• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Perbedaan Dianggap Perpecahan, Ini Sikap Ulama

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2022-02-08
in Fiqih, Keislaman, Kolom Pakar, Pendidikan
0
Perbedaan Dianggap Perpecahan

Perbedaan Dianggap Perpecahan (ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Salah satu problem terbesar umat saat ini adalah anti dengan perbedaan. Perbedaan dianggap perpecahan. Itu karena kemudian berlanjut pada pertarungan antar kelompok, bahkan hingga sentimen pilihan politik.

Maka atas nama Islam banyak yang terjebak pada fanatisme kelompok. Retorikanya saja berjuang atas nama Islam, padahal yang dibela adalah pemahaman kelompoknya sendiri.

Banyak yang gerah juga dengan sejumlah tulisan/pendapat GNH karena dianggap selalu membahas pendapat yang tidak mainstream. Seolah menyebutkan pendapat di luar mayoritas itu menjadi ancaman.

Seolah menyebutkan ada pendapat lain dari yang selama ini dipahami orang kebanyakan akan meresahkan. Seolah pendapat jumhur ulama, mayoritas ormas Islam atau pandangan mainstream itu pasti benar.

Perbedaan dianggap perpecahan. Seolah pendapat yang memicu kontroversi itu pasti keliru. Pendapat yang memicu kontroversi itu tidak mesti harus keliru atau salah.

Bagi mereka yang meniatkannya untuk belajar, maka mendengar atau membaca adanya pendapat yang berbeda dengan yang selama ini diketahuinya, maka akan penasaran dan segera membaca kembali berbagai kitab rujukan.

[bctt tweet=”Gus Nadir: Perbedaan bukan perpecahan” username=””]

Di masa keemasan Islam dahulu, semua pendapat didiskusikan dengan baik dan mendalam. Sehingga kita mengenal sikap ulama klasik dengan kalimat:

“Pendapat saya benar, tapi bisa jadi mengandung kemungkinan salah, sementara pendapat Anda itu saya anggap keliru, tapi bisa jadi mengandung kebenaran yang belum saya pahami”.

Begitulah anggunnya sikap ulama terhadap perbedaan, bahkan terhadap pendapat yang (mungkin orang sekarang menyebutnya) sangat kontroversial. Mau tahu?

Ini contoh dari kitab klasik Bidayatul Mujtahid, bagaimana Ibn Rusyd ketika membahas persoalan syarat sah jamaah dalam salat Jum’at itu berapa orang, ia mencantumkan semua pendapat, termasuk yang terdengar aneh sekalipun.

Tidak ada yang ditutupi. Dalam kitab itu, Ibnu Rusyd mencantumkan berbagai pendapat, misalnya, ada yang berpendapat satu makmum saja cukup. Ada yang bilang dua makmum, ada yang bilang tiga.

Lantas disebutkan juga pendapat yang bilang 30 dan pendapat yang umum dipahami kita, yaitu minimal 40. Mengapa ulama dahulu membuka semua pendapat ulama yang berbeda.

Apa manfaatnya menampilkan semua pendapat seperti perbedaan di atas? Nah ini! Untuk kondisi tertentu dimana Muslim menjadi minoritas, mereka tetap bisa menjalankan salat Jum’at meski jumlah jamaah tidak mencapai 40 karena para ulama klasik tetap mencantumkan pendapat yang berbeda itu.

Sekarang bayangkan betapa sulitnya kita kalau para ulama dulu ‘menyembunyikan’ pendapat yang berbeda itu dari ruang publik. Kejujuran ilmiah ini penting untuk kita teruskan.

Maka, sebutkan saja kalau ada pendapat yang lain dalam masalah itu. Agar umat ini secerdas umat zaman dulu, setoleran ulama di masa kejayaan Islam, dan terus mau belajar seperti dicontohkan para ulama klasik.

Kalau kita terbiasa dengan keragaman pendapat maka kita tidak akan kaget, ngeyel, atau dengan mudahnya melabeli orang lain. Persis dengan wajarnya kita melihat pilihan menu makanan yang berbeda di warung padang, warteg atau fast food.

Semua punya hak memilih. Selera boleh berbeda, pilihan boleh tak sama, tapi kita tetap umat yang satu. Mudah untuk diucapkan, tapi sulit untuk dijalankan, bukan?

Oleh: Gus Nadirsyah Hosen

Tags: Gus NadirPerbedaan itu indahUlamaUlama Humoris
Previous Post

Kiai Hamid Pasuruan dan Amalan Bulan Rajab

Next Post

10 Amalan Sunah di Bulan Rajab dan Dalilnya

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
10 Amalan bulan Rajab dan Dalilnya

10 Amalan Sunah di Bulan Rajab dan Dalilnya

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Alumni Pesantren Gelar Aksi Damai di Depan Gedung Trans7, Tanggapi Tayangan Xpose Uncensored
  • Sigap, Menag Bakal Libatkan Pimpinan Pesantren Bahas Standar Bangunan
  • Lima Prinsip Dasar Menjaga Lingkungan Menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi
  • Buka MQK 2025, Menag Dorong Eksplorasi Turats untuk Pelestarian Lingkungan
  • Erick Thohir: Sport Tourism Memiliki Peran Vital Pembangunan Bangsa

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng