tebuireng.co – Tokoh intelektual Islam Nahdlatul Ulama (NU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan keistimewaan kitab Ihya Ulumuddin yang jarang dimiliki kitab lainnya.
Pernyataan ini disampaikannya saat melakukan dialog dengan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. Phil. Al Makin, M.A di akun Youtube Al Makin Books, Kamis (7/01/2022).
“Kitab Ihya Ulumuddin ini sesuatu yang menarik, dikaji banyak kalangan,” jelasnya.
Dalam penuturan Gus Ulil, keistimewaan kitab Ihya Ulumuddin yang pertama karena pengarangnya yaitu Al-Ghazali. Imam Ghazali mengalami proses naik turun pemikiran. Banyak tikungan.
Kedua, kitab Ihya Ulumuddin ini memiliki pengaruh cukup besar dalam sejarah intelektual Islam dan umat Islam itu sendiri. Ihya merubah semacam modus keberagaman umat Sunni.
Kitab Ihya dikaji banyak pesantren di Indonesia. Bahkan beberapa pesantren menamakan dirinya sebagai Pesantren Ihya Ulumuddin.
“Sekarang saya menjadi pembela Ihya, karena ihya banyak dituduh macam-macam seperti sumber matinya rasionalitas, sumber kemunduran dunia Islam, sumber matinya filsafat,” ujarnya.
Bagi Gus Ulil, pesantren punya khazanah tekstual yang luar biasa kaya dan berisi banyak pengetahuan dan hikmah yang relevan di era medsos seperti kitab Ihya Ulumuddin.
“Kebetulan saya sudah mulai empat tahun lalu ngaji Ihya online, saat itu facebook baru menyediakan fitur live tanpa batas dan gratis. Ini kesempatan bagus,” ujar Gus Ulil.
Gus Ulil Bantah jika Al-Ghazali Membunuh Filsafat. Menantu Gus Mus ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa Al-Ghazali penyebab kemunduran dunia Islam dan membunuh filsafat.
“Menurut saya tidak betul Ghazali membunuh filsafat. Karena banyak orang menganggap begitu. Ketika orang membaca kitab Al-Munqidz Min ad-Dlala, orang akan tahu bahwa Ghazali tidak anti filsafat,” jelasnya.
Baca Juga: Kritik Ibnu Taimiyah dan Kritik atas Ilmu Kalam-Filsafat
Menurutnya, tuduhan Ghazali membunuh filsafat itu tidak benar, yang tepat ialah yaitu Al-Ghazali punya konsepsi filsafat sendiri yang sesuai dengan akidah asy’ariah.
Dalam teori Ghazali, filsafat terbagi menjadi enam yaitu matematika, logika, terkait fenomena alam (fisika, biologi), ilmu ilahiah yaitu ontologi (ilmu ilhiahiat bermakna umum) dan teologi (ilahiat makna khos), lalu ada filsafat etika politik dan etika moralitas.
“Al-Ghazali keberatan pada filsafat hanya bagian menyangkut ilahiat, terutama bermakna khos (teologi),” ujar pria yang akrab disapa Gus Ulil ini.
Gus Ulil menambahkan, dalam masalah ilahiat tersebut, Al-Ghazali hanya mengkritik dalam 20 masalah. Di 20 masalah tersebut menurutnya ada pendapat filosuf yang bermasalah.
Penolakan yang diberikan oleh Gus Ulil ini sejalan dengan pernyataan Frank Griffel, seorang profesor dalam bidang Studi-studi Islam di Universitas Yale dalam bukunya yang berjudul Al – Ghazali’s Philosophical Theology.
“Ghazali tidak mempermasalahkan filsafat di bagian lima yang lain. Ia hanya mengkritik bagian kecil tentang filsafat. Bahkan Ghazali mengarang tiga kitab tentang logika,” imbuhnya.
Gus Ulil lalu menceritakan, di Indonesia para murid Al-Ghazali memiliki pemikiran yang moderat dan terbuka. Mereka menerima Pancasila sebagai dasar negara dan sistem demokrasi. Ini menandakan murid ideologis Al-Ghazali sangat logis dan realistis.
Baca Juga: Tips Memilih Calon Istri menurut Imam Al-Ghazali dan Imam Ahmad bin Hanbal
Di Indonesia kelompok yang menerima Pancasila, demokrasi, dan konsep keterbukaan adalah murid Al-Ghazali. Mereka adalah santri dari pesantren yang mempelajari pemikiran Ghazali seperti Gus Dur, Kiai Sahal Mahfudz dan Kiai Ishomuddin Lampung.
“Kalau lihat anak-anak NU adalah anak cucu Al-Ghazali. Karena mayoritas anak pesantren sejak dini akrab dengan pemikiran Al-Ghazali. Saya kembali banyak belajar Al-Ghazali di Amerika Serikat,” tandas Gus Ulil.