Sudah menjadi hal lumrah dalam kajian fikih bahwa setiap perbuatan yang tidak diniati, maka tidaklah terhitung ibadah, “la yu’tabaru ibadatan”. Perbuatan shalat, ketika tidak diniati menjalankan ibadah shalat, maka gerakan tersebut tidak dicatat sebagai ibadah. Pun, aktivitas ubudiyah seperti puasa, haji, zakat, dan semuanya pun berlaku demikian. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh Imam as-Syafi’i bahwa bab niat itu menempati sepertiga keilmuan. Dan, praktik aktivitas keseharian membuktikan kebenaran kaul beliau.
Dalam kajian lain, Islam mengajarkan bahwa selalu ada dua kubu yang saling bertentangan, antara pahala dan dosa, surga dan neraka. Semua aktivitas manusia direkam dengan baik oleh Malaikat Rakib dan Atid, “Kiraman katibin, ya’lamuna ma taf’alun” tanpa ada yang terlewat. Bukti rekam jejak amaliah tersebut berpengaruh pada timbangan amal di akhirat kelak. Salah satu bahan pertimbangan penting, akan kah seorang bani Adam masuk surga atau neraka? Apakah seorang bani Adam mendapatkan pahala atau dosa? Lagi, ini dalam kajian hukum (fikih) Islam.
Pertanyaan yang lahir kemudian, aktivitas mubahat keseharian seperti makan, minum, tidur; atau proses belajar tanpa dibarengi niat, proses puasa tanpa disertai niat, dan semisalnya masuk akun pencatatan amaliah, berarti masuk akun pencatatan yang mana? Pahala atau dosa? Atau tidak masuk dalam catatan malaikat? Atau tetap dicatat dalam lampiran tersendiri di luar akun debet dan kredit, di luar pahala dan dosa?
Misalkan, kasus Sudrun dan Badrun. Si Sudrun bocah yang taat beribadah ubudiyah, sedangkan Badrun bocah yang cerdas dalam kajian keagamaan. Suatu ketika, mereka berdua hendak menebang bambu untuk membuat oncor (obor dari bambu) yang akan digunakan dalam kegiatan takbir keliling menjelang Idul Fitri. Sebelum Badrun menebang, Sudrun yang menyandingi spontan mengucap basmalah karena sudah menjadi refleks lidahnya dalam memulai setiap kegiatan. Badrun menimpali, “Wey, ini mencuri bambu kok ngucap basmalah”. Sudrun kemudian menimpali, “Lho, ini bukan pekaranganmu? Ya ayo izin dulu ke pemiliknya”. “Pak Tamam sekarang hidupnya di Surabaya”, jawab Badrun.
Sudrun membalikkan badan hendak balik pulang, mengurungkan niat untuk menebang bambu. Badrun berusaha merayu lagi, “Kalau kamu ndak mau, ya saya buat satu oncor saja. Biar kamu dimarahi Pak Ruslan karena gak bawa oncor pas takbir”. Memang guru TPQ-Diniyah mereka mewajibkan oncor guna menyemarakkan takbir keliling. Karena bimbang, Sudrun bertanya lagi, “Lha terus gimana?” “Ya kita buat oncor dari bambu ini secukupnya terus pergi”. Timpal Badrun.
Kompleksitas semacam Sudrun dan Badrun seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya mengendarai motor tanpa surat dan tanpa helm, sembari berdoa kepada Allah SWT agar selamat dari petugas lalu lintas; seorang dokter yang berdoa agar rezeki mereka lancar; atau dalam konteks yang semakin rumit-tinggi kelas, bermain anggaran proyeks; menjalankan umrah atau haji agar bisa berdoa di tanah suci demi hasrat. Kira-kira, Malaikat Rakib dan Atid akan mencatat dalam akun debet atau kredit, pahala atau dosa?
Memang, Imam as-Suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nadhair menjelaskan bahwa aktivitas mubahat seperti naik ontel, jalan kaki, jagongan, atau rekreasi tetap bisa mendapatkan pahala asalkan diniati taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Aktivitas manusiawi apapun, dengan niat beribadah, maka masuk akun ibadah dan sebaliknya. Tanpa niat ibadah, tidak termasuk ibadah. Kecuali iman, shalawat, membaca Al-Qur.an atau ibadah murni lainnya yang tidak memiliki kapasitas dua wajah (antara ibadah dan muamalah), maka tidak membutuhkan niat. Oleh karenanya, seorang muslim tidak perlu bersusah payah berniat iman setiap detik.
Dr Muhammad Sidqi bin Ahmad menegaskan secara lebih gamblang terkait uraian Imam as-Suyuthi dalam Al-Wajiz fi Idhahi Qawaid al-Fiqh,
وَأَمَّا المُبَاحَاتُ فَيُمْكِنُ أَنْ تُصْبِحَ عِبَادَاتً إِذَا صَحَبَتْهَا نِيَّةُ التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ تَعَالَى، كَالأَكْلِ وَالنَّوْمِ وَالْاِكْتِسَابِ إذَا قَصَدَ بِهَا التَّقْوَى عَلَى طَاعَةِ اللهِ سُبْحَانَهُ، وَالنِّكَاحِ إِذَا قَصَدَ بِهِ إِقَامَةَ السُّنَّةِ أَوْ الإِعْفَافَ أَوْ تَحْصِيْلَ الوَلَدِ الصَّالِحِ وَتَكْثِيْرِ الأُمَّةِ. كُلُّ ذَلِكَ يَكُوْنُ عِبَادَةً يُثَابُ عَلَيْهَا فَاعِلُهَا
Aktivitas manusiawi (al-mubahat) bernilai ibadah ketika dibarengi niat mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti makan, tidur, dan mereka berniat taqwa untuk menaati Allah SWT, nikah untuk menjalankan kesunahan, menjaga kesucian, atau memperoleh keturunan yang saleh, dan memperbanyak umat Baginda Rasulullah Saw. Semua itu bernilai ibadah dan mendapatkan pahala.
Dengan demikian, diamnya orang muslim masih menabung pahala melalui akun keimanan. Kalau dibarengi niat taqarub, maka bertambah tabungan iman plus diam, yang dimana keduanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidur pun demikian, iman plus tidur. Tanpa niat, masih terhitung menabung pahala keimanan, tanpa tambahan niat taqarub dengan tidur. Setidaknya, dalam kondisi tidur seseorang masih dalam kondisi beriman, jagongan dalam kondisi beriman, ngopi dalam kondisi beriman. Meski tingkat keimanan masing-masing individu berbeda-beda.
Baca Juga: Adab Sebelum Tidur Menurut al-Ghazali