Pernahkah kita menyuruh orang lain berbuat baik atau meninggalkan keburukan, baik itu pada murid, teman atau orang yang berada di sekitar kita ? Yang mana sebelumnya kita sudah melakukan kebaikan tersebut dan atau meninggalkan keburukan itu. Namun, tidak lama setelah menyerukan hal tersebut kita justru terjerumus untuk melanggar apa yang kita serukan sebelumnya.
Semisal seorang aktivis salat tahajud, menyuruh orang lain untuk istiqamah melakukan shalat tahajud. Namun tidak lama setelah ia mengucapkan demikian justru ia teledor, lantas meninggalkan shalat tahajud. Pernah tidak ?
Jika pernah, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa hal itu terjadi ? Apa sebabnya ? Sebagai seorang yang beragama, tentu yang pertama kali yang harus kita lakukan ialah meyakini bahwa hal tersebut merupakan ujian keikhlasan dan konsistensi (istiqamah) dari Tuhan.
Allah sering menguji hamba-Nya setelah mereka menyeru kebaikan, untuk melihat apakah seruan itu hanya sebatas lisan atau benar-benar menjadi prinsip hidup. Ini seperti “ujian lapangan” dari apa yang kita ucapkan. Bahkan, para ulama’ terdahulu sering menangis saat membaca surah Al-Baqarah ayat 44 karena takut menjadi orang yang menyuruh kebaikan namun lalai terhadap dirinya sendiri.
أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah: 44)
Sedangkan dalam lensa ilmu psikologi, terdapat beberapa diagnosa terkait hal tersebut. pertama, efek self-neglect atau pengabaian diri. Dalam konteks ini ialah ketika kita fokus pada menginspirasi orang lain, namun kita kadang lalai menjaga energi, motivasi, dan rutinitas pribadi.
Kedua, efek moral licensing yaitu setelah melakukan kebaikan (misalnya menasihati orang lain), otak kita merasa sudah “cukup baik” sehingga tanpa sadar kita memberi kelonggaran pada diri untuk tidak terlalu disiplin.
Dan yang terakhir beban mental dan ekspektasi yakni tekanan untuk selalu menjadi teladan bisa membuat seseorang lelah secara mental, yang berujung pada penurunan konsistensi.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat direfleksikan bahwa agar terbebas dari hal tersebut diperlukan beberapa tips penanganan pertama, Konsistensi adalah kunci.
Mengajak orang lain kepada kebaikan harus diawali dengan tekad untuk mewujudkannya dalam diri sendiri. Menanamkan moral praktisi (mushlih) pada diri sendiri, bukan hanya ideolog.
Orang yang hanya menyeru kebaikan, tanpa melakukan, bisa mendapatkan peringatan keras dari Rasulullah Saw. Introspeksi terus-menerus (muhasabah). Penting bagi siapa pun, termasuk diri kita, untuk secara sadar menyelaraskan perkataan dan tindakan.
Penulis: Achmad Shidiqur Razaq
Editor: Thowiroh
Baca juga: Benarkah Tuhan Berpuasa?