tebuireng.co – Warisan Kiai Hasyim yang begitu jelas hingga saat ini adalah penyatuan antara keislaman dan keindonesian. Pesantren Tebuireng sebagai pusat gerakan masih terus menebarkan dua hal ini.
Di antara keturunan Kiai Hasyim yang gigih menanamkan pentingnya penyatuan keislaman dan keislaman adalah Pengasuh Pondok Pesantren era-2006-2020 KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah).
Gus Sholah adalah sosok hebat. Jasa dan pemikirannya diakui banyak pihak dan memiliki sumbangsih besar terhadap bangsa Indonesia. Salah satu pemikiran itu adalah “Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman”.
Pemikiran itu terdapat di banyak karya Gus Sholah, termasuk dalam buku berjudul “Menjaga Warisan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari” (selanjutnya disebut Menjaga Warisan) yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng setelah Gus Sholah wafat.
Perlu diketahui bahwa setidaknya telah ada tiga orang yang pernah menulis resensi atas buku “Menjaga Warisan”. Pertama, Lailatul Hidayah di Majalah Tebuireng edisi 72 (Januari-Februari 2021).
Kedua, Dimas Setyawan di Instagram tebuireng.online (1 Maret 2021). Ketiga, Alfin Haidar Ali di alif.id (15 Maret 2021). Untuk menyempurnakan dari tiga resensi tersebut, perlu adanya tulisan baru yang menyoroti pemikiran Gus Sholah tentang “Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman”.
Dimensi Keindonesiaan dan Keislaman
Untuk menguatkan argumentasi penyatuan keislaman dan keindoensian, Gus Sholah membahas sisi aksiologis aswaja antara mazhabi dan manhaji. Pada bagian ini, Gus Sholah memberi garis yang cukup tegas kapan memakai mazhabi dan kapan memakai manhaji.
Cakupan mazhabi adalah: ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayah. Adapun cakupan manhaji adalah: persoalan baru yang tidak ada di kitab, kebijakan kepentingan umat dan isu-isu dunia global seperti HAM, status muslim dan non-muslim, menyikapi politik di tingkat global, serta pertarungan dunia Barat dan Timur.
Ulasan tersebut jadi pijakan untuk mengetahui metodologi Gus Sholah dalam menjaga warisan pemikiran Kiai Hasyim tentang dimensi keindonesiaan dan keislaman. Dalam artian, hal apa yang mudah dipadukan dan hal apa yang sulit dipadukan.
Jawabannya, di cakupan mazhabi, memadukan keindonesiaan dan keislaman tergolong sulit dipadukan karena metodologi mazhabi adalah mengikuti (kitab-kitab) ulama terdahulu yang relatif tekstual.
Sebaliknya, di ranah manhaji, memadukan warisan Kiai Hasyim berupa keindonesiaan dan keislaman tergolong mudah dan terbuka lebar karena yang diikuti adalah metodologi berpikir para ulama, bukan produk hukumnya.
Walaupun ranah mazhabi sulit dilakukan perpaduan keindonesiaan dan keislaman, bukan berarti Gus Sholah mengajak untuk mengabaikannya dari ajakan perpaduan.
Sebaliknya, kita diajak untuk berjuang menghadapi kesulitan itu, yang dalam bahasa Gus Sholah “Kita peroleh melalui perjuangan panjang dan melelahkan”.
Perjuangan panjang dan melelahkan ini tidak berupa persuasi belaka, tapi telah dilakukan oleh para ulama di Indonesia dan menghasilkan capaian yang gemilang. Warisan pendahulu dalam hal ini yaitu:
- Pancasila diterima sebagai dasar negara (1945), disusul penerimaan NU atas Pancasila sebagai asas tunggal (1984).
- Didirikan Kementerian Agama (1946).
- MoU yang memberi tempat berdirinya madrasah di bawah Kemenag dan pemberian pelajaran agama di seluruh sekolah (1946).
- Berdirinya PTAIN (1951), lalu IAIN, lalu UIN. Serta diakuinya Ma’had Aly (2016) dan madrasah yang menggunakan kurikulum pesantren/muadalah (2014).
- Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyyul amri ad-dharuri bis-syaukah (1954) yang memberi pondasi fikih bagi jabatan presiden.
- Masuknya hukum Islam dalam UU Perkawinan 1974. Disusul UU Peradilan Agama, Perbankan Syariah, Zakat, Wakaf, dan Haji.
- Amandemen pasal 28 J UUD yang memadukan HAM universal dengan agama dan budaya (1999).
- Perpaduan budaya Islam dengan budaya lokal/nasional seperti kasidah, shalawat, dan jilbab.
Di antara delapan poin tersebut, nomor 1, 5, 6, dan sebagian 8 bisa dikategorikan sebagai ranah mazhabi dan dalam sejarah perjalannya menghadapi polemik yang memerlukan perjuangan.
Apakah poin lain tidak terjadi polemik? Terjadi, tapi tingkatan dan tipologinya berbeda. Hal yang terakhir disebut ini perlu diteliti lebih lanjut.
Siapa yang Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman?
Narasi yang dibangun Gus Sholah cenderung mengarah pada “Kita telah berhasil memadukan keindonesiaan dan keislaman”, disusul dengan ajakan untuk menjaga hasil perpaduan itu.
Memang, melalui tinjauan historis, Gus Sholah secara tegas menyatakan bahwa yang memadukan warisan berupa keindonesiaan dan keislaman adalah Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, yang dilanjut oleh keturunan dan santri-santrinya.
Hanya saja, hingga hari ini, masih ada juga yang mencoba merusak warisan Kiai Hasyim ini, di antaranya adalah kelompok yang ingin mendirikan negara Islam.
Adanya kelompok seperti itu tentu harus disikapi dengan tepat dalam rangka menjaga perpaduan yang ada. Dalam hal ini, sikap yang diambil Gus Sholah begitu elegan, yaitu dengan mendirikan Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari (MINHA).
Museum yang menampilkan informasi masuknya Islam di Indonesia dengan damai dan peran ulama dalam mendirikan serta memperjuangkan negara diharapkan akan mengubah cara berpikir kelompok tadi.
Bertahap namun pasti, informasi tentang sejarah ini akan bisa tersebar melalui pengunjung museum yang ditularkan ke kawan atau saudara mereka.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa orang yang memadukan keindonesiaan dan keislaman bukan hanya mereka yang hidup di masa lalu. Penggagas dan orang yang memulai memang Hadratussyaikh, tapi Gus Sholah juga melakukan kontribusi dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Begitupun dengan kita, kiranya masih banyak tantangan yang menghadang dalam kaitannya dengan perpaduan keindonesiaan dan keislaman. Untuk itu, mari terus belajar, mari terus membaca, termasuk membaca buku “Menjaga Warisan” karya Gus Sholah.
Syahrul Ramadhan