• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Berenang  di Antara Tiongkok dan Amerika dalam Konflik Laut China Selatan

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2024-04-22
in Internasional
0
Presiden Joko Widodo kunjungi Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan

Presiden Joko Widodo kunjungi Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan (ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Berenang di antara Tiongkok dan Amerika dalam konflik Laut China Selatan bukan perkara mudah. Karena dua negara ini menguasai perekonomian dan militer dunia. Keduanya juga berada di kutup yang berbeda.

Konflik Tiongkok dan Amerika Serikat di Laut China Selatan

Sebelum membicarakan ancamanan konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia ada baiknya kita melihat peta kekuatan dunia dari segi militer dan ekonomi.

Dengan begitu, kita akan mengetahui peta konflik dunia, di mana posisi kita dan sikap yang harus diambil.

Agar lebih mudah, pembahasannya kita persempit pada dua negara besar yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat.

Amerika Serikat dan Tiongkok secara Gross Domestik Product (GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB) sudah mendekati satu sama lain. Artinya kekayaan dua negara ini sudah hampir setara.

Anggaran pertahanan Tiongkok pada 2024 melonjak 7,2% atau menjadi CNY 1,67 triliun atau US$230 miliar (jika dirupiahkan sebesar Rp3.622,5 triliun dengan kurs Rp15.750/US$).

Lonjakan belanja militer Tiongkok salah satu tujuannya adalah untuk mengimbangi kekuatan militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.

Kedua negara saling bersaing menjadi kekuatan utama di Pasifik yang dipercaya akan menjadi pusat dari kekuatan global.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden resmi menandatangani Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebijakan Pertahanan pada Jumat (22/12/2203).

RUU tersebut akan akan mengesahkan belanja militer tahunan yang menembus US$ 886 miliar atau setara dengan Rp 13. 715,28 triliun (US$ 1=Rp 15.480).

Angkatan perang Amerika dan Tiongkok di tahun 2027 diprediksi setara. Oleh karenanya, di tahun 2027-2037 akan terjadi collide atau tabrakan di antara keduanya dan hasilnya akan menentukan the next new world order.

Amerika Serikat didukung sekutu barat dan Israel. Tiongkok didukung Rusia dan negara Muslim saling sikut untuk menguasai dunia.

Bila kita melihat fakta sejarah, ada ratusan perang dalam seratus tahun terakhir yang melibatkan Amerika Serikat.

Perang militer dalam 40 tahun terakhir, 90 persen terjadi di negara penghasil fossil oil. Melibatkan 80 persen persenjataan ciptaan defence kontraktor Amerika Serikat.

Amerika Serikat sejak tahun 1969 menggunakan hard power atau military approach dalam foreign policy (mengubah kebijakan negara lain).

Tiongkok menggunakan soft power sejak tahun 2013 yang dikenal dengan nama economic approach.

Keduanya, baik Amerika Serikat maupun Tiongkok strateginya adalah penaklukan atau kolonialisme.

Karena pada dasarnya mereka yang untung besar dalam finansial dan untung secara geopolitik. Keduanya sama-sama akan menaklukan suatu wilayah untuk kepentingannya.

Hal ini bisa terjadi di Indonesia. Di mana kedua negara ini berebut simpati politikus Indonesia agar diizinkan masuk ke Indonesia lewat investasi.

Motivasi perang setelah energi, maka perebutannya adalah wilayah-wilayah penghasil kekayaan alam baik di permukaan tanah seperti spice dan soft commodity maupun di bawah tanah yaitu mineral.

Alasan saya kenapa lebih mengerucut pembahasan pada Tiongkok dan Amerika Serikat tentu memiliki alasan yang kuat.

Langkah awalnya, kita bisa melihat dan mengamati secara jelas di mana ada penggalangan kekuatan atau memobilisasi angkatan militer yang masif maka dipastikan akan terjadi sesuatu yang besar.

Wilayah tersebut adalah Laut Natuna Utara. Tiongkok maupun Amerika Serikat melakukan penggalangan kekuatan di wilayah ini.

Sebelum hard war, maka ada soft war terlebih dahulu. Hard war adalah perang dengan senjata, bedil, tank, misil, roket. Soft war yaitu perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat, perang proxy, virus, dan obat-obatan.

Tiongkok diduga kuat telah melakukan soft war ke Amerika Serikat lewat obat fentanyl.

Para peneliti di Universitas California, Los Angeles (UCLA) melakukan penelitian mendalam tren kematian akibat overdosis di AS pada tahun 2010-2021 menggunakan data yang dikumpulkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS.

Data tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana fentanyl telah mendefinisikan ulang overdosis obat di Amerika selama dekade terakhir.

Hampir setiap sudut Amerika, dari Hawaii, Alaska, hingga Rhode Island, telah tersentuh oleh fentanyl.

Sebagian besar fentanyl ilegal yang ditemukan di AS diperdagangkan dari Meksiko menggunakan bahan kimia yang bersumber dari Tiongkok, menurut Drug Enforcement Administration (DEA).

Dalam beberapa tahun terakhir, obat fentanyl dihajar oleh Tiongkok, dikirim ke Amerika Serikat lewat proxy drug cartel, khususnya kartel narkoba Meksiko.

Korban fentanyl di Amerika Serikat rata-rata usianya 17-45 tahun.

Sejak 2019, ada 44 persen penurunan labour force atau penurunan angkatan kerja Amerika Serikat karena penyalahgunaan narkoba. Taktik perang ini dinamakan asymmetric war.

Dengan cara semua farmasi penghasil fentanyl diberikan keringanan pajak dan kemudahan berproduksi.

Sehingga harganya sangat murah. Mau tidak mau, Amerika Serikat tidak bisa menolak karena harganya seperempat dari produksi Amerika Serikat.

Fentanyl banyak digunakan di kalangan medis, untuk menghilangkan rasa nyeri, tentunya atas resep dokter.

Dengan mudahnya menemukan fentanyl maka timbul dampak baru. Campuran fentanyl dengan narkoba seperti opium dan kokain akan membuat halusinasi yang hebat serta kecanduan.

Tiongkok punya pengalaman panjang dalam mengelola opium. Ini pernah terjadi pada 1840-an dan 1860-an saat Tiongkok gencar memproduksi opium.

Bahkan, dugaannya 80 persen narkoba yang masuk ke Indonesia berasal dari Tiongkok.

Amerika tidak tinggal diam, Presiden Donald Trump secara terbuka melakukan perang dagang dengan Tiongkok. Begitu banyak sanksi dan kesulitan diterapkan pada produk Tiongkok.

Kita lihat dari sisi militer, Amerika telah membangun pangkalan militer di Filipina dengan kecepatan penuh.

Amerika Serikat juga membangun kekuatan rantai pulau atau chain island defence dari Taiwan hingga pulau Mageshima Jepang.

Ada sekitar 10 titik kekuatan militer yang dibangun melewati pulau-pulau tersebut.

Dampaknya, ketika kapal niaga dari Tiongkok lewat menuju Amerika Utara maka melewati pangkalan militer yang dibangun Amerika Serikat dan sekutunya.

Akar Konflik Laut Natuna Utara

Pemerintah Indonesia sejak 2017 secara resmi mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.

Dikutip dari Encyclopedia Britanica, sejatinya Kepulauan Natuna dengan tujuh pulau di sekitarnya pada abad-19 merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Riau dan pada 18 Mei 1959 sudah didaftarkan sebagai miliki Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Hal ini tidak lepas dari kebijakan Tiongkok pada 1949 yang membuat nine dash line atau sembilan garis putus.

Alasannya cukup unik, wilayah itu adalah traditional fishing ground Tiongkok sejak ribuan tahun lalu.

Tahun 1958, Tiongkok menguatkan sembilan garis putus sebagai wilayah laut mereka.

Tiongkok tidak peduli bahwa komunitas internasional menentangnya dan PBB tidak menyetujuinya.

Wilayah sembilan garis putus membuat masalah dengan Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina dan Indonesia.

Namun, Tiongkok terus menguatkan armada lautnya. Coast guard atau petugas penjaga pantainya mengawal nelayan-nelayannya untukmu terus mengambil ikan dan kekayaan laut natuna utara.

Tahun 1974, Tiongkok mengambil Pulau Paracel milik Vietnam dan membunuh 70 angkatan laut Vietnam.

Ketika Mao Zedong wafat 1976, militer Tiongkok bertambah kuat. Sehingga berani maju mencaplok wilayah lainnya.

Tahun 1988, Vietnam dan Tiongkok kembali berperang di Pulau Spratly, sebanyak 60 angkatan laut Vietnam wafat.

Wilayah Spratly island diklaim Tiongkok dengan mundur ke abad kedua. Dengan data potsdam declaration dan Cairo declaration setelah perang dunia Kedua.

Tahun 1996, Tiongkok perang dengan Filipina memperebutkan Pulau Mischief Reef selama 90 menit.

Dampak konflik dengan Tiongkok, Vietnam dan Filipina menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat.

Ketika Tiongkok bermasalah dengan Filipina, Amerika Serikat secara tak langsung juga terseret. Konflik Laut China Selatan memasukkan Amerika Serikat sebagai lawan seimbang.

Kekuatan militer Tiongkok terus meningkat pada 2012 dan dengan berani mencaplok wilayah Scarborough Shoal, yang masuk dalam zona ekonomi eksklusif Filipina.

Karena tidak terima, Filipina membawa ke Parlement Court of arbitration atau Mahkamah Arbitrase Permanen di Belanda.

Tahun 2016 keluar keputusan, bahwa wilayah tersebut milik Filipina. Namun, Tiongkok tetap tidak peduli dan tetap bercokol di sana.

Bahkan keputusan arbitrase Internasional yang membuang sembilan garis putus Tiongkok atau invalidating nine dash line, tetap saja Tiongkok tidak peduli. Tiongkok bukan hanya tidak peduli, dan terus maju.

Hal ini terbukti pada 2013 dan 2015, Tiongkok membangun besar besaran pangkalan militer di Spratly Island.

Di tahun 2022, US Indo Pacific Commander armada ke-7 Amerika yang bermarkas di Okinawa Admiral John C Aquilino mengatakan Tiongkok fully militarized Spratly Island, membangun pangkalan angkatan laut sekaligus landasan pesawat terbang untuk mendarat pesawat besar seperti bomber plane beserta pangkalan misil dari udara ke udara, udara ke darat dan bisa menjangkau 1500 KM missile guide roket. Artinya bisa mencapai ke semua negara yang ribut di wilayah tersebut.

Tiongkok juga tidak peduli dengan freedom of navigation operation di area laut natuna utara.

Perbuatan Tiongkok ini bisa menjadi muasal perang dunia ketiga dengan Taiwan jadi titik tengahnya. Karena Tiongkok juga sedang konflik dengan Taiwan yang didukung Amerika Serikat.

Amerika Serikat secara terbuka mempermasalahkan kehadiran Tiongkok di wilayah sengketa, konflik Laut China Selatan.

Amerika lalu menambah kekuatan aramada 7 untuk Asia Pasifik berupa 140.000 marinir, 200 kapal dan 1.200 pesawat.

Amerika Serikat tidak tinggal diam, mereka mengelola sembilan pangkalan militer di Filipina.

Selain itu, pangkalan militer Amerika juga ada di Darwin (Australia), Diego Garcia di Samudera Hindia, dan pangkalan logistik di Singapura.

Di Jepang dan Korea terdapat sekitar 200 pangkalan militer AS, ada 3 pangkalan militer AS di Guam, dan terdapat 1 pangkalan militer AS di Cocos Island atau Kepulauan Cocos yang jaraknya dekat dengan Indonesia.

Dampak Konflik Laut Natuna Utara ke Indonesia

Tensi yang memanas di Laut China Selatan atau Laut Natuna Utara akan mempengaruhi keberlangsungan proses pembentukan masyarakat ASEAN.

Masyarakat ASEAN adalah proyek integrasi negara-negara Asia Tenggara dalam bidang politik dan keamanan, ekonomi, dan sosial budaya.

Dinamika tak terkendali di kawasan akan memberikan efek destabilisasi bagi situasi keamanan dan perdamaian dengan kemungkinan terjadi perang kapan saja.

Ini tentu mempengaruhi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Terparah, apa yang terjadi dengan Vietnam dan Filipina terkait klaim pulau oleh Tiongkok tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada Indonesia.

Tiongkok mengklaim sepihak Zona Ekonomi Eksekutif (ZEE) Indonesia di Natuna sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional.

Klaim ini menyebabkan terjadinya berbagai insiden seperti penembakkan dan penangkapan kapal KM Nelayan China Qiandanzhou 19038 pada 2016 oleh KRI Imam Bonjol.

Selain itu, Indonesia adalah negara yang bergantung banyak hal dengan luar negeri seperti currency (mata uang), teknologi komunikasi, BBM, kebutuhan sehari-hari dan banyak lagi.

Ketika terjadi perang di Laut Natuna Utara, maka setiap negara akan fokus dengan negara masing-masing. Indonesia akan kekurangan stok bahan pokok seperti beras.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2023 impor beras Indonesia mencapai 3,06 juta ton.

Ada empat negara pemasok beras terbesar yaitu Thailand, Vietnam, Pakistan dan Myanmar. Jangan sampai Indonesia tercekik karena tidak bisa memenuhi kebutuhan domestik.

Ancaman bagi Indonesia dari Amerika Serikat jika tidak mendukung mereka yaitu perang militer langsung seperti separatis di tanah Papua.

Amerika juga bisa menyerang Indonesia lewat sekutunya yaitu Australia, Papua Nugini dan negara kecil lainnya.

Indonesia yang multi suku, bahasa, dan bangsa sangat mudah dipecah belah dengan isu SARA.

Kefanatikan buta pada agama mempermudah negara asing memecah belah Indonesia dari dalam.

Hal ini bisa saja dilakukan Amerika dan sekutunya jika Indonesia lebih condong ke Tiongkok dan Rusia.

Tiongkok terbuka juga kemungkinan menyerang Indonesia secara terbuka ketika dalam konflik Laut Natuna Utara kita lebih condong ke Amerika Serikat dan sekutunya.

Namun, Tiongkok lebih suka bermain soft war lewat penguasaan ekonomi dan sumber daya alam. Sehingga kita bergantung pada Tiongkok dalam banyak hal.

Pastinya, kedua negara besar ini punya potensi sama besar dalam serangan tidak langsung seperti hacker, drone satelit intelejen, hoax dan disinformasi di media sosial, pangan, virus, vaksin, serta penyakit efek pandemi.

Bagaimana Solusi Agar Indonesia Selamat dari Konflik Laut Natuna Utara

Bernegara itu rumit, labirinnya banyak. Memerlukan kewaspadaan yang mendalam untuk hati-hati mengambil keputusankeputusan yang harus menguntungkan rakyat dan memperkuat kedaulatan negara.

Salah satu buku lama berjudul how to swim with the shark withoutbeing eaten alive, mengajarkan Indonesia untuk bisa berenang di antara Amerika Serikat dan Tiongkok tanpa mati konyol.

Dalam buku tersebut diajarkan seni menjual yaitu menciptakan permintaan, mengetahui profil pelanggan dengan membuat minimal 66 hal tentang pelanggan, memiliki tujuan jelas dan strategi negosiasi.

Hal tersebut juga bisa diterapkan dalam konflik Laut Natuna Utara ini.

Pertama, memanfaatkan kelemahan lawan. Kita tahu sejak dulu, Indonesia incaran negara besar karena letaknya yang strategis, udara bagus, tanah subur dan sumber daya alamnya yang kaya.

Indonesia harus punya grand design untuk survive, bertahan hidup, lalu membangun peradaban lebih baik dari sebelumnya.

Indonesia bisa memanfaatkan dilema dari sisi negara di Tiongkok, negaranya adalah food insecurity country.

Tiongkok itu confirm negaranya tidak secure (aman) terhadap food (makanan). Tahun 2022, Tiongkok mengimpor 200 billion dollar food dan hanya mengekspor 120 billion.

Sejak 2013, Tiongkok adalah net imported country atas minyak bumi, mendekati angka 15 juta barel perhari atau 10 kali kebutuhan nasional Indonesia.

Melihat fakta ini, maka langkah selanjutnya yang perlu dibuat yaitu mendesain agar Tiongkok jadi ketergantungan dengan ekspor food asal Indonesia.

Tanah nusantara yang subur adalah modal utama yang tidak dimiliki Australia dan Singapura.

Sehingga program Kementerian Pertahanan RI berupa food estate harus dilanjutkan dengan evaluasi di berbagai sisi tentunya.

Selain memperkuat kebutuhan dalam negeri ketika terjadi perang, food juga bisa jadi harga tawar ke dunia internasional.

Lalu bagaimana dengan Amerika?

Amerika Serikat butuh Indonesia karena letaknya strategis, penduduknya besar dan kekayaan alamnya melimpah. Amerika berkali-kali meminta lahan untuk dijadikan pangkalan militer, tapi ditolak. Amerika butuh karet, sawit dan alat listrik Indonesia.

Hal lain yang menjadi alasan kenapa kita harus memperhatikan food yaitu melihat strategi Amerika Serikat: control oil and you control nations, control food and you control the people.

Strategi nyatanya yaitu sengaja merusak pertanian seluruh dunia sehingga gandum dunia dikendalikan perusahan multi nasional Amerika Serikat.

Ringkasnya, gandum adalah bahan dasar roti dan mie. Indonesia punya pabrik mie, tapi bahannya harus impor.

Kedua, mengaktifkan militer dalam dunia dagang internasional. Setelah food estate berhasil dan memiliki produk melimpah, pemerintah Indonesia perlu mengganti istilah Kementerian Pertahanan menjadi Kementerian Perang, atau bisa juga membentuk Departemen Perang (apapun istilahnya).

Salah satu agendanya mengawal ekspor food dan membantu perusahaan swasta untuk ekspansi keluar negeri seperti VOC dibantu Belanda. Tanpa bantuan militer, maka VOC tidak akan bisa jaya di Indonesia.

Jalur minyak dunia dikendalikan Amerika Serikat lewat Naval Fleet atau Armada Laut Amerika.

Begitu juga perusahaan Indonesia tidak akan bisa berbisnis aman dan lancar di Laut China Selatan.

Tentunya dengan memperkuat militer Indonesia sebelum dilepas ke kancah internasioal.

Hal ini pula membuat Tiongkok bersikeras membuat sembilan garis putus-putus karena negara Tiongkok sangat bergantung pada selat Malaka dan Laut Natuna Utara.

Ada 5 triliun dolar setiap tahunnya nilai barang yang menggunakan wilayah tersebut.

Angka ini merupakan 22 persen dari global tradetrade yang melalui selat Malaka dan Laut Natuna Utara yang terdiri dari 40 persen petroleum production, 60 persen perdagangan laut atau maritim tradetrade dan menggunakan 33 persen shipping (pengiriman barang) dunia. 42 persen transaksi Jepang melewati Laut Natuna Utara dan Selat Malaka.

65 persen transaksi laut Korea Selatan dan 51 persen transaksi Taiwan melewati laut Natuna Utara dan Selat Malaka.

Dengan menguasai Natuna Utara maka Tiongkok bisa mengatur kebutuhan dalam negeri dan mendapatkan keuntungan.

Ketiga, melepaskan ketergantungan asing dam aktif dalam gerakan non blok untuk keamanan kawasan Natuna Utara di forum internasional.

Pelajaran 27 dari seni menjual yaitu setuju untuk mengurangi perselisihan. Agar tidak terjadi perselisihan di dalam negeri maka perlu ketersedian barang tanpa ekspor.

Supaya tidak terlibat perselisihan negara besar, maka menggalang kekuatan di gerakan non blok.

Memilih tidak berpihak pada Tiongkok dan Amerika Serikat bukan bearti tidak memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi kedua negara ini.

Namun, lebih fokus membangun negeri agar tidak bergantung dengan negara lain.

Tiongkok berani melawan Amerika Serikat karena mereka memiliki kekuatan. Jika USA punya facebook maka Tiongkok memiliki weibo, instagram dilawan dengan renren, wechat disandingankan dengan whatsApp, didi adalah ubernya Tiongkok.

Alibaba merupakan amazonnya Tiongkok dan aplikasi tersukses Tiongkok yaitu tiktok.

Keempat, menghidupkan perdagangan antar pulau di Indonesia. Dengan jumlah 270 juta lebih penduduknya, memanfaatkan perputaran uang di dalam negeri saja sudah seperti perdagangan antar negara.

Syaratnya pemerintah jangan mempersulit warganya mencari rezeki dengan peraturan yang aneh-aneh, permudah pendanaan, permudah kretaivitas, utamakan memakai dan memproduksi produk dalam negeri.

Jika tidak ada produk dalam negeri, maka kita bisa meniru Tiongkok dengan copy produk luar negeri, dimodali agar bisa bersaing.

Syarat selanjutnya, pemerintah harus melanjutkan pembangunan insfrastruktur seperti transportasi massal di kota besar, jalur kereta api, jalan, bandara, pelabuhan untuk percepatan perpindahan barang.

Program Presiden Joko Widodo dalam bidang ini harus dilanjutkan. Tak kalah pentingnya yaitu akses kesehatan, pendidikan, nelayan punya kapal, ketersedian pupuk, kemudahan bagi peternak, maka diharapkan Indonesia surplus ikan, surplus daging, surplus food.

Mudahnya, ketika terjadi perang antara Amerika Serikat beserta sekutunya dengan Tiongkok di Taiwan atau Laut China Selatan maka Indonesia akan dijadikan basis penyedia barang pendukung seperti makanan, pendaratan pasukan, dan bahan baku amunisi.

Jika Indonesia bisa memainkan peran dengan baik, maka Indonesia bisa mengambil keuntungan dari konflik ini. Semoga berhasil memainkan peran.

Oleh: Syarif Abdurrahman

Tags: jaganatunaKedaulatanIndonesiakonflik laut china selatanLombaISDS
Previous Post

Hari Kartini, Najwa Shihab: Ini Tantangan Perempuan Masa Kini

Next Post

Rujak Kelang,Cita Rasa Rujak Khas Pamekasan

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Rujak Kelang, Cita Rasa Rujak Khas Pamekasan.(Ist)

Rujak Kelang,Cita Rasa Rujak Khas Pamekasan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Buka MQK 2025, Menag Dorong Eksplorasi Turats untuk Pelestarian Lingkungan
  • Erick Thohir: Sport Tourism Memiliki Peran Vital Pembangunan Bangsa
  • Menag Salurkan Bantuan ke Pesantren Al Khoziny dan Pastikan Pencegahan Kejadian Serupa
  • Buku-buku yang Pernah Dilarang di Indonesia
  • Benarkah Membaca Sastra dapat Meningkatkan Empati?

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng