Nabi perempuan jadi polemik kembali. Rupanya ada yang salah paham soal kenabian perempuan (نبوة النساء) ketika saya menjelaskannya dalam pengajian Kitab Fathul Mu’in bulan Ramadan kemarin.
Pertama, mereka menyangka bahwa itu pendapat saya. Kedua, mereka menduga yang pro pendapat adanya sosok nabi dari kalangan perempuan itu tak punya argumentasi qur’anik.
Saya jelaskan sekali lagi. Bahwa sejak dulu bahkan hingga sekarang sebenarnya para ulama sudah memperselisihkan tentang ada dan tidak adanya nabi perempuan. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan cukup singkat pro-kontra itu dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari Juz 6, halaman 529-530.
Pertama, ulama yang menerima kenabian perempuan di antaranya adalah al-Imam Abu al Hasan al-Asy’ari, Ibnu Hazm, dan al-Qurthubi. Al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat, ada banyak nabi dari kalangan perempuan:
أن فى النساء عدة نبيات
Khawatir menimbulkan spekulasi liar dan polemik, Ibnu Hazm segera membatasi nabi perempuan hanya pada 6 orang, yaitu Siti Hawa, Sarah, Hajar, Ibunda Musa, Siti Asiyah dan Siti Maryam. Bahkan, al-Qurthubi hanya mengakui kenabian Siti Maryam. Ia menolak kenabian Sarah dan Hajar.
Baca Juga: Hak Perempuan di Pesantren
Kedua, jumhur ulama-yang menurut Qadhi Iyadh-menolak pendapat ini ada juga. Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip konsensus yang menyatakan bahwa Siti Maryam bukan nabi:
أن مريم ليست نبية
Penolakan yang sama diajukan ulama lain yaitu Al-Hasan misalnya berkata bahwa tak ada nabi perempuan sebagaimana tak ada nabi dari komunitas jin:
ليس فى النساء نبية ولا فى الجن
Pertanyaannya, mengapa para ulama berbeda pendapat terkait Nabi Perempuan?.
Tak ada jawaban lain kecuali bahwa mereka berbeda dalam menafsirkan firman Allah. Misalnya ada ayat Qur’an yang mengisahkan wahyu atau komunikasi langsung Allah dengan sejumlah perempuan seperti Siti Maryam dan ibunda Musa.
Menurut ulama pertama, orang yang mendapat wahyu adalah nabi, tak dibedakan pria dan wanita. Namun, sebagian ulama membantah narasi itu. Menurut mereka, yang menyatakan nabi itu hanya dari kalangan laki-laki adalah Qur’an sendiri. Allah berfirman:
وما ارسلنا قبلك إلا رجالا نوحى اليهم
Tapi argumen itu segera disanggah yang lain. Bahwa yang diekplisitkan Qur’an itu soal kerasulan yang dimonopoli laki-laki. Beda dengan kerasulan, maka tak menutup kemungkinan ada nabi perempuan:
فالرسالة للرجال أما االنبوة فلا يشملها النص القرأنى
Itulah perbedaan pendapat para ulama tentang kemungkinan ada perwakilan orang istimewa dari kaum perempuan. Perbedaan pendapat seperti itu sahih apalagi ia muncul dari genius-genius raksasa seperti al-Asy’ari, al-Hasan, al-Qurthubi, Imam Nawawi, Ibnu Hazm, dan lain-lain.
Saya hanya menyampaikan keragaman pandangan para ulama tentang polemik ini. Selebihnya, tentu saya kembalikan ke posisi akademis dan pilihan ideologis masing-masing. Wallahu a’lam bis shawab.

