tebuireng.co – Mengqadha puasa Ramadan di Sya’ban sering dilakukan oleh istri Rasulullah bernama Aisyah. Hal ini diceritakan oleh Abu Salamah dari Aisyah langsung:
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ»، قَالَ يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Saya mempunyai tanggungan utang puasa Ramadan. Saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Menurut Yahya, Aisyah mengqadha di bulan Sya’ban dikarenakan ia sibuk melayani Nabi Muhammad ﷺ” (Muttafaq alaih).
Hadis di atas menjelaskan bahwa Aisyah mengqadha puasa Ramadan pada tenggat yang sangat mepet dikarenakan memiliki kesibukan melayani Rasulullah Saw.
Menurut catatan kaki Syaikh Musthafa Dib Al-Bugha dalam kitab Sahih Al-Bukhari dan catatan kaki Muhammad Fuad Abdul Baqi pada kitab Sahih Muslim, kesibukan Aisyah adalah dia selalu menyiapkan diri sepenuhnya untuk Rasulullah ﷺ termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan diri jika Rasulullah sewaktu-waktu ingin berduaan dengan Aisyah (atau istri yang lain).
Tidak hanya Aisyah saja, semua istri Rasulullah selalu menjaga kebahagiaan dan keridhaan Rasulullah ﷺ sedangkan mereka tidak tahu kapan dibutuhkan dan bisa sewaktu-waktu diperlukan oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu, mereka khawatir jika mereka berpuasa lalu menjadikan nabi terhalang keinginannya.
Baca Juga: Keutamaan Bulan Sya’ban
Menurut Ibnu Hajas Asqalani, arti kesibukan dalam hadis ini tidak berarti sebuah kesibukan yang menjadikan seseorang tidak kuat melaksanakan puasa, tapi lebih mengarah pada posisi selalu mempersiapkan diri dalam menyenangkan Rasul apabila dibutuhkan pada batas bercumbu melalui sentuhan atau ciuman, tidak sampai berhubungan badan. Karena nabi tidak tidur bersama istri yang tidak sedang dalam jatah gilirannya.
Bulan Sya’ban dipilih oleh Aisyah untuk mengqadha puasanya karena bulan ini adalah waktu yang paling banyak dibuat puasa sunah oleh Baginda Nabi Muhammad ﷺ.
[bctt tweet=”Qadha Puasa Ramadan” username=””]
Oleh karena itu salah satu istri nabi bergantian meluangkan waktu untuk mengqadha puasa. Atau kalau tidak begitu, karena mereka sudah pada bulan terakhir, mereka terdesak meminta izin kepada nabi untuk mengqadha puasa.
Syaikh Musthafa Dib al-Bugha menulis:
وأما في شعبان فإنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم أكثر أيامه فتتفرغ إحداهن لصومها أو تضطر لاستئذانه في الصوم لضيق الوقت عليها
Artinya: “Adapun pada bulan Sya’ban, Nabi berpuasa pada sebagian besar hari-harinya. Kemudian salah satu istri-istri nabi meluangkan untuk berpuasa di dalamnya. Atau di antara mereka memang terdesak untuk meminta izin kepada Nabi untuk melaksanakan puasa karena waktunya sudah mepet” (Musthafa Dib al-Bugha, Ta’liq Shahih al-Bukhari, [Daru Thuqin Najah, 1422], juz 3, hal. 35)
Dari kisah Aisyah ini dapat diambil pelajaran bahwa mengqadha puasa Ramadan di Sya’ban bukan sesuatu yang jelek jika memiliki alasan yang kuat. Rasulullah di bulan Sya’ban memperbanyak puasa sunah.
Melakukan qada puasa setelah melebihi nisfu Syaban juga diperbolehkan sampai akhir Syaban (sebelum 1 Ramadan). Nisfu Syaban adalah malam pengampunan (maghfirah) yang jatuh di setiap 15 Syaban.