Walimatus safar merupakan sebuah bentuk acara tasyakuran yang biasanya dilakukan oleh para jemaah ketika hendak pergi maupun sepulangnya dari tanah suci, baik dalam rangka melakukan ibadah umroh maupun haji.
walimatus safar ini kerap menjadi tradisi umum masyarakat di Indonesia. Tujuan utamanya untuk melaksanakan doa bersama. Biasanya, shohibul hajat juga akan menyiapkan berbagai hidangan untuk dinikmati bersama-sama.
Tentunya, di setiap daerah memiliki tradisinya sendiri dalam melaksanakan walimatus safar. Lalu bagaimana hukumnya menurut para ulama?
Dalam syarah kitab Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-‘Umrah wa al-Ḥajj wa al-Ziyārah karya Syaikh Ahmad Huthaybah dijelaskan:
يستحب النقيعة، والنقيعة: هي طعام المسافر، وكأنها مأخوذة من النقع، والنقع هو التراب، وسميت بذلك لأن المسافر يأتي وعليه تراب وغبار السفر، فسميت النقيعة لذلك، فإذا قدم المسافر فيستحب له أن يطعم أهله وأن يطعم جيرانه وأن يطعم أحباءه، وله أن يفعل ذلك في طريق عودته
Artinya: Disunnahkan menyajikan “naki‘ah”, yaitu makanan bagi seorang musafir. Naki‘ah berasal dari kata naq‘, yang berarti debu. Dinamakan demikian karena seorang musafir biasanya datang dalam keadaan berdebu dan penuh dengan kotoran akibat perjalanan, maka disebut naki‘ah. Jika seorang musafir tiba, disunnahkan baginya untuk menjamu keluarganya, tetangganya, dan orang-orang yang dicintainya dengan makanan. Ia juga boleh melakukan hal tersebut dalam perjalanan pulangnya.
Hal ini juga yang menjadi pendapat imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’
قال الإمام النووي رحمه الله في المجموع: يستحب النقيعة وهي طعام يعمل لقدوم المسافر ويطلق على ما يعمله المسافر القادم وعلى ما يعمله غيره له
Artinya: Imam Nawawi dalam Majmu’nya berkata: Disunnahkan (dianjurkan) untuk mengadakan naki‘ah, yaitu hidangan yang disiapkan untuk menyambut kedatangan seorang musafir. Istilah ini digunakan baik untuk makanan yang disiapkan oleh musafir yang baru datang, maupun makanan yang disiapkan oleh orang lain untuk menyambut kedatangannya.
Salah satu landasannya yakni hadis Riwayat Jabir
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة من سفره نحر جزوراً أو بقرةً ” رواه البخاري
“Sesunguhnya Rasulullah SAW ketika tiba dari Madinah sepulang safar, beliau menyembelih onta atau sapi.” (HR Bukhari)
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa ketika Nabi dan rombongan tiba di Sharar, yakni sebuah tempat dekat dengan Madinah, kira-kira berjarak tiga mil atau sekitar lima kilometer Nabi memerintahkan agar menyembelih seekor sapi, lalu mereka memakannya.
Syekh Abdullah Al-Faqih dalam kitab Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah juga menjelaskan bahwa mengadakan jamuan oleh seorang yang hendak berhaji bagi keluarganya dan orang-orang tercinta sebelum keberangkatannya haji dan setelah kepulangannya adalah sesuatu yang baik dan merupakan kebiasaan yang terpuji. Karena di dalamnya terdapat kegiatan memberi makan, yang dianjurkan dalam Islam, serta menjadi ajakan kepada rasa keakraban dan kasih saying.
Dengan demikian, melaksanakan walimatus safar merupakan hal yang disunnahkan, berdasar hadis Nabi dan penjelasan para ulama. Tentunya dengan tidak mengandung unsur pemborosan (isrāf), menyulitkan, atau memberatkan. Wallahua’lam.
Baca juga: Hadis Tentang Amalan Bernilai Pahala Haji yang Sempurna