tebuireng.co – Tradisi di Indonesia ketika seseorang hendak haji atau umrah maka dilakukan walimah safar haji. Tradisi ini dilakukan hingga ada yang menangis sendu. Menarik kita ulas sejarah walimah safar haji di Indonesia.
Ketua Lesbumi NU KH Jadul Maula mengatakan, tradisi pisah sambut jamaah haji merupakan bentuk syukur dan doa bagi jamaah haji.
Dalam kitab-kitab turats terdapat tuntunan walimatus safar bagi orang-orang yang hendak melakukan perjalanan jauh, terutama dalam rangka beribadah melaksanakan haji.
Calon haji biasanya mengundang masyarakat untuk memohon didoakan agar kebutuhan selama di perjalanan dimudahkan dan dipenuhi Allah, mendapatkan berkah, dan ridha Allah SWT.
Bayangkan saja, jamaah haji masa tahun 1950-an berangkat menggunakan kapal laut. Mereka berjibaku dengan debur ombak selama 4,5 bulan sekali perjalanan ke Tanah Suci.
Artinya, dari berangkat ke Tanah Suci hingga kembali ke Tanah Air, jamaah haji menghabiskan waktu sembilan bulan terombang-ambing di lautan. Sungguh berat.
Karena panjangnya durasi perjalanan itulah, masyarakat Indonesia mulai berpamitan ke masyarakat dengan cara menggelar selametan dengan maksud untuk berpamitan sambil menitipkan banyak kebutuhan sosial.
Baca Juga: Hal Penting Ketika ke Tanah Suci
Di beberapa daerah tradisi pisah sambut jamaah haji dilakukan dengan begitu meriah. Kiai Jadul Maula mencontohkan di masyarakat Madura tradisi pisah sambut haji bahkan bisa menelan biaya besar melebihi ongkos berhaji.
Menurut dia, hal itu juga tak lepas dipicu dari kebijakan pemerintah kolonial yang kala itu memberi label haji pada orang-orang yang telah pergi berhaji ke Tanah Suci. Tujuannya agar Belanda dapat dengan mudah mengawasi orang-orang yang pernah ke Tanah Suci.
Sebab, Belanda menyadari ibadah haji memungkinkan pribumi melakukan pertemuan dengan umat Islam di seluruh dunia sehingga dapat terjadi pertukaran pengalaman dan menghasilkan siasat melawan pemerintah kolonial.
Menurut pakar sosiologi agama Prof HM Baharun, tradisi pisah sambut jamaah haji telah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Acara ini digelar dengan tangisan bahagia dan doa bersama karena orang-orang menyukuri saudara atau kerabatnya akan berangkat ke Tanah Suci untuk berhaji.
Mereka mendoakan calon jamaah haji semoga meraih haji mabrur dan kembali ke kampung halaman dengan selamat.
Menurut Prof Baharun, durasi perjalanan yang lama membuat daya tahan jamaah haji berkurang. Ketika itu, Prof Baharun mengatakan, banyak jamaah haji yang wafat dalam perjalanan, baik ketika menuju Tanah Suci maupun saat kembali ke Tanah Air.
Kalau sudah wafat, jenazah mereka akan dilarung ke laut sehingga keluarga dan kerabat tak dapat menyaksikan kondisinya.
Karena itulah, tradisi melepas calon jamaah haji seperti melepas kematian. Maka berkembanglah tradisi walimah safar haji.
Sementara itu, sejarawan Islam dari Universitas Indonesia, Tiar Anwar Bachtiar, menjelaskan, selametan haji di Indonesia memiliki fase yang berkembang.
Pada zaman dahulu, selametan haji dinilai sebagai sebuah kebutuhan sosial. Ini semacam keharusan. Harus diselenggarakan sebelum seseorang berangkat ke Tanah Suci.
Sementara, masa kini, tradisi selametan haji dinilai sudah tidak terlalu kuat relevansi sosialnya. Para jamaah yang menggelar selametan sebelum berangkat haji biasanya dimaksudkan untuk menyiarkan keberangkatannya sekaligus mempererat silaturahim kembali.
Begitu pun dengan selametan kepulangan haji yang dinilai hanya untuk mempererat silaturahim sekaligus membagikan oleh-oleh dari Tanah Suci, tempat Rasulullah pertama kali mendakwahkan Islam.
Hanya saja perlu digaris bawahi, acara walimah safar jangan sampai bermewah-mewah dan menimbulkan sifat sombong serta memberatkan. Karena itu dilarang oleh Islam.
Meski demikian, di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di rumpun Melayu, tradisi selametan haji hingga kini masih dilakukan dengan antusiasme dan perhelatan yang besar. Seperti di ranah Minang, Riau, Kalimantan, Sulawesi, hingga di luar rumpun tersebut, seperti orang-orang Madura.