Ada sebuah hadits yang berkaitan dengan fakir atau miskin, hadits tersebut yang berbunyi:
كاد الفقر أن يكون كفرا، وكاد الحسد أن يسبق القدر
”Kefakiran itu hampir menjadi kekafiran, dan kedengkian hampir mendahului taqdir.”
Bagaimana kualitas hadits di atas dan bagaimana sesungguhnya hakekat fakir atau miskin itu?
Status Hadits:
Hadits di atas menurut penilaian ilmu hadis dari segi jalur sanad, maka hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim al-Isfhahani dalam kitabnya “Hilyatul Auliya”, Imam Abu Muslim al-Kasyasyi dalam kitabnya “al-Sunan”, Imam Abu Ali bin al-Sakan dalam kitabnya “al-Mushanaf ”, Imam al-Baihaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Imam”.
Sementara sanad hadits ini sangat dha’if (lemah), bahkan sudah mendekati maudlu’ (palsu). Karena di dalam sanad hadits terdapat perawi yang bernama Yazid bin Aban al-Raqqasyi. Maka Menurut para ulama kritikus hadis, status Yazid al-Raqasyi ini adalah dha’if jiddan.
Bahkan Imam Nasa’i dkk menilai hadits yang di riwayatkan oleh Yazid al-Raqasyi sebagai hadits matruk. Bahkan Imam Syu’bah menyatakan, “lebih baik saya berzina daripada meriwayatkan hadis dari Yazid al-Raqasyi”.
Dari sini kita bisa mengambil benang merahnya bahwa hadits ini tidak dapat di pertanggungjawabkan keilmiyahannya, bahkan harus di tolak.
Jika ada sebuah Hadis yang di riwayatkan dengan sanad dha’if, namun terdapat hadits lain yang sanadnya sama-sama dha’ifnya, maka hadis tersebut bisa meningkat kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairihi (hadis baik karena faktor eksternal). Dengan catatan, kedha’ifan hadis ini bukan karena rawinya seorang yang fasik (pelaku maksiat) dan pendusta.
Dalam kesempatan lain, terdapat riwayat bahwa Rasulullah Saw pernah berdoa mohon kepada Allah Swt agar dilindungi dari kefakiran dan kekafiran. Ketika Nabi di tanya oleh seorang sahabat, “apakah dua hal itu sama?”, Nabi menjawab “Ya”. (HR. Imam Nasa’I dan Ibnu Hibban).
Namun, dalam konteks ini, jelas doa beliau tidak dengan sendirinya dapat “mengatrol” kelemahan hadis di atas. Masalahnya, konotasi antara hadis pengentasan kemiskinan di atas dengan hadis riwayat Imam Nasa’i dan Ibn Hibban berbeda.
Dari sisi redaksionalnya, Ibnu al-Anbari dalam kitabnya al-Intishaf mempermasalahkan hadits ini. Ia Menuturkan bahwa dalam kaidah bahasa Arab tidak pernah menggunakan kata kada (hampir-hampir) bersaman dengan huruf an. Al-Qur’an juga tidak pernah memakai kata-kata yang menggabungkan antara kada dan an. Oleh karena itu, sekiranya hadis tersebut nilainya shahih, tentu kata an itu tambahan dari perawi hadisi, bukan dari Nabi sendiri.
Hakikat Kefakiran dan Kemiskinan
Agama menilai ada perbedaan antara orang fakir atau miskin dengan orang kaya. Orang fakir itu mempunyai nilai lebih, bila di bandingkan dengan orang-orang kaya. Meskipun endingnya nanti sama-sama masuk surga. Paling tidak ada dua kemungkinan:
Pertama, orang miskin lebih cepat hisabnya. Berbeda dengan orang kaya, karena harta bendanya banyak, jadi banyak pula di hisab, sehingga lebih lama prosesnya.
Kedua, menyikapi kefakiran atau kemiskinan dengan sikap ikhlas dan sabar. Karena secara naluriah, tidak ada manusia yang ingin hidupnya susah dan menderita. Akan tetapi dalam kasus ini, Nabi malah pernah berdoa agar hidup menjadi orang miskin, di wafatkan dalam keadaan miskin, dan di kumpulkan dengan kelompok atau golongan orang-orang miskin kelak di hari kiamat.
Selain dari penjelasan hadis di atas, fakir atau miskin tampaknya memang sudah menjadi sunnatullah (ketentuan). Karena bukan tidak mungkin, jika Allah menghendaki semua manusia hidup bisa hidup miskin atau bahkan sebaliknya. Semua itu Allah lakukan semata-mata agar semua manusia hidup harmonis berdampingan, sehingga di antara keduanya, bisa saling tolong-menolong.
Namun dapat saja, dunia ini dihuni oleh hanya orang-orang kaya saja. Yakni dengan mengubah definisi kemiskinan itu sendiri. Semisal dengan mengubah definisi garis kemiskinan adalah mereka yang hidup berpenghasilan Rp 10.000,- setiap harinya.
Dengan demikian, jelas semua yang berpenghasilan lebih dari Rp 10.000, adalah masuk kategori kaya. Maka duniapun langsung mendadak dihuni oleh orang kaya semua dan orang-orang miskin tidak akan ada lagi, seiring dengan lenyapnya definisi miskin itu. Wallahua’lam bi Shawab
Disarikan dari Prof. KH. Ali Musthofa Ya’qub

