Adakah anjuran istri berhias untuk suami? Apakah ini juga termasuk “hak dan kewajiban dari kerhidupan berumah tangga”? Mari simak penjelasan dan manfaatnya berikut!
Ada sebuah konten: seorang istri sedang mencuci piring dengan pakaian sederhana, suami meyeletuk: kok pakai daster terus? Istri pun merubah tampilan menjadi menawan bak bidadari, sambil meneruskan pekerjaan rumah. Suami pun kaget dan ketakutan. Ya, itulah konten hiburan di TikTok yang sempat tren beberapa waktu lalu. Meski hanya konten, tetapi itulah fakta yang ada bahwa dalam pernikahan pasti ada dinamika problematika.
Dalam aturan fikih, kita tentu mengenal istilah “hak dan kewajiban suami istri”. Meskipun tidak semua orang mempelajarinya, baik yang belum menikah atau pun sudah berumah tangga, tetapi dalam konteks budaya Indonesia serta negara yang beragama, mayoritas orang menikah tidak akan seenaknya meninggalkan “hak dan kewajiban” tersebut. Ya, kecuali segelintir orang saja. Mengacu konten di atas, istri tampil menarik selama di rumah, apakah ada anjuran dari syariah?
Istri Mempercantik Diri untuk Suami
Syariah Islam menganjurkan istri berhias dan mempercantik diri untuk suaminya. Seorang perempuan memang tumbuh dengan kecantikan atau sebagai perhiasan, sebagaimana kata Al-Wahidi dalam tafsir al-Wasith-nya menafsirkan Surah Al-Zuhruf ayat 18.
Anjuran istri untuk berhias juga disabdakan oleh Rasulullah Saw:
في حديث أبي هريرة رضي الله عنه قال: سُئل رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «الَّتي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ» أخرجه الإمام أحمد في المسند
Artinya: “Dalam hadis riwayat Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah ditanya: Wanita manakah yang lebih baik? Beliau menjawab: Yang menyenangkan hatinya ketika melihatnya. Hadis dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnad.”
Syekh Mulla Ali al-Qari berkata dalam Marqatul Mafatih (5/2132, t.t. Darul Fikr): “Yang membuatnya bahagia”, maksudnya yakni, dia membuat suaminya bahagia (jika suaminya memandangnya), yakni jika suaminya melihatnya dengan keceriaan, akhlak yang baik, dan kebaikan, dan jika digabungkan antara rupa dan perilakunya, maka dia menjadi kenikmatan di atas kenikmatan, dan cahaya di atas cahaya.
Begitu mulia wanita yang dipuji Rasulullah Saw dengan kriteria tersebut. Bukan tanpa alasan, karena wanita yang cantik pribadi dan akhlaknya akan membantu suami dalam menjaga kehormatan dan agamanya sesuai keterangan dalam kitab Taysir fi Syarhi Jami’i Shogir.
Dalam satu riwayat atsar menyebutkan:
عن بَكْرَة بنت عقبة: أنَّها دخلت على أمِّ المؤمنين السيدة عَائِشَةَ رضي الله عنها وهي جالسةٌ في مُعَصْفَرَةٍ، فسألتها عن الْحِنَّاءِ؟ فقالت: “شَجَرَةٌ طَيِّبَةٌ وَمَاءٌ طَهُورٌ”. وسألتها عن الـحِفَافِ؟ فقالت لَها: “إِنْ كَانَ لَكِ زَوْجٌ فَاسْتَطَعْتِ أَنَّ تَنْزِعِي مُقْلَتَيْكِ فَتَصْنَعِيهِمَا أَحْسَنَ مِمَّا هُمَا فَافْعَلِي” أخرجه ابن سعد في “الطبقات الكبرى
Artinya: “Dari Bakra binti Uqbah: Ia memasuki rumah Ummul Mukminin, Ummu A’isyah radhiyallahu ‘anha, ketika ia sedang duduk di sebuah musafarah. Aku bertanya kepadanya tentang pacar, dan ia menjawab, ‘Pohon yang baik dan air yang murni.’ Aku bertanya kepadanya tentang hifaf, dan dia berkata kepadaku: ‘Jika engkau memiliki suami dan engkau mampu mencabut (bulu halus) kedua bola matamu dan menjadikannya lebih baik dari sebelumnya, maka lakukanlah.’ Ibnu Sa’ad meriwayatkannya di dalam kitab Tabqatul Kubra.”
Secara teknis, memang ada perbedaan pendapat ulama mengenai cara berhias bagi istri. Menurut atsar dari Siti Aisyah menunjukkan kebolehan mencabut rambut halus di sekitar bola mata. Namun, sebagian ulama menganggap menghilangkan hifah (bulu halus di pelipis) sama dengan melakukan namsu (mencukur habis alis) yang dilaknat oleh Allah. Secara umum, boleh mencukur sesuatu yang mengganggu di wajah, misalnya bulu halus bahkan alis, dengan catatan seizin suaminya. Bagi yang belum bersuami, haram hukumnya.
Di samping itu, Imam Ibnul Arabi berkata dalam Ahkamul Qur’an menyebutkan:
والزينة على قسمين: خلقية، ومكتسبة. فالخِلْقية: وجهُها؛ فإنه أصل الزينة وجمال الخلقة. وأما الزينة المكتسبة: فهي ما تحاوله المرأة في تحسين خَلْقِها بالتصنع؛ كالثياب، والحُلِيّ، والكحل، والخضاب
Artinya: “Ada dua jenis perhiasan: Diciptakan dan diusahakan. Yang pertama adalah wajah: Wajah; ini adalah asal dari perhiasan dan keindahan penciptaan. Adapun perhiasan yang diusahakan: Perhiasan yang diusahakan oleh seorang wanita untuk menyempurnakan ciptaannya melalui buatan, seperti pakaian, perhiasan, celak mata, dan riasan wajah.”
Dalam syariah Islam, batasan yang boleh ditampakkan seorang wanita pada selain mahram ialah wajah dan telapak tangan saja. Maka logis jika ulama berbeda pendapat dalam mengambil hukum terhadap atsar dari Siti Aisyah perihal mempercantik wajah karena berhubungan dengan khilqiyyah, yang oleh Allah SWT kita dilarang mengubah ciptaan-Nya.
Timbal Balik dari Suami
Sebagai penyeimbang, perempuan yang dituntut sedemikan rupa harus mempercantik diri dan seterusnya, lalu bagaimana posisi suami? Seorang kepala keluarga atau suami diberi tanggung jawab menjaga eksistensi keluarganya. Ya, melalui nafkah terhadap istri dan anak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI, yaitu bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
Juga dalam Pasal 107 ayat (2) KUHPer, yang mengatakan bahwa suami wajib untuk melindungi istrinya dan memberikan kepada istrinya segala apa yang perlu dan patut sesuai dengan kedudukan dan kemampuan si suami.
Dengan aturan tersebut, suami tidak boleh hanya menuntut istri tampil menawan, tetapi harus memenuhi kewajibannya sebagaimana di atas. Untuk tampil cantik, wangi, dan rapi tentu memerlukan biaya, perawatan, dan sebagainya. Dalam banyak literatur fikih pun mengamini tanggung jawab suami dalam keluarga.
Majas hiperbola dalam konten TikTok di awal dengan istri berdandan sepanjang waktu, apa sudah benar? Jawabannya, sewajarnya saja, tidak wajib berlebihan. Istri boleh mempercantik diri, tapi proporsional. Tidak harus 24 jam seperti itu. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Habib Ali al-Jufri bahwa relasi antar suami istri tidak diukur hanya dengan “keadilan”, tetapi hubungan antara suami dan istri didasarkan pada hubungan yang penuh dengan fadl (keutamaan). Jadi, ketika istri memberikan perilaku yang baik dengan menjalankan apa yang diperintah syariah, suami pun juga sebaliknya harus begitu. Istri tampil cantik, wangi, dan rapi, suami pun harus mampu mengimbangi dengan tampil rapi, wangi, dan dompet berisi.
Jelas bahwa manfaat dari istri yang bisa menjaga pandangan suami dari orang lain, dengan berpenampilan cantik dan akhlak yang baik, akan melengkapi kehidupan rumah tangga dan agamanya. Tidak akan terjadi problematika yang berarti, tentu semua harus didasari takwa kepada Allah SWT sehingga akhirnya tercapai keluarga harmonis dan sakinah. Wallahu a’lam.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Hari Kartini, Najwa Shihab: Ini Tantangan Perempuan Masa Kini