tebuireng.co– Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari antara lain menulis risalah (kitab tipis) dengan judul ad-Durar al-Muntatsirah fi al-Masa’il at Tis’a Asyarah (Taburan Permata Indah Membahas Sembilan Belas Masalah).
Kitab ini diterjemahkan dari bahasa Jawa dan Arab ke dalam bahasa Indonesia awal mula oleh Kiai Tholhah Mansur (salah seorang penggagas IPNU). Buku Profil Pesantren Tebuireng, dan Achmad Muhibbin Zuhri, penulis buku “Pemikiran KH. M, Hasyim Asy’ari Tentang Ahl al-Sunnah wa Al-Jama’ah” menyajikan data bahwa pada 1970-an, putra Hadratussyaikh, Kiai Yusuf Hasyim memerintahkan Kiai Tholhah Mansur menerjemahkan kitab ini dan diterbitkan percetakan Menara Kudus.
Dalam kitab ini Hadratussyaikh memberikan keterangan bahwa kitab ini selesai disusun pada 09 Sya’ban 1359 H (12 September 1940) dan selesai ditelaah atas perintah Hadratussyaikh oleh Abdu Manab Murtadla pada 14 September 1940. Edisi terjemahnya 32 halaman. Selain Kiai Tholhah, kitab yang masuk dalam kumpulan karya Hadratussyaikh yang oleh cucu beliau, Kiai Ishomuddin Hadziq dinamai “Irsyadus Sary” ini juga diterjemahkan orang lain, termasuk belakangan oleh Tim Tebuireng.
Baca juga: Kitab Tulisan Tangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Terawat Rapi
Dalam kitab ini pendiri utama Nahdlatul Ulama ini meletakkan kaedah-kaedah pokok tentang wali dan thariqah, yang terdiri dari tanya jawab sembilan belas masalah. Masalah pertama tentang makna atau arti Wali, kedua tentang hal wajib sebagai tanda kewalian, ketiga syarat wali, keempat tentang arti mahfudz, kelima perbedaan makshum dengan mahfudz, hingga masalah terakhir (kesembilan belas) tentang tanda-tanda orang baik yang berbahagia dan tanda orang yang merugi.
Dalam penjelasannya, Hadratussyikh menyampaikan bahwa ada fitnah atau cobaan yang merusak hamba Allah, di antaranya adalah tentang klaim kewalian. Dalam awal pengantar kitab ad-Durar itu beliau menyatakan, “Setengah cubo kang ngerusakake kawulo akeh, iku pengakuan guru thariqah lan pengakuan wali, malah ono kang ngaku wali Quthub lan ono kang ngaku imam Mahdi…” (terjemah, “Di antara cobaan yang merusak hamba pada umumnya adalah pengakuan guru thariqah dan pengakuan wali. Bahkan ada pula yang mengaku dirinya sebagai Wali Quthub, dan ada pula yang mengaku sebagai Imam Mahdi).
Adalah sebuah pertanyaan tentang adakah wali yang memberita-beritakan dirinya sebagai wali, sebagaimana fenomena pada masa Hadratussyikh (dan berlangsung hingga saat ini). Mengutip kitab Nataijul Afkar, Hadratussyikh menyatakan bahwa tidak ada wali yang mendaku dirinya sebagai wali. Yang semestinya adalah bahwa wali itu merahasiakan kewaliannya, dan agar kita mewaspadai klaim kewalian yang diujarkan seorang oknum. Nasehat Mbah Hasyim Asy’ari agar kita tak gampang mempercayai klaim kewalian seseorang terdapat dalam masalah yang kesepuluh berikut ini:
“…para sederek kulo aturi angen-angen, Panjenenganipun Imam Yahya An-Nawawy waliyuLlah kang saestu, malah wali quthub kados pundi angsalipun nyamaraken kewalianipun. Dados terang, tiyang ingkang ngandak-ngandaaken yen awake waliyullah punika sanes wali saestu, nanging wali-walian kang terang salahipun, sebab ngelahiraken sirr al-khushushiyah lan gawe-gawe goroh ingatase Allah Ta’ala. Peramilo para sederek kang atos-atos sampun ngantos kenging bujuk” (ad-Durar al-Muntatsirah, hal. 9-sepuluh).
Terjemahnya sebagai berikut:
Saudara-saudaraku semua!
Silahkan direnungi keberadaan Imam Nawawi dengan sungguh-sungguh. Beliau adalah seorang Wali Quthub. Bagaimana bisa beliau menyembunyikan kewaliannya?
Jadi, menjadi jelas bahwa orang-orang yang memberitakan dirinya sebagai Waliyullah, maka orang tersebut bukanlah Wali yang sesungguhnya. Ia hanya wali-walian yang jelas salahnya. Sebab, hal itu sama dengan menyatakan sirrul khushusiyah (rahasia kekhususan) dan membuat kedustaan kepada Allah. Karena itu saudara-saudara, berhati-hatilah, jangan sampai tertipu!
Alhamdulillah mendapatkan copy buku langka ini dari Pak Ustadz Taufik Hidayantoni. Di samping buku ini, ia juga mengirim beberapa buku unik dan bermanfaat lainnya.
Oleh: Yusuf Suharto. Pengajar di Pondok Pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur; Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim