Akses kemudahan dalam pembayaran salah satunya ialah media pay later yang memberikan kemaslahatan sekaligus kerugian bagi masyarakat. Pembelian di E-Commerce memungkinkan masyarakat terjerat utang. Terlebih kemudahan bagi pengguna melakukan pembayaran barang atau jasa yang nantinya ditunda pada waktu yang ditentukan.
Pembayaran pay later ini juga memiliki berbagai tempo waktu mulai dari minggu, bulan, atau bahkan tahun. Tak hanya menunda pembayaran, pengguna juga bisa melakukan kredit dalam jangka waktu tertentu. Kemudahan dalam melakukan kredit ini sebab dalam sistem pay later bersedia memberi pinjaman online tanpa jaminan apapun.
Jika kemudahan pembayaran dan pembelian ini jika tidak didukung dengan literasi keuangan yang baik, masyarakat akan terjerat utang konsumtif. Data melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan catatan bahwa masyarakat Indonesia mencapai 29,59 Triliun per April 2025. Hal tersebut berasal dari layanan pay later di perbankan dan multifinance.
Perkembangan industri pay later juga menjadi pantauan OJK, mengingat pentingnya literasi keuangan khususnya pemahaman akan utang.
Bencana Utang Komsumtif
Banyak masalah yang ditimbulkan dari utang, melalui pandangan dari buku The secret of money, pesan dari Crawford bahwa “Utang bukan solusi, ia adalah masalah yang ditunda”. Menurutnya utang juga disebut dengan perbudakan modern, kita tau bahwa layanan pay later atau beli sekarang bayar nanti ini ada di tahun 2010 an, dan populer pada 2019-2020.
Crawford juga mengatakan bahwa bunga utang sebagai musuh produktivitas. Jika dibandingkan dengan kartu kredit, pay later memiliki bunga yang cukup besar 2-5% sedangkan kartu kredit 1,75% yang telah ditetapkan BI.
Bunga keseluruhan per tahun bisa 24-60%. Sedangkan jika dibandingkan return dari Investasi (deposito, reksadana, obligasi) hanya sebesar dibawah 15% dengan risiko sesuai dengan instrumennya. Hal ini berarti bunga dari utang jauh lebih besar dibandingkan dengan investasi artinya untuk menghabiskan uang sesaat di masa kini lebih mudah dibandingkan menabung di masa mendatang.
Jeratan utang juga bagian dari fenomena YOLO spending atau You Only Live Once spending, dimana dorongan seseorang untuk menikmati hidupnya hal ini memicu perilaku konsumen dimana Individu memprioritaskan pengeluaran untuk pengelolaan barang mewah daripada menabung untuk masa depan dengan didorong kesenangan sesaat.
Sama halnya dengan psikologi FOMO Doom Spending atau trend dimana seseorang melakukan proses belanja berlebihan, impulsif, dan memberikan rasa bahagia terhadap seseorang yang bersifat sementara.
Mirisnya beberapa layanan pay later memberikan beragam promo, cashback, diskon dan yang lainnya untuk menggiurkan pengguna untuk menggunakan layanan mereka. Kemudahan ini juga membuat beberapa pengguna pay later ini banyak terjadi gagal bayar. Salah satu data dari Kredivo penyumbang terbesar kredit yang mereka berikan adalah rentan usia 15 – 35 tahun.
Banyaknya masalah dalam utang masyarakat seharusnya menjadi evaluasi pemerintah untuk terus melakukan edukasi terkait keuangan terutama lembaga keuangan pemerintah.
Apalagi melihat data dari OJK hari ini, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih 49,76% dimana masih banyak daerah di Indonesia tak mendapatkan akses literasi keuangan yang baik. Terkhusus lagi, belum ada dukungan adanya sekolahan yang menyediakan kurikulum terkait literasi keuangan.
Penulis: Maulida Fadhilah Firdaus
Editor: Thowiroh
Baca juga: Benarkah Kemiskinan Struktural Memang Ada?