Di era media sosial, ungkapan seperti “laki-laki bukan mesin ATM” dan “perempuan bukan pabrik anak” kerap menjadi seruan perlawanan terhadap beban peran gender yang timpang. Banyak perempuan merasa direduksi menjadi rahim berjalan, sementara laki-laki hanya dianggap berguna sejauh kemampuan memberi nafkah. Pandangan sempit semacam ini mengebiri kemanusiaan. Padahal kita semua berhak dilihat sebagai manusia utuh, dengan mimpi, pilihan, dan kehidupan yang layak dihormati.
Masalah utamanya bukan semata siapa yang dominan—laki-laki atau perempuan—melainkan cara pandang yang mengukur nilai manusia dari output material: uang dan keturunan.
Ketika laki-laki dinilai dari tebal tipisnya dompet, ia kehilangan ruang untuk diakui sebagai pribadi yang memiliki emosi, kelemahan, dan kebutuhan dukungan. Sebaliknya, ketika perempuan hanya dihargai dari rahimnya, mereka yang belum atau tidak bisa memiliki anak sering dianggap kurang sempurna.
Perspektif materialistik ini mereduksi martabat manusia menjadi sekadar fungsi ekonomi atau biologis, padahal Islam mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang diukur dari takwa dan kontribusinya, bukan dari saldo rekening atau jumlah keturunan.
Kritik terhadap patriarki memang relevan. Patriarki secara sosiologis adalah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pusat otoritas, sehingga suara perempuan sering diabaikan dan peran mereka dikungkung di ranah domestik. Namun, kita perlu jujur bahwa patriarki juga menjebak laki-laki. Mereka sering dipaksa menjadi “mesin uang” sehingga harga diri diukur dari seberapa banyak harta yang bisa diberikan. Seorang suami yang bekerja keras tetapi belum mampu membeli rumah sering merasa gagal, meskipun ia telah berjuang mati-matian. Tekanan psikologis ini bisa menimbulkan stres, depresi, bahkan meruntuhkan keharmonisan rumah tangga.
Namun, menggeser dominasi dari laki-laki ke perempuan bukanlah solusi. Matriarki sejati—dalam pengertian sosiologis—adalah sistem sosial di mana perempuan memegang kendali utama dalam pengambilan keputusan, termasuk ekonomi, warisan, dan kepemimpinan komunitas. Dalam konteks rumah tangga, matriarki ekstrem bisa tampak ketika istri memonopoli keputusan, merendahkan suami karena pendapatannya lebih kecil, atau menjadikan uang sebagai alat kontrol. Relasi semacam ini sama merusaknya dengan patriarki, karena menumbuhkan ketidakadilan baru: suami kehilangan wibawa, anak-anak kehilangan figur ayah yang sehat, dan rumah tangga menjadi ajang perebutan kuasa.
Teladan terbaik datang dari rumah tangga Nabi saw dan Sayyidah Khadijah ra. Beliau adalah saudagar sukses yang mandiri secara finansial dan bahkan Rasulullah pada awalnya bekerja untuknya. Namun, setelah menikah, Khadijah memilih mengamanahkan hartanya untuk mendukung perjuangan Nabi. Ini bukan bentuk penyerahan yang dipaksakan, melainkan wujud cinta, dukungan, dan kepercayaan yang tulus. Kisah ini mengajarkan bahwa kemitraan rumah tangga bisa tetap adil meskipun ada ketimpangan ekonomi, selama kedua pihak mengelola perbedaan itu dengan saling percaya dan menjadikannya bekal untuk tujuan bersama.
Islam memberikan panduan yang seimbang. Dalam Al-Qur’an, suami diwajibkan menafkahi keluarganya (QS. Al-Baqarah: 233). Kewajiban ini adalah amanah, bukan alat untuk menuntut secara berlebihan. Menafkahi berarti memenuhi kebutuhan pokok—sandang, pangan, papan, pendidikan, rasa aman—bukan memanjakan gaya hidup konsumtif. Suami yang berusaha keras meski penghasilannya sederhana tetap mulia di sisi Allah.
Istri juga dianjurkan untuk melayani suami dengan baik. Nabi saw bersabda bahwa seorang istri yang menolak ajakan suami ke ranjang tanpa alasan syar’i akan dilaknat malaikat hingga pagi. Namun, hadis ini bukan dalil untuk membenarkan paksaan atau kekerasan, melainkan pengingat akhlak dan keharmonisan hubungan. Rasulullah saw sendiri dikenal sangat lembut terhadap istri-istrinya, membantu pekerjaan rumah, dan tidak pernah memukul satupun istrinya.
Selain itu, penting untuk menegaskan bahwa perempuan bukan pembantu rumah tangga. Mengurus rumah dan anak adalah amal shalih, tetapi bukan alasan bagi suami untuk melepaskan tanggung jawab. Nabi saw bahkan menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya, dan membantu pekerjaan rumah. Artinya, pembagian peran di rumah bersifat fleksibel, berdasarkan saling pengertian, bukan paksaan sepihak.
Nilai perempuan juga tidak diukur dari rahimnya. Ummul Mukminin Aisyah ra. adalah contoh agung: beliau tidak dikaruniai anak tetapi menjadi guru bagi para sahabat, ahli fikih, dan perempuan periwayat hadis terbanyak. Demikian pula, nilai laki-laki tidak diukur dari harta. Banyak orang shalih hidup miskin tetapi tinggi derajatnya di sisi Allah.
Pandangan yang sehat akan membantu kita melihat rumah tangga secara spiritual, bukan materialistik. Al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia dimuliakan salah satunya karena takwa dan kelebihan kodratinya—misalnya akal—, bukan karena status ekonominya. Rumah tangga ideal bukan sekadar kaya harta atau banyak anak, tetapi dipenuhi kasih sayang, komunikasi yang baik, dan kerja sama dalam kebaikan.
Di tengah derasnya wacana feminisme dan maskulinitas yang saling menuding, kita perlu mengembalikan relasi suami-istri pada fitrah kemitraan. Perempuan boleh berkarier, berilmu, dan berkontribusi di ruang publik, walaupun tentu atas izin suaminya. Laki-laki pun berhak mendapatkan dukungan emosional dan penghargaan, bukan hanya diperlakukan sebagai “ATM berjalan.”
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap orang untuk menyadari vahwa rumah tangga yang sakinah didasari cinta, tanggung jawab, dan saling menghormati bukan patriarki atau matriarki ekstrem yang akhirnya menguasai relasi.
Sehigga perlu untuk menjadikan syariat sebagai panduan moral yang memerdekakan, bukan membelenggu. Ketika suami dan istri sama-sama dilihat sebagai manusia utuh, maka frasa “laki-laki bukan mesin ATM” dan “perempuan bukan pabrik anak” tidak lagi menjadi teriakan protes terhadap eksploitasi kedua belah pihak, melainkan pengingat bahwa rumah tangga adalah tempat tumbuh bersama menuju ridha Allah semata.
Penulis: Hari Prasetia, Alumni S2 Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY)
Editor: Thowiroh
Baca juga: Kemerdekaan Digital: Antara Kebebasan Ekspresi dan Kolonialisme Algoritma