• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Kemerdekaan Digital: Antara Kebebasan Ekspresi dan Kolonialisme Algoritma

tebuireng.co by tebuireng.co
2025-08-19
in Opini
0
Kemerdekaan Digital Antara Kebebasan Ekspresi dan Kolonialisme Algoritma. (Ist)

Kemerdekaan Digital Antara Kebebasan Ekspresi dan Kolonialisme Algoritma. (Ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Setiap bulan Agustus bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita. Bendera merah putih dikibarkan, lomba digelar, pidato penuh semangat disampaikan. Namun di tengah suasana penuh simbol itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah kemerdekaan hari ini hanya sebatas politik, atau juga mencakup ruang digital yang semakin menentukan kehidupan kita? Sebab di era teknologi, ada bentuk penjajahan baru yang tidak kasat mata: kolonialisme algoritma.

Indonesia memang merdeka secara politik sejak 1945, tetapi hari ini kebebasan itu dibatasi oleh sistem digital yang dikendalikan korporasi global. Platform seperti Google, Meta, TikTok, atau X (Twitter) menguasai arus informasi, menentukan apa yang muncul di layar kita, dan pada akhirnya membentuk opini publik.

Kita merasa bebas berbicara, padahal suara itu hanya bergema sejauh logika algoritma mengizinkan. Kebebasan berekspresi berubah menjadi semu, karena bukan publik yang menilai langsung, melainkan mesin yang dikendalikan kepentingan komersial.

Fenomena ini sudah banyak dikaji oleh para pemikir. Nick Couldry dan Ulises A. Mejias dalam bukunya Data Grab: The New Colonialism of Big Tech and How to Fight Back menyebutnya sebagai data colonialism, penjajahan baru yang dilakukan melalui perampasan data.

Data pribadi masyarakat diperlakukan layaknya rempah-rempah di masa kolonial: dikumpulkan tanpa kuasa penuh pemiliknya, diolah, lalu dijual kembali untuk keuntungan korporasi global.

Warga yang tampak merdeka justru terjebak dalam ketergantungan, karena ekspresi dan preferensi mereka sekaligus menjadi komoditas. Skandal Cambridge Analytica dalam Pemilu Amerika 2016 menjadi bukti nyata: data pribadi puluhan juta pengguna Facebook diakses tanpa izin untuk menargetkan iklan politik yang mampu memengaruhi pilihan pemilih secara sistematis.

Dalam perspektif filsafat kuasa Michel Foucault, algoritma adalah instrumen disiplin modern. Ia tidak mengatur dengan kekerasan, melainkan dengan cara menentukan apa yang kita ketahui dan bagaimana kita meresponnya.

Kekuasaan algoritma bekerja halus, tetapi membatasi cakrawala pikiran. Jika kolonialisme fisik dulu mengikat tubuh, kolonialisme digital kini mengikat kesadaran. Konsekuensinya besar, sebab demokrasi yang bertumpu pada kebebasan berpendapat dapat terdistorsi oleh bias algoritmik. Apa yang tampak “viral” belum tentu suara rakyat, melainkan hasil kurasi sistem otomatis.

Kondisi ini diperparah oleh fenomena fear of missing out (FOMO). Algoritma media sosial sengaja dirancang untuk menumbuhkan rasa cemas jika kita tidak terus terhubung dengan arus informasi. Pengguna didorong membuka aplikasi berulang kali agar tidak “ketinggalan” tren, gosip, atau perbincangan politik terkini.

Padahal, ketergantungan semacam ini justru membuat kita semakin tunduk pada logika platform: perhatian kita menjadi komoditas, waktu kita diperas untuk kepentingan iklan, dan identitas digital kita terbentuk sesuai pola konsumsi yang diarahkan mesin. Dengan kata lain, FOMO adalah bentuk penjajahan psikologis yang memperkuat kolonialisme algoritma.

Situasi ini menuntut tafsir ulang tentang arti merdeka. Kebebasan tidak cukup dimaknai sebatas lepas dari penjajahan politik, tetapi juga harus mencakup otonomi digital dari dominasi teknologi asing.

Bangsa ini perlu membangun kesadaran kritis bahwa apa yang kita lihat di gawai bukanlah kebenaran murni, melainkan hasil seleksi algoritmik. Literasi digital harus menjadi bagian dari perjuangan generasi muda agar masyarakat tidak mudah termanipulasi oleh hoaks, polarisasi, atau propaganda terselubung.

Selain kesadaran, diperlukan pula kedaulatan data. Negara harus memperkuat regulasi perlindungan data pribadi sekaligus memastikan infrastruktur penyimpanan data berada dalam negeri. Uni Eropa, misalnya, telah menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR) yang memberikan kontrol penuh kepada individu atas data mereka.

Indonesia dapat belajar dari model tersebut untuk melahirkan kebijakan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi benar-benar melindungi warga dari eksploitasi digital. Isu ini kian relevan setelah Presiden RI Prabowo Subianto pada akhir bulan Juli lalu akhirnya angkat suara mengenai rencana transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat.

Ia menegaskan bahwa negosiasi dengan AS masih berlangsung, sebuah sinyal bahwa kedaulatan data kini benar-benar berada di meja perundingan internasional. Langkah ini harus dipastikan tidak hanya menguntungkan negara secara diplomatik, tetapi juga menjamin hak digital setiap warga.

Di luar itu, kemandirian ekonomi digital mutlak harus diperjuangkan. Kita tidak boleh selamanya hanya menjadi pasar bagi teknologi asing. Indonesia perlu berani mengembangkan platform edukasi digital yang terintegrasi dengan kurikulum nasional, media sosial lokal yang lebih aman dari manipulasi data, serta layanan publik digital yang tidak tergantung pada server luar negeri. Dengan begitu, kita tidak sekadar menjadi konsumen, tetapi juga produsen teknologi yang menopang kedaulatan bangsa.

Refleksi kemerdekaan akhirnya membawa kita pada kesadaran bahwa perjuangan tidak berhenti di masa lalu. Jika para pendiri bangsa dahulu mengangkat senjata melawan penjajahan fisik, generasi hari ini ditantang melawan kolonialisme algoritma dengan literasi, regulasi, dan inovasi.

Kebebasan hakiki bukan hanya soal mengibarkan bendera di dunia nyata, tetapi juga menjaga agar ruang digital kita tidak dikuasai oleh pihak asing. Pertanyaannya bukan lagi apa yang akan kita lakukan, tetapi kapan kita akan bertindak. Karena kemerdekaan digital adalah perjuangan yang harus kita menangkan hari ini.

Penulis: Hari Prasetia, Founder Yukhaa Media dan Pegiat Literasi Diwek

Editor: Thowiroh

Baca juga: Refleksi Malam Kemerdekaan RI di Pesantren Tebuireng

Previous Post

Pesantren dan Perannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Era Digital

Next Post

Lomba Agustusan dan Potensi Normalisasi Seksualitas di Ruang Publik ?

tebuireng.co

tebuireng.co

tebuireng.co adalah Media Tebuireng Initiatives yang bertujuan untuk meneruskan cita-cita besar Gus Sholah dan para masyayikh tebuireng

Next Post
Lomba Agustusan, dan Potensi Normalisasi Seksualitas di Ruang Publik (Ist)

Lomba Agustusan dan Potensi Normalisasi Seksualitas di Ruang Publik ?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Sigap, Menag Bakal Libatkan Pimpinan Pesantren Bahas Standar Bangunan
  • Lima Prinsip Dasar Menjaga Lingkungan Menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi
  • Buka MQK 2025, Menag Dorong Eksplorasi Turats untuk Pelestarian Lingkungan
  • Erick Thohir: Sport Tourism Memiliki Peran Vital Pembangunan Bangsa
  • Menag Salurkan Bantuan ke Pesantren Al Khoziny dan Pastikan Pencegahan Kejadian Serupa

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng