Ketika komunikasi mengalami jalan buntu, para pendahulu telah mengajarkan tentang berusaha mengalah, neriman, legowo, berusaha lapang dada. Sikap ini biasa dilakukan apabila komunikasi antar individu tidak bisa ditutup melalui body language.
Ada tetangga yang memiliki bangunan rumah dengan konsep desain lama. Kamar mandi, tempat cuci piring, cuci pakaian, dan yang berkaitan dengan sumber air di luar rumah, samping rumah. Antara rumah dan kamar mandi itu terdapat space buat jalan lalu lalang para tetangga lainnya. Baru-baru ini, dibangun tembok yang menghubungkan antara kamar mandi dengan rumah sebagaimana desain rumah kebanyakan, perluasan rumah. Artinya, space jalan tidak lagi dapat dilalui oleh para tetangga lainnya lagi karena sudah menjadi –di dalam– rumah.
Dengan keputusan bangunan tembok ternyata mengorbankan tetangga. Rumah yang tepat di belakangnya tidak lagi memiliki akses jalan. Ia harus mengubah ruang dapur menjadi ruang tamu dan menjadikan ruang tamu sebagai dapur. Bila tidak demikian, tidak bisa lalu lalang keluar masuk. Jangankan menerima tamu atau mengadakan acara keagamaan-kemasyarakatan.
Kasus kedua, kontrakan teman. Sudah menjadi jamak bahwa daerah pendidikan dan industri membuka peluang usaha “kontrakan” atau bangunan domisili. Semakin banyak pelajar yang berdatangan, maka semakin besar peluang membuka usaha kontrakan. Rumah yang sedang dikontrak teman awalnya memiliki halaman. Pada pertengahan perpanjangan, ternyata halaman depan rumah dibangun rumah kontrakan lagi yang menutup akses jalan rumah yang sedang dia kontrak. Space jalan yang diberikan hanya sebatas setang motor, itupun bergesekan antar dinding rumah di depan kontrakannya. Dengan demikian, di akhir habis masa kontrakan, dia harus mencari pindahan kontrakan yang lebih bersahabat dengan akses jalan.
Kasus ketiga, antar saudara kakak beradik yang sudah sama-sama berkeluarga dan memiliki usaha home-industry yang sama, tahu. Karena lagi marak rumah berpagar tinggi yang melibihi tinggi rumah, masing-masing membangun pagar dan dinding yang mengelilingi rumah. Korbannya, akses jalan menuju tempat usaha (yang terletak di belakang rumah) menjadi tertutup pagar dan dinding. Akhirnya, harus membedol dinding rumah sebagai akses jalan menuju belakang rumah dan melanjutkan usaha home industry.
Selesai atau pun tidak, persoalan dianggap selesai oleh masing-masing pihak meski komunikasi antar individu tidak bisa ditutup melalui body language. Beruntungnya, ada karakter yang ditanamkan oleh para pendahulu untuk selalu berusaha mengalah, neriman, dan legowo, berusaha lapang dada. Tanpa sikap itu, pasti berujung naik ke lembaga hukum bahkan bentrok fisik tak berkesudahan. Semoga bukan menjadi awal menuju ke arah itu. Namun, ini lah salah satu solving-nya ketika komunikasi itu tengah mengalami jalan buntu.
Yang lagi hangat, fatwa MUI No. 83 tahun 2023 tentang sikap kepada Israel dan ditafsirkan oleh media generasi zilenial sebagai pengharaman produk-produk yang mendukung Israel. Tentu, rentetan pengharaman produk sebagaimana video yang beredar di WatsApp dan WatsApp Group memiliki konsekuensi mata rantai sebagaimana yang disebutkan dalam kaidah fikih, mā ḥaruma akhdzuhu, ḥaruma i’ṭāuhu, keharaman mengonsumsi berhukum haram juga mendistribusikan, juga berhukum haram memproduksi. Dengan demikian, maka para pekerja di perusahaan-perusahaan –yang dianggap pro-Israel– berhukum haram membantu pengoperasian usaha hingga menjadi produk.
Ada konsekuensi dari setiap kebijakan yang diambil. Bangunan tembok menutup akses jalan para tetangga, juga fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pengharaman segala bentuk dukungan terhadap agresi militer –tidak sebagaimana video potongan yang beredar di WatsApp yang menyebutkan produk-produk haram dengan legitimasi fatwa ini–. Itu pun bila fatwa yang diluncurkan masih didengarkan oleh umat Islam Indonesia (mengandaikan fatwa resolusi jihad) dan menempatkan status keulamaan para kiai di lembaga MUI sebagai anutan yang paham betul tentang agama. Bila abai dengan alasan tuntutan kebutuhan agar tetap suvive (bertahan), maka itu kembali pada hukum asal dari fatwa. Bahwa, ia kembali pada orang meminta kejelasan status hukum.
Bagaimana pun, Islam telah menjamur di seluruh belahan negara dunia. Amerika, Jepang, Inggris, Prancis, atau yang seringkali disebut negara barat dan Eropa. Sehingga, yang lebih tepat, dukungan terhadap Palestina dan perlawanan terhadap Israel bukanlah perang antar agama, melainkan tentang kemanusiaan, kezaliman, kebengisan, hak-hak anak kecil, dan semisalnya. Islam memperjuangkan hal itu tanpa memandang asal negara, apakah ia negeri “Islam” atau “non-muslim”. Tentu ada korban dalam setiap kebijakan.
Baca Juga: Tok! Fatwa MUI tentang Dukungan terhadap Palestina