Kepakaran Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari (selanjutnya disebut Kiai Hasyim) dalam ilmu keislaman tercermin dalam karya, kiprah, dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Terkhusus karyanya, seperti yang terlihat dalam bagian muqaddimah kitab Risalah Ahli al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang mengandung nilai luhur yang sangat baik untuk diamalkan.
Gus H Muhammad Hasyim (selanjutnya disebut Gus Hasyim), salah satu dzuriyah Kiai Hasyim mengulas lima nilai utama yang terkandung dalam muqaddimah kitab Risalah Ahli al-Sunnah Wa al-Jama’ah. Hal ini sebagaimna disampaikan dalam pengajian rutin yang dilaksanakan di masjid Tebuireng pada Sabtu,(13/10/2024).
Lima nilai utama yang terkandung dalam muqaddimah kitab Risalah Ahli al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang pertama adalah ketawadhuan Kiai Hasyim yang tercermin dari pernyataan dan harapannya pada bagian akhir muqaddimah kitab dimaksud. Seperti banyak penulis kitab atau buku, secara tersurat Kiai Hasyim berharap agar buah karyanya bisa berdampak bagi masyarakat luas. Pada akhirnya, harapan tersebut terjawab dengan fakta banyaknya kalangan yang hingga hari ini mempelajari kitab Risalah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Setelah itu, ketawadhuan Kiai Hasyim tampak pada pernyataannya yang melabeli dirinya sebagai orang yang senantiasa selalu butuh ilmu (untuk tidak mengatakan bodoh; dalam teks asli Kiai Hasyim menyebut dirinya sebagai orang yang bodoh). Padahal, sebagaimana banyak catatan sejarah menyebutkan bahwa Kiai Hasyim merupakan salah satu ulama rujukan umat dan ulama dari masa ke masa.
Menempati posisi kedua setelah ketawadhuan adalah keikhlasan. Di mana hal ini juga merupakan sesuatu yang sering disebutkan oleh Kiai Hasyim dalam banyak pidato dan karyanya. Secara garis besar, Kiai Hasyim menghendaki supaya dalam setiap sesuatu yang dikerjakan selalu didasari dengan kondisi hati yang ikhlas.
Dalam etika belajar misalnya, yang tercantum dalam kitab Adabu al-Alim wa al-Muta’allim Kiai Hasyim menjadikan keikhlasan hati seorang pelajar sebagai syarat utama yang perlu dimiliki sebelum kegiatan belajar itu dilakukan.
Yang ketiga adalah kasih sayang inklusif dan tidak pelit ilmu, khususnya bagi seorang guru maupun da’i yang harus mengayomi para pengikutnya. Ia tidak boleh membedakan anggota kajian atau muridnya. Perhatian yang ia berikan harus menyeluruh kepada setiap lapisan masyarakat tanpa melihat latar belakang kelas sosial atau latar belakang apa pun.
Kasih sayang yang inklusif ini harus diamalkan dalam lingkungan luas atau sempit sekalipun. Di lingkungan luas sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan lingkungan tersempit, seperti adalah lingkungan keluarga.
Nilai luhur yang keempat yakni bagi orang berilmu hendaknya tidak hanya duduk di menara daging. Nilai ini menjadi pesan tersirat Kiai Hasyim dalam muqaddimah yang sedang dibahas. Kiai Hasyim mengatakan; inilah masanya untuk merealisasikan untuk mencapai tujuan.
Gus Hasyim menafsiri penggalan kalimat tersebut sebagai ajakan Kiai Hasyim, khususnya kepada seluruh santrinya ketika pulang ke masyarakat agar tidak hanya menjadi pengamat. Tapi juga harus terjun ikut bergerak dengan masyarakat membangun peradaban.
Kelima adalah tidak sombong. Nilai terakhir ini berkaitan langsung dengan nilai yang keempat. Kesadaran akan tanggung jawab untuk mengamalkan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat, sebisa mungkin tidak sampai menjadikan kita merasa sombong yang seolah satu-satunya sosok yang paling layak untuk didengarkan.
Disarikan dari ngaji kitab Risalah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah yang diampuh oleh Gus H. Muhammad Hasyim (salah satu dzuriyah KH. Hasyim Asy’ari)
Penulis: Ahmad Fikri
Editor: Thowiroh
Baca juga: Dr. Achmad Roziqi: Empat Langkah Sukses dalam Belajar