Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam. Sebagian orang menyebutnya sebagai pendidikan khas Indonesia. Ia juga dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional yang sangat unik. Meski tradisional tetapi pandangan-pandangannya acap sangat moderat, bahkan kadang progresif. Oleh karena itu, indentifikasi atasnya secara ketat sangat sulit. Sebagian orang menyebutnya “ambigu”.
Dalam tradisi pesantren, kitab-kitab kuning merupakan sumber referensi utama untuk menjadi landasan berpikir dan bertindak dan pengambilan keputusan hukum. Kitab Kuning adalah karya para ulama besar. Karya-karya itu tentu didasarkan pada dalil-dalil dari teks suci, baik Al-Quran maupun Hadits Nabi Saw. Oleh karena itu, kitab-kitab ini selalu diterima oleh para santri, tanpa reserve (cadangan), sebagai kebenaran dan kebaikan yang datang dari agama. “Semua pendapat para ulama yang tertulis dalam kitab kuning pastilah untuk kebaikan masyarakat”, begitu banyak pandangan di masyarakat pesantren.
Lalu, apa kitab kuning yang bicara secara khusus tentang relasi laki-laki dan perempuan?
Orang akan selalu menyebut kitab Uqud al Lujain. Peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen, menyebut kitab ini dipelajari di hampir seluruh pesantren. Di Indonesia, khususnya di Jawa, selama dua abad, bahkan sampai hari ini.
Kitab ini membahas secara khusus relasi suami-istri. Akan tetapi ia bisa juga berarti tentang relasi gender. Pandangan-pandangan tentang hal ini sarat dengan perspektif diskriminatif. Perempuan menjadi makhluk subordinatif, kelas dua, di bawah laki-laki. Yang menjadi dasar utama padangan ini adalah ayat Al-Quran surah An Nisa 34, tentang kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. “Laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan”. Meskipun ayat ini bicara dalam konteks keluarga, tetapi ia juga menjadi dasar legitimasi dalam relasi laki-laki dan perempuan di segala ruang, privat maupun publik.
Cara pandang tentang relasi subordinatif ini juga terdapat dalam semua kitab kuning. Imam Jalal al-Suyuthi, dalam kitabnya “Al-Asybah wa al-Nazhair” menyebut bentuk-bentuk pembedaan (diskriminasi) hak-hak laki-laki dan perempuan, sejak lahir sampai matinya. Imam al-Suyuthi memberi judul pasal ini: “Ahkam al-Untsa Tukhalif al-Dzakar fi Ahkam”.
Di dalam pembahasan pasal tersebut sarat dengan hukum-hukum yang membedakan kedua jenis kelamin tersebut. Di antaranya :
- Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
- Tidak boleh menjadi hakim pengadilan,
- Tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, walinya harus laki-laki.
- Perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam pernikahan.
- Hak cerai ada di tangan laki-laki. Jika perempuan ingin bercerai, maka harus mengajukan khulu’, gugat cerai di pengadilan.
- Dan masih banyak lagi.
Dasar lain adalah Hadis Nabi:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Aku tidak meninggalkan sesudah aku sebuah fitnah yang lebih membahayakan terhadap laki-laki selain perempuan.”
Hadis sahih ini dimaknai oleh banyak orang bahwa perempuan adalah sumber fitnah bagi kaum laki-laki. Dengan kata lain, perempuan adalah sumber kekacauan sosial. Oleh karena itu, perempuan tidak boleh tampil di ruang publik. Perempuan harus menutup tubuhnya manakala keluar rumah. Perempuan harus memakai “jilbab” atau bahkan cadar/”masker”. Perempuan harus terpisah dari laki-laki. Ruang kelas laki-laki dan perempuan harus di sekat, tidak boleh bercampur.
Demikianlah norma-norma yang masih ada dalam kitab kuning dan ia menjadi dasar hukum dalam masyarakat pada umumnya dan masyarakat pesantren khususnya.
Akan tetapi segera dikemukakan bahwa dewasa ini kesetiaan atau ketundukan para santri pada ajaran-ajaran kitab tersebut telah terkikis sedikit demi sedikit dan tereduksi hari demi hari. Praktik keseharian santri perempuan ternyata banyak yang sudah tidak lagi menunjukkan kesetiaan dan konsisten pada ajaran-ajarannya. Mereka secara sadar atau tidak, sudah banyak yang tidak lagi mematuhi atau mengamalkannya.
Jika menurut kitab-kitab itu seorang perempuan yang bepergian jauh, misalnya, harus beserta “mahram” (populer dengan sebutan muhrim), maka kini banyak di antara mereka sudah biasa pulang pergi ke kampungnya.
Sudah jarang orang tua atau keluarga dekat mereka yang menjemput atau mengantarkan anaknya, karena sibuk bekerja atau sekolah. Jika semula santri perempuan dilarang mengenakan celana panjang karena dianggap menyerupai laki-laki, maka sekarang sudah banyak santri perempuan yang mengenakannya. Sebagian bahkan juga membuka jilbabnya ketika di rumah.
Jika dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa shalat perempuan di kamar rumahnya lebih baik daripada shalat di masjid, kini masjid-masjid dipenuhi kaum perempuan. Jika barisan shalat perempuan harus paling belakang, kini mereka sudah berbaris di sampingnya, meski dengan tetap dibuat batas/hijab.
Jika dalam kitab kuning seorang santri perempuan dilarang berbicara secara tatap muka langsung dengan laki-laki bukan mahramnya, kini hal itu menjadi kejadian yang lumrah. Bahkan kini tidak sedikit anak-anak perempuan kiai yang terjun ke dunia bisnis dan politik; menjadi anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, atau pejabat publik lainnya, padahal kitab-kitab yang mereka baca melarangnya.
Tidak sedikit anak-anak perempuan kiai yang menjadi pegawai negeri dalam berbagai jenis profesi. Sebagian mereka juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, aktif di LSM, keorganisasian masyarakat, dan sebagainya.
Adalah sangat menarik bahwa terhadap realitas perubahan-perubahan ini, ternyata kita tidak pernah atau jarang mendengar adanya keberatan atau protes para ulama atau kiai pesantren. Kini para kiai dan para ulama NU telah menyetujui perempuan sebagai presiden, sebagai anggota parlemen, sebagai hakim, dan jabatan-jabatan struktural yang lain baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Jelas sekali gerak sejarah tak bisa dihentikan. Putri-putri kiai belajar di mana-mana, di tempat yang jauh, bahkan banyak yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Mereka pergi dan berada di tempat-tempat tersebut tanpa disertai “mahram”, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Ayah mereka tentu tahu ada hadis sahih yang “melarang perempuan pergi jauh kecuali beserta mahramnya”.
Perubahan adalah keniscayaan hidup. Kesetaraan dan keadilan adalah misi profetik yang harus ditegakkan, kapan saja dan di mana saja. Prinsip “Tauhid” menuntut kita untuk memperlakukan semua makhluk Allah sebagai setara dan adil. “Di mana ada keadilan, di situlah hukum Allah”.
Pandangan Ibnu Rusyd
Akhirnya saya ingin menyampaikan pandangan Ibnu Rusyd al-Hafid (11 26-11 98 M). Ia dikenal sebagai seorang filosof muslim terbesar, al-Qadhi al-Qudhoh (hakim Agung), ahli fikih bermazhab Maliki, sastrawan, al-Ushuli (ahli ushul fiqh), al-Hafizh al-muhaqqiqin (ahli Hadits), seorang filosof, seorang dokter terkemuka, dan penulis beragam bidang ilmu pengetahuan. Ia populer sebagai “komentator Arsitoteles”. Berkat dia lah, karya-karya Aristoteles, sang filosof terbesar dari Yunani itu, dikenal dan dipelajari di dunia Barat.
Mereka menyebut namanya sebagai Averoes. Ibnu Rusyd Lahir di Cordova, tahun 1126-1198. Ia bicara tentang perempuan dalam bukunya “Talkhish al-Siyasah Li Aflathon (Ringkasan buku “Politica”/Republik, karya Plato). Katanya:
طَالَمَا أَنَّ بَعْضَ النِّسَاءِ يَنْشَأْنَ وَهُنَّ عَلَى جَانِبٍ كَبِيْرٍ مِنَ الْفِطْنَةِ وَالْعَقْلِ فَإِنَّهُ غُيْرُ مُحَالٍ أَنْ نَجِدَ بَيْنَهُنَّ حَكِيْمَاتٍ وَحَاكِمَاتٍ وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ. وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ مَنْ يَعْتَقِدُ أَنَّ هَذَا النَّوْعَ مِنَ النِّسَاءِ نَادِرَ الْحُصُوْلِ لَا سِيَّمَا وَأَنَّ بَعْضَ الشَّرَائِعِ تَرْفُضُ أَنْ تُقِرَّ لِلنِّسَاءِ بِالْإِمَامَةِ أَيْ اْلإِمَامَةِ الْعُظْمَى، بَيْنَمَا نَجِدُ شَرَائِعَ أُخْرَى عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ مَا دَامَ وُجُوْدُ مِثْلِ هَؤُلَاءِ النِّسْوَةِ بَيْنَهُمْ أَمْرًا لَيْسَ بِمُحَالٍ
Sepanjang para perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil, kita akan menemukan di antara mereka para filosof/kaum bijak-bestari, para pemimpin publik, politik dan semacamnya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa perempuan seperti itu jarang ada, apalagi ada hukum-hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan, meski sebenarnya ada juga hukum agama yang membolehkannya. Akan tetapi sepanjang perempuan-perempuan di atas ada, maka itu (kepemimpinan perempuan) bukanlah hal yang tidak mungkin”. (Talkhish al-Siyasah Li Aflathon, hlm. 125).
Oleh karena itu, perempuan perlu terlibat (berperan serta) bersama laki-laki dalam perang dan sejenisnya. Adalah layak pula bagi kita memberikan kesempatan kepada mereka untuk bekerja pada bidang-bidang sebagaimana yang para kaum laki-laki kerjakan. Hal itu bisa terjadi hanya manakala mereka memiliki akses yang sama dengan laki-laki (antara lain) dalam bidang seni, musik, dan latihan fisik”. (hlm. 126).
Abu Amr Al-Jahizh
Jauh sebelumnya, Abu Amr Al-Jahizh (w. 868 M), seorang filsuf dan sastrawan terkemuka, teolog dan sejarawan, berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan itu setara. Dalam bukunya, “Rasail Jahiz”, ia menulis:
ولسنا نقول، ولا يقول أحد ممّن يعقل: إن النساءَ فوق الرجال، أو دونهم بطبقةٍ أو بطبقتين.. ولكننا رأينا ناساً يزرون عليهن أشد الزراية، ويحتقرونهن أشد الاحتقار، ويبخسونهن أكثر حقوقهن. وأن من العجز أن يكون الرجل لا يستطيع توفير حقوق الآباء والأعمام، إلا بأن ينكر حقوقَ الأمهاتِ والأخوال
“Aku tidak mengatakan dan setiap orang yang berpikir cerdas tidak akan mengatakan bahwa perempuan lebih tinggi atau lebih rendah, satu tingkat, dua tingkat atau lebih dari laki-laki. Tetapi kita menyaksikan banyak orang yang melakukan pelecehan terhadap kaum perempuan sedemikian jauh, merendahkan mereka sedemikian rendah dan mengurangi sebagian besar hak-hak mereka. Lebih dari itu adalah laki-laki akan dianggap lemah dan tidak mampu memenuhi hak-hak ayah atau pamannya jika dia tidak merendahkan hak-hak ibu atau bibinya”. (Rasail, vol. IIl/115).
Satu hal yang harus selalu kita jaga adalah “ketakwaan”. Terma ini merupakan tujuan utama dari seluruh gerak dan dinamika dalam kehidupan masyarakat Muslim. Ia mengandung makna bahwa setiap orang laki-laki dan perempuan harus bisa menjaga diri, mengendalikan hawa nafsunya. ‘Wa Libas al-Taqwa Dzalika Khair”, pakaian takwa adalah pakaian terbaik.
Oleh: Husein Muhammad
*Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid