Founder Malaka Project, Ferry Irwandi soroti pernyataan KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) terkait pernyataannya tentang label wahabi lingkungan yang disampaikan saat acara Rosi di Kompas TV. Pernyataan tersebut, dialamatkan terhadap Iqbal Damanik yang mewakili Green Peace dalam forum debat yang diselenggarakan oleh Kompas TV pada Kamis (12/06/2025).
Melalui unggahan video di akun youtube pribadinya, Ferry menyebut bahwa dalam forum debat tersebut mengandung banyak sesat logika atau logical fallacy. “Perdebatan antara green peace dan tokoh NU, yang mana dalam debat tersebut banyak sekali ditemukan sesat pikir dan logical fallacy,” ungkapnya dalam video yang diunggah pada Sabtu, (21/06/2025).
Ferry mengatakan bahwa logical fallacy yang ia maksud terdapat dalam argumen-argumen yang disampaikan oleh Gus Ulil maupun pihak lain yang mendukung pertambangan dilakukan di Raja Ampat. “Dan itu digunakan oleh pihak yang pro dan mendukung pertambangan nikel di kawasan laut Raja Ampat,” tambahnya.
Logical fallacy sebagai kesalahan berpikir sangat berbahaya karena akan menghasilkan keputusan yang juga tidak selaras dengan harapan. Terlebih, logical fallacy ini terdapat dalam pernyataan-pernyataan yang digaungkan oleh tokoh yang memiliki pengaruh besar dengan pengikut yang besar. Sehingga, butuh kecermatan dan kecerdasan masyarakat untuk memfilter kekeliruan yang cenderung samar itu.
“Jika tidak cermat, sesat pikir ini akan sangat berbahaya dan mempengaruhi banyak pihak,” ujar Ferry.
Dalam video berdurasi 16 menit tersebut, Ferry menyebutkan terdapat empat macam logical fallacy yang ia dapati dalam argumen Gus Ulil. Yang pertama adalah strawman fallacy. Menurut Ferry, strawman dalam statement Gus Ulil terdapat pada pernyataannya yang mengatakan bahwa pihak-pihak yang menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan sebagai wahabi lingkungan.
Dalam pembacaannya, content creator yang sempat tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini menjelaskan bahwa pihak yang lantang menyuarakan penolakan tambang di Raja Ampat berangkat dari kalkulasi untung rugi secara komprehensif yang tidak hanya terbatas pada keindahan atau keberlanjutan lingkungan semata.
“Penolakan tambang nikel di raja ampat bukan cuma soal idealisme lingkungan. Tapi perhitungan untung rugi secara ekonomi, ekologi, sosial dan jangka panjang,” tambahnya.
Ia berpendapat, bahwa pertambangan di Raja Ampat alih-alih menguntungkan justru malah merugikan banyak pihak. Hal ini terbukti dengan fakta yang terdapat di Papua pada umumnya dan Raja Ampat pada khususnya. Di mana penduduk daerah tersebut masih terjebak dalam kemiskinan.
“udah ngerusak lingkungan, gak cuan pula,” tegasnya.
False Dichotomy (Dikotomi Palsu) adalah jenis kedua dari logika sesat pikir dalam argument Gus Ulil. Keadaan di mana seolah-olah hanya terdapat dua pilihan, padahal kenyataannya masih terdapat banyak pilihan yang tersedia.
Sebagaimana pandangan bahwa kita harus memilih antara pertumbuhan ekonomi lewat tambang atau menjaga lingkungan. Padahal, Ferry memaparkan terdapat banyak pilihan cara untuk menumbuhkan ekonomi salah satunya melalui ekowisata, konservasi, perikanan, dan jasa lingkungan yang ia sebut bisa memberi penghasilan berkali-kali lipat dengan resiko kerusakan yang nyaris tidak ada.
“Gus Ulil terjebak pada dikotomi palsu,” ujar Ferry.
Jenis logical fallacy selanjutnya ialah Discounting the Future. Suatu pikiran yang fokus atau terjebak pada tujuan jangka pendek yang dampaknya tidak besar, serta melupakan dampak jangka panjang.
“Padahal, menjaga lingkungan bisa menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan,” paparnya.
Hal ini berdasarkan realitas bahwa industri tambang terbatas pada ketersediaan benda yang hendak ditambang. Dalam kasus tambang nikel di raja ampat, Ferry menjelaskan hanya terdapat 59 juta ton nikel yang dapat ditambang dan akan habis dalam waktu 20 tahun ke depan.
Sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh industri tersebut akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dan faktanya, ekosistem yang telah dirusak oleh industri pertambangan mustahil dikembalikan sebagaimana keadaan sebelum ditambang.
Ferry mencukupkan logical fallacy Gus Ulil pada Appeal to Pragmatism. Suatu pikiran yang memaksa kita kita harus realistis bahwa tambang itu perlu. Kendati demikian, terdapat fakta yang tidak boleh dilupakan bahwa tambang di Raja Ampat bukan pilihan yang optimal.
Tentunya, hal ini berdasarkan kalkulasi untung rugi sebagaimana telah disebutkan. Menurut Ferry, pernyataan yang mengajak untuk berpikir pragmatis ini hanya menjadi omong kosong bila tidak disertai data komprehensif.
“Realisme tanpa data yang komprehensif itu cuma jadi ilusi semu,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Fikri
Editor: Thowiroh
Baca juga: Merawat Lingkungan dalam Perspektif Hadis