tebuireng.co – Wiranto jadi calon wakil Gus Dur ketika tokoh asal Jombang ini memenangi Pilpres
Saat pemilihan presiden, Gus Dur berhasil mengalah Megawati Gus Dur meraih 373 suara, Megawati 313 suara dan lima abstain. Hasil pemilihan terebut langsung termaktub dalam Ketetapan MPR RI No. VII/ MPR 1999.
Setelah Gus Dur menang, semua fraksi PDIP kebingungan mau bertinda seperti apa. Menurut Sutjipto, Ketua Fraksi PDIP, keputusan kongres PDIP adalah menjadikan Megawati sebagai presiden bukan wakil presiden.
Seluruh anggota PDIP dikumpulkan suatu tempat, hanya bisa menunggu keputusan Megawati saat itu, tak ada yang berani menanyakan Megawati sedang di mana atau menanyakan apa yang hendak dilakukan PDI P.
Bahkan, menghubungi Taufiq Kiemas pun tak bisa dan baru beberapa jam Taufiq datang menemui anggota PDIP tanpa menyampaikan apapun.
Setelah itu, Novi bersama Roy. B. Janis dan Taufiq bertolak ke rumah Megawati di Kebagusan. Roy B B. Janismemberanikan diri untuk menanyakan kepada Megawati, apa yang harus dilakukan oleh PDIP karena PDIP sudah memenangi pemilu dan jangan sampai Ketua Umum Megawati dipermalukan, jadi harus dapat sesuatu. Namun, Megawati hanya diam saja,
Lalu, Roy langsung menelpon Syaifullah Yusuf, keponakan Gus Dur yang juga anggota PDIP, untuk datang ke Kebagusan Begitu sampai di Kebagusan, Syaifullah Yusuf dituduh pengkhianat karena tak memberikan suaranya untuk Megawati Lantas, Syaifullah menanyakan kesediaan Megawati untuk menjadi wakil presiden. Megawati hanya menjawab, “Pokoknya aku gak mau dipermalukan.”
Namun, karena keputusan kongres PDIP hanya memerintahkan mencalonkan Megawati sebagai presiden. Pencalonan Megawati sebagai wakil presiden diusung oleh PKB. Syaifullah langsung menelpon Gus Dor untuk meminta garansi dari Gus Dur Tiga puluh menit kemudian.
Gus Dur bersama rombongan datang ke Kebagusan untuk meyakinkan Megawati. Khofifah Indar Parawansa mendapatkan tugas untuk melengkapi semua persyaratan yang diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden,
Gus Dur sempat diisukan menginginkan Wiranto menjadi wakil presiden. Sebab, Gus Dur tahu bahwa militer masih kuat. Bukan tanpa alasan Gus Dur ingin menjadikan Wiranto sebagai wakil presiden, reformasi ABRI menjadi TNI tentu masih memerlukan kekuatan dari bagian lama dan memiliki pengaruh.
Namun, situasi keamanan tak memungkinkan Gus Dur untuk menjadikan Wiranto sebagai wakil presiden. Sebab kekalahan Megawati tak hanya menimbulkan perusakan gedung kantor, dan pintu masuk, baik di Jakarta maupun di daerah oleh massa Megawati, tetapi juga ikut merusak semangat juang anggota Fraksi PDIP.
Mereka tak terima PDIP sebagai parta pemenang pemilu tak membuat Megawati menjadi presiden Untuk meredam gejolak tersebut. Gus Dur mengusulkan Megawati untuk menjadi wakil presiden.
Sebenarnya, ditawari Gus Dur untuk menjadi waki presiden tak lantas membuat Megawati setuju. Justru Taufiq Kiemas merupakan orang pertama di PDIP yang setuju bila Megawati menjadi Wakil Presiden. Tujuan utama Taufiq adalah untuk membendung ABRI yang ingin kembali berkuasa setelah reformasi
Taufiq lantas meminta penjelasan Gus Dur mengenai cara yang akan ia tempuh untuk menggagalkan Wiranto menjadi wakil presiden. Gus Dur mengatakan:
“Biarpun Wiranto Pangab, tapi posisi saya sekarang kan lebih tinggi daripada dia. Saya suda jadi presiden. Walaupun dia jenderal, dia harus tunduk kepada presiden. Detik ini juga saya bisa berhentikan dia sebagai Pangab dan dia harus patuh kalau saya perintahkan tidak maju sebagai wakil presiden.”
Sebenarnya, setelah Gus Dur terpilih, Partai Golkar mencalonkan Akbar Tandjung sebagai calon wakil presiden dengan cara aklamasi. Akan tetapi, pencalonan Akbar mendapat reaksi dari pendukung Wiranto, yang sebelumnya diisukan akan menjadi calon wakil presiden jika laporan pertanggungjawah Habibie diterima dalam Sidang Umum (SU) MPR.
Isu Wiranto jadi calon wakil Gus Dur semakin besar. Habibie tak setuju dengan pencalonan Akbar Tanjung. Ia berpendapat meski ia telah mengundurkan diri, calon wakil presiden semestinya tetap diberikan kepada Wiranto.
Habibie mengingatkan Akbar Tandjung bahwa Wiranto adalah seorang militer dan Akbar nantinya dapat berhadapan dengan institusi TNI
Namun, pada kenyataannya, kabar Wiranto jadi calon wakil Gus Dur tidak menemukan titik ujung. Wiranto bukan dicalonkan Fraksi Golkar dan TNI, melainkan dari Fraksi Daulah Ummah dan 74 anggota MPR.
Melihat dinamika ini, saat SU MPR dibuka, Akbar Tandjung mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri. Alasan Akbar Tandjung mundur, karena ia merasa akan dijebak.
Ia sudah menduga bahwa dukungan telah Golkar diplot kepada kandidat lain. Bila Akbar tetap maju, anak buahnya yang kecewa karena B.J. Habibie gagal bakal membelot untuk mempermalukan Akbar.
Tak lama berselang, Wiranto pun menyatakan mundur dari bursa calon wakil presiden. Pengunduran diri Wiranto sangat mengagetkan. Sebab, usaha Wiranto untuk menjadi wakil presiden cukup keras.
Bahkan, Wiranto sudah menyiapkan 1000 eksemplar buku “Wiranto Menerjang Badai” untuk dibagikan untuk meyakinkan anggota MPR agar memilihnya.
Dukungan Golkar akhirnya jatuh kepada Hamzah Haz yang dicalonkan oleh PKB untuk menantang Megawati. Saat pemilihan dilakukan, Megawati berhasil mengalahkan Hamzah Haz.
la meraih 396 suara, sedangkan Hamzah Haz hanya 284 ara. Satu hal yang mesti disadari oleh Gus Dur, ia menjadi presiden bukan karena dipilih oleh rakyat, melainkan oleh mesin politik yang dinamakan Poros Tengah.
Gus Dur memang memiliki legitimasi, tapi bukan berarti legitimasi menjadi kredibilitas di tengah jalan. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Saiful Munjani, pada 1999-sebelum pemilu yang disukai untuk menjadi presiden di antaranya:
Megawati (48%), Habibie (19%), Abdurrahman Wahid atag Gus Dur (12%), dan Amien Rais (11%).
Pemilu 1999 belum menjamin perubahan besar, karena kuatnya intervensi pemerintah di KPU, yang mengindikasikan kuatnya kubu pro status quo. Walaupun demikian, bukan yang berarti tak ada peluang untuk meraih kemenangan dengan mempertimbangkan keadaan yang ada.
Pertama, mood ada di negeri ini sangat mendukung terjadinya pemilu tak akan mengembalikan legitimasi penguasa baru. Pengalaman politik Golkar yang membuat trauma di beberapa daerah akan memperkuat penolakan terhadap legitimasi pemerintah baru di bawah Golkar.
Ketiga, opini publik internasional yang menginginkan terjadinya reformasi politik di Indonesia. Akan tetapi, tingkat partisipasi pemilu 1999 meningkat drastis. partisipasi pemilih mencapai 93%.