• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Syahadat Intelektual: Membumikan Nabi di Era Gen Z

tebuireng.co by tebuireng.co
2025-10-16
in Galeri, Opini
0
Syahadat Intelektual Membumikan Nabi di Era Gen Z. (Ist)

Syahadat Intelektual Membumikan Nabi di Era Gen Z. (Ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Berbincang seputar Nabi Muhammad saw di warung kopi mungkin terdengar aneh bagi sebagian kalangan. Namun justru di sanalah Islam menemukan relevansinya kembali. Warung kopi hari ini bukan sekadar tempat minum kopi, tetapi ruang publik di mana generasi muda dapat menyeruput gagasan, keresahan, dan bias identitas manusia setiap harinya. Membicarakan Nabi di ruang seperti itu bukanlah bentuk penurunan martabat, tetapi upaya menaikkan kesadaran umat, khususnya Gen Z dalam bahasa dan dunia yang mereka pahami.

Syahadat Intelektual: Ikrar Berpikir dan Beriman

Istilah syahadat intelektual adalah penegasan bahwa keislaman seseorang tidak hanya diikrarkan dengan lisan, tetapi juga dengan kesadaran berpikir. Mengucap asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah bukan hanya pengakuan formal, tetapi komitmen epistemologis untuk menjadikan wahyu dan akal sebagai dua sayap kehidupan. Di sinilah iman bertemu dengan intelektualitas.

Namun sayangnya, di banyak ruang keagamaan, akal seringkali dianggap ancaman, bukan anugerah. Padahal, Islam sejak awal berdiri di atas fondasi iqra’—perintah membaca, memahami, dan menalar. Maka syahadat intelektual adalah upaya untuk menghidupkan kembali perintah pertama itu dalam konteks kekinian yakni menjadikan berpikir sebagai bentuk ibadah.

Gen Z dan Tantangan Relevansi

Generasi Z tumbuh di dunia yang serba cepat, penuh distraksi, dan haus makna. Mereka bukan generasi yang antiagama, tetapi generasi yang kritis terhadap bentuk penyampaian agama. Mereka bosan dengan ceramah yang kering, ingin sesuatu yang aplikatif dan autentik.

Pertanyaan mereka sering kali bar-bar, tetapi justru menunjukkan keseriusan berpikir. Seperti: “Kalau melihat contoh dari orang tua sudah baik-baik saja, kenapa masih harus meneladani Nabi?” atau “Kalau poligami dalam Islam dibatasi empat karena dulu bisa sepuluh, kenapa tidak langsung satu saja—berarti Islam belum selesai dong?” Pertanyaan semacam ini bukan bentuk pembangkangan, melainkan tanda bahwa mereka berpikir dan membutuhkan penjelasan rasional.

Sayangnya, sebagian pendakwah menjawab dengan marah, bukan dengan argumen. Padahal, dalam sejarah Islam, para ulama membangun imannya tanpa menafikan nalar. Maka, tugas dakwah hari ini bukan mematikan pertanyaan, tetapi menuntun pertanyaan menuju makna yang relevan.

Syahadat 1: Redaksi “Sahabat” Nabi dan Hegemoni Wacana

Menarik untuk meninjau ulang bagaimana kata “sahabat” digunakan dalam sejarah Islam. Dalam konteks klasik, ashhab an-nabi adalah sebutan bagi generasi terbaik yang mendampingi Nabi secara langsung. Namun dalam konteks sosial modern, “sahabat” sering dimonopoli oleh kelompok tertentu yang mengklaim paling dekat dengan warisan kenabian. Hegemoni ini menciptakan jarak antara figur Nabi dan umatnya—seolah-olah Nabi hanya milik kelompok tertentu, bukan rahmat bagi semesta alam.

Padahal, semangat asli persahabatan dengan Nabi adalah keterlibatan aktif dalam misi kenabian: menyebarkan rahmat, menegakkan keadilan, dan memanusiakan manusia. Persahabatan dengan Nabi bukan berarti meniru bentuk lahiriah beliau semata, tetapi meneladani kedalaman pikir dan empatinya.

Syahadat 2: Belajar Cinta dari Cara dari Nabi Muhammad kepada Khadijah

Cara adalah ruang yang sangat pribadi. Tidak semua orang mendekati Tuhan dengan cara yang sama. Begitu pula dalam memahami Nabi. Cinta Nabi bukan sekadar diungkap lewat jama’ah sholawat, tetapi juga melalui ketulusan meneladani kehidupannya.

Kisah cinta Nabi Muhammad dan Khadijah misalnya, bukan sekadar romansa spiritual, melainkan energi yang menggerakkan peradaban—kekuatan cinta ala Pertamina, berjalan bersama dari nol. Khadijah adalah simbol keimanan yang memelihara; Muhammad adalah simbol kebenaran yang menyalakan. Dari keduanya, lahirlah energi moral yang tak habis-habis: keyakinan bahwa kasih dan tanggung jawab adalah fondasi perubahan sosial.

Namun, dalam konteks modern, kita kerap terjebak pada formalisme moral. Misalnya perdebatan tentang poligami yang diukur dengan “adil” sebagai syarat teknis, bukan moralitas spiritual. Padahal, keadilan dalam Islam bukan sekadar hitung-hitungan, melainkan kesanggupan batin untuk tidak menzalimi. Dr. KH Musta’in Syafi’ie, M.Ag. bahkan pernah menjelaskan kepada penulis bahwa “adil” bukanlah syarat poligami.  Hemat kata, seperti suci dari hadas dan najis sebagai syarat sholat. Maka, syarat tersebut harus dipenuhi selama sholat ditunaikan dan akan membatalkan sholat apabila syarat tersebut tidak terpenuhi di pertengahan sholat. Pertanyaannya, apakah jika suami berperilaku tidak adil (seperti dalam giliran bermalam), maka akan otomatis jatuh talaq? Tentu tidak sesederhana demikian.

Syahadat 3: Islam dan Jawa, Luka Kolonial yang Belum Sembuh

Dalam catatan sejarah, Islam dan Jawa pernah menjadi dua kekuatan besar yang ditakuti kolonial. Pada masa Perang Diponegoro (1825–1830), Islam dan Jawa bersatu menjadi kekuatan moral dan politik yang mengguncang kekuasaan Belanda. Tak heran, setelah perang itu, Belanda merancang sistem pendidikan baru yang secara halus memisahkan keduanya.

Pendidikan modern di Indonesia hari ini masih membawa sisa kolonialisme: mencetak tenaga kerja, bukan manusia merdeka. Maka wajar jika pendidikan nubuwwah—pendidikan yang berjiwa kenabian—tampak redup. Pondok pesantren yang menanamkan adab dan akhlak kalah pamor dibanding sekolah formal yang “katanya” menjanjikan karier.

Padahal, mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim. Lalu mengapa santri pondok pesantren lebih sedikit daripada siswa di sekolah formal? Jawabannya sederhana: karena masyarakat telah menjadikan pendidikan bukan sarana pembentukan jiwa, melainkan alat mobilitas sosial.

“Cerita Nabi” dan Relasi Guru-Murid

Menariknya, kisah-kisah para Nabi sering muncul dalam bentuk “kejengkelan”—ungkapan simbolik atas keresahan sosial, seperti “Peh, bosen aku. Cerito nabi-nabi ta piye ngunu lho”. Padahal, belum tentu kalimat tersebut diutarakan karena dia memang ingin mendengan kisah para nabi. Ketika dalam kisahnya Nabi Nuh marah karena kebebalan kaumnya; Nabi Musa berdebat dengan Fir’aun; Nabi Muhammad berjuang melawan kejumudan Mekah, cerita para Nabi tersebut bukanlah “dongeng” moral, tetapi refleksi historis tentang ketegangan antara wahyu dan kekuasaan.

Dalam konteks pendidikan, relasi guru-murid semestinya meniru relasi kenabian: bukan patron-klien, melainkan mitra pencarian. Guru tidak mendikte, murid tidak mengabdi membuta. Keduanya bersama-sama mencari kebenaran.

Epilog: Hubbun Nabi  di Warung Kopi

Maka, membicarakan Nabi di warung kopi bukan tindakan banal, melainkan bentuk syahadat intelektual. Ia menandakan bahwa iman tidak harus kaku, bahwa berpikir juga bagian dari ibadah. Generasi muda perlu ruang di mana agama bisa dibicarakan tanpa takut dihakimi, di mana Nabi bisa dikenang bukan sebagai sosok jauh di langit, tetapi teladan yang hadir di tengah realitas digital dan sosial mereka.

Jika kita ingin membawa ajaran Nabi ke generasi baru, kita harus berani membuka ruang dialog baru—seperti warung kopi—tempat di mana pikiran dan cinta bisa bertemu. Sebab, pada akhirnya, kesalehan intelektual adalah bentuk tertinggi dari cinta: cinta yang berpikir dan pikiran yang mencintai.

Oleh: Hari Prasetia, Alumnus S2 Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY)

Editor: Thowiroh

Previous Post

Alumni Pesantren Gelar Aksi Damai di Depan Gedung Trans7, Tanggapi Tayangan Xpose Uncensored

tebuireng.co

tebuireng.co

tebuireng.co adalah Media Tebuireng Initiatives yang bertujuan untuk meneruskan cita-cita besar Gus Sholah dan para masyayikh tebuireng

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Syahadat Intelektual: Membumikan Nabi di Era Gen Z
  • Alumni Pesantren Gelar Aksi Damai di Depan Gedung Trans7, Tanggapi Tayangan Xpose Uncensored
  • Sigap, Menag Bakal Libatkan Pimpinan Pesantren Bahas Standar Bangunan
  • Lima Prinsip Dasar Menjaga Lingkungan Menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi
  • Buka MQK 2025, Menag Dorong Eksplorasi Turats untuk Pelestarian Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng