Kemiskinan struktural diartikan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia seperti kebutuhan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang.
Sederhananya, kemiskinan struktural diartikan akibat struktur sosial yang rumit sehingga menyebabkan kesulitan memperoleh berbagai kesempatan seperti seorang anak yang dilahirkan di keluarga miskin, besar kemungkinan dia akan menjadi miskin.
Riset studi yang berjudul Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia tahun 2024, dilakukan Celios dengan mengumpulkan data dari 50 orang terkaya di Indonesia menurut Forbes menghasilkan adanya ketimpangan yang sangat besar antara si kaya dan si miskin.
Menariknya, Celios mengungkapkan temuan bahwa harta 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 50 juta orang terkaya di Indonesia, dengan potensi Rp. 81,6 triliun dari akumulasi 2% dari kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia.
Penyebab dari keadaan ini lantaran terbatasnya dukungan sistem mulai dari keterbatasan pendidikan, dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah, kurangnya kesempatan dalam mempelajari teknologi, minimnya relasi dan jaringan pertemanan atau hubungan.
Hal ini juga menjadi pembeda antara kemiskinan yang ada di Amerika dan Indonesia, dimana di masyarakat negara Amerika yang miskin nantinya masih mudah untuk keluar dari kemiskinan atau biasanya kemiskinan karena kebangkrutan.
Berbeda dengan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah bahwa kemiskinan Indonesia adalah karena sistem yang tidak mendukung masyarakat miskin bangkit, sehingga hal ini menjadi seperti lingkaran setan kemiskinan.
Hal ini kadang tidak hanya dialami oleh keluarga miskin tetapi keluarga kelas menengah, bahkan keluarga kelas menengah juga bisa berpotensi jatuh pada jurang kemiskinan. Lalu sulitkah untuk menjadi warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan?
Indonesia menjadi negara nomor 1 dengan pengangguran tertinggi pada April tahun 2024 diantara enam negara ASEAN . Kegagalan pemerintah Indonesia dalam membangun perusahaan manufaktur, menjadi hambatan beberapa kelas bawah tidak memiliki banyak kesempatan bekerja dengan mudah dan gaji yang tinggi.
Minimnya perusahaan manufaktur membuat banyak dari masyarakat Indonesia yang berada di pekerjaan ‘pelayanan’ seperti tukang parkir, kasir, pelayan cafe, dan sejenisnya. Padahal jika melihat di negara maju hal demikian telah dialihkan dengan istilah ‘self service’ utamanya dalam membayar barang belanjaan, pembuangan sampah ke TPS, dan yang lainnya.
Hal ini juga ditambah dengan melihat isu saat ini bahwa banyak perusahaan yang melakukan PHK massal atau lebih memilih untuk merekrut pegawai freelance untuk mengurangi biaya tenaga kerja.
Seharusnya jika mengalami kemiskinan, generasi pertama bisa atau mampu membangun kekayaan untuk setidaknya mampu memenuhi kebutuhan yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Namun alih-alih mewariskan kekayaan, beberapa keluarga miskin justru mewariskan beban keuangan kepada generasi selanjutnya atau yang lebih umum saat ini dikenal dengan istilah generasi sandwich.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, 71 juta penduduk Indonesia merupakan generasi sandwich dengan total 8,4 juta generasi sandwich yang tinggal bersama anggota keluarga di luar keluarga inti. Saat ini sebagian Gen Z juga akan menjadi generasi sandwich. Apalagi jika dibayangkan pada tahun 2040 yang pastinya terjadi peningkatan penduduk lanjut usia.
Salah satu cara untuk keluar dari ancaman kemiskinan struktural tidak lain adalah akses dasar seperti pendidikan dengan memberikan kesempatan kualitas pendidikan yang lebih baik, memberikan lapangan pekerjaan khususnya di daerah yang kemiskinan yang mendominasi, dan perbaikan akses kesehatan.
Tak hanya dukungan kebijakan pemerintah, di dalam lingkungan keluarga sendiri juga harus memiliki kesadaran akan literasi keuangan. Jika tak mampu memberikan warisan kepada generasi selanjutnya, setidaknya tidak memberikan beban untuk generasi selanjutnya. Apalagi negara Indonesia memiliki budaya balas budi dengan orang tua atau anak ialah dana pensiun orang tua.
Penulis: Maulida Fadhilah Firdaus, Redaktur Majalah Tebuireng dan Alumni S1 Manajemen di Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng.
Editor: Thowiroh
Baca juga: Kebebasan Finansial Generasi Sandwich