gara makan rame-rame, atau sedotan yang digilir, seru bukan? Jika usai mereka masing-masingt membubarkan diri, sambil berucap sesuk maneh (besok lagi) begitu seterusnya.
Begitu asiknya permainan tempo dulu, penuh keakraban, persaudaraan, kegembiraan, kesenangan, sehingga seolah mereka telah menjadi sebuah keluarga dalam sebuah kesenengan dan kegembiraan. Cekcok, tukaran, ribut-ribut sekali terjadi dan wajar namanya juga anak kecil, hebatnya saat itu juga langsung bisa didamaikan oleh mediator rekan yang paling besar badan dan usianya, biasanya dengan ritual cantel tangan atau salaman.
Era masa kini
Gong globalisasi telah didentumkan, ibarat zaman telah melompat 100 tahun kemudian. Pribahasa “Lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikan” mungkin tepat untuk mewakili skema perbedaan era permainan dulu dan kini. Indikatornya cukup jelas. Halaman rumah, lapangan samping sekolah, halaman samping mushalla, jalan-jalan gang kampung, yang dulu jadi tempat bermain kami, kini terlihat sepi tanpa sepotong (maaf) maksudnya seorang anak pun, tinggal pagar, pohon-pohon pijakan permainan, sekelilingnya anak ayam yang sedang makan sama induknya.
Teriakan, sorak-sorak, ketawa-ketiwi, nyaris tak terdengar lagi dari pojok-pojok kampung dan halaman, hingga penulispun ikut bertanya ke mana anak-anak ini, apakah meraka sedang antri pembagian kartu KIP, KIS, ah tak mungkin mereka kan masih kecil-kecil dan belum punya KTP? Atau mungkin lagi sibuk-sibuk untuk persiapan UAS? Ya mungkin saja.
Subhanallah. Tak disangka mereka (anak-anak kecil), kini sedang terpesona oleh pendatang baru, atau tamu yang tak diundang, tapi tetap saja memaksa datang, dengan jargon modenisasi yaitu “HP, internet, play station, Game Zone”.dll.
Mereka sekarang lebih senang antri, kumpul-kumpul di warnet atau saling menyendiri bermain dengan alat yang digengamnya. Dulu bermain tanpa biaya, kini di tempat bermain mereka ditarif, per-jam sekian ribu rupiah atau membeli paket pulsa agar bisa bermain dengan handphone mereka. Walaupun uangnya dari orang tua, dan kalau perlu memaksa ortunya. Sungguh hebat bukan?
Tak ada asesoris ketika bermain di lapangan dengan telinga terbuka suara apapun bisa masuk dan semua mendengar. Sekarang lebih seneng kalo telinganya ditutup pake eirphone atau headset atau sejenisnya, sehingga suara tidak bisa keluar sama sekali, dan hanya untuk sendiri, yang lain di larang mendengar, hanya boleh lihat gambar bergerak tanpa suara. Mereka menjadi lebih indivisualis.
Waktu saya kecil, permainan itu bisa langsung dengan banyak orang, apalagi kalau petak umpet, gobak sodor tidak pake itungan personil yang penting imbang dan asiknya rame-rame. Lah permainan sekarang selalu sendirian, paling banyak dua orang, itupun jika punya uang, bagi temanya yang bukan “beruang”, ya selamanya hanya jadi penonton, pengamat yang puas dengan melihat kepuasan kawanya si beruang. Kasihan bukan? Masih kecil sudah dicetak untuk jadi penonton bukan pemain.
Waktu main mesti teratur dan takut sekali yang namanya bolos sekolah, apalagi kalau sekedar ingin bermain nekeran (kelereng) atau engrang misalnya. Lah sekarang, justru sering dijumpai anak-anak berseragam sekolah nongkrong di warung di jam-jam pelajaran sekolah.
Benang Merah
Dari paparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ternyata pesona permaian tradisional sudah mulai pudar. Fenomena ini terjadi bukan tanpa proses dan keterkaitan dengan unsur lain, seperti teknologi berkaitan dengan budaya, gaya hidup. Dan saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan bermaksud untuk mencari kesalahan, atau menyalahkan teknologi atau yang lainya.
Saya tidak akan memberi pandangan solusi secara teoritik, namun semoga apa yang telah diilustrasikan di atas tentu sudah dapat dijadikan modal menentukan sikap.
Permainan tradisional yang telah kita lakoni bersama, kini hampir tergerus, bahkan mungkin hilang dan tersisa hanya dalam buku-buku sejarah. Oleh karena itu pandangan di atas akan kami sederhanakan dengan point-point.
Pertama, begitu mahalnya biaya untuk menyalurkan sebuah kretifitas bercampur imajinasi, yang dulunya diobral secara bebas untuk siapapun. Kedua, begitu terbatasnya ruang atau tempat penyaluran bakat bermain anak hanya fokus pada layar komputer atau hape. Padahal di sampingnya ada halaman-halaman yang lebih luas dan sejuk berlari dan membuang keringat.
Ketiga, efek kecanduan akan teknologi membatasi bahkan menyita waktu belajar (sekolah) anak-anak. Waktu mereka harus dirampas demi sebuah imajinasi semu.
Keempat, begitu diskrimatif dan individualis, kegembiraan hanya dirasakan perorangan, dan tergantung punya uang atau tidak. Begitulah adanya, meminjam bahasa Cak Nun atau Emha Ainun Najib kalau masa 1960-an itu sedang tumbuhnya flower generation yang akan menjadi benih-benih generasi pemuda yang tangguh dan semangat patriotik. Sementara, sekarang banyak terlahir follower generation, generasi yang senang ikut-ikutan, yang penting keren, ibarat orang makan yang tak pernah dikunyah dan tidak tahu rasa asin, manis, asem, langsung ditelan.
Oleh: Imam Subhi, alumni Pondok Pesantren Tebuireng
Baca juga: Ronggowarsito: Kisah Hijrah Sang Pujangga Tanah Jawa