Dalam konteks ilmu teologi, sering kali dikaitkan dengan pembagian takdir menjadi dua yaitu takdir yang tetap dan takdir yang bisa berubah, adapun takdir yang dapat berubah merujuk pada aspek-aspek kehidupan yang bisa dipengaruhi oleh usaha dan doa seseorang. Pemahaman seperti ini biasanya disandarkan kepada keterangan yang ada dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Ra’d: 39).
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ (39)
Artinya : Allah akan menghapus apa-apa yang dikehendaki dan menetapkannya, dan di sisi-nya ada kitab induk.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah memiliki wewenang untuk menghapus sesuatu yang telah ditetapkan dan mewujudkan ketetapan baru, hal ini menunjukkan bahwa ada ruang bagi manusia untuk berusaha dan berdoa demi perubahan nasib mereka. Prinsip ini mengajarkan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk berusaha dan tidak hanya pasrah pada nasib. Dalam pandangan ini, tindakan baik dan upaya untuk meningkatkan diri dapat membawa perubahan positif dalam kehidupan, serta mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai contoh, seseorang yang berjuang untuk meningkatkan kualitas ibadah dan akhlak dapat mengalami kehidupan yang lebih baik, meskipun latar belakangnya mungkin tidak mendukung.
Pemahaman takdir bisa berubah rupanya perlu dikaji ulang, sebab jika Allah telah menetapkan sesuatu namun ternyata sesuatu tersebut tidak sesuai dengan kenyataan maka hal tersebut akan menyebabkan tuduhan jahl kepada Allah yang mana hal demikian muhal terjadi, maka dari itu penulis ingin memperjelas maksud takdir yang bisa berubah itu terjadi dalam hal apa saja?
Setelah dilakukan penelitian mendalam penulis menemukan beberapa pernyatan ulama terkait takdir yang bisa berubah di antaranya Syekh Isma’il Haqqi dalam kitabnya Tafsir Ruhi Al-Bayan dalam kitabnya beliau mengklasifikasikan takdir menjadi dua yaitu takdir yang bisa berubah dan takdir yang tetap, adapun takdir yang bisa berubah adalah takdir yang tertulis di Lauhi Al-Mahfudz dan yang tidak bisa berubah adalah takdir yang Allah tetapkan di zaman Azali, berikut pemaparan yang beliau tuliskan:
“Segala bentuk ketetapann yang ditentukan dan tertulis dalam kitab yang ada padanya ketika zaman azali tidak dapat diubah atau dihapus, karena ia adalah kekal dan abadi, seperti yang dikatakan: ‘Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan’ yang berarti dalam Lauh Mahfuz, yang merupakan makhluk yang dapat berubah. Dan di sisinya ada Ummul Kitab, yaitu asal yang tidak dapat diubah, yang merupakan ilmu-Nya yang berdiri dengan sendirinya yang sudah ada tanpa awal, tidak ada keraguan dalam hal itu.”
Dengan begitu maka bisa kita ketahui bahwa takdir yang ada di Lauhi Al-Mahfudz adalah takdir yang disaksikan oleh para malaikat yang mana takdir tersebut masih bisa berubah, contohnya ketika nasib seseorang dituliskan di Lauhi Al-Mahfudz dengan nasib yang kurang baik maka nasib tersebut masih bisa diubah dengan cara berusaha serta bermunajat dan berdoa kepada Allah, pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Ahmad Bin Muhammad Ibn Ajibah dalam kitabnya Tafsir Al-Bahru Al-madid berikut pernyataan yang beliau sampaikan:
“Adapun takdir yang pasti adalah takdir yang Allah tetapkan di zaman azali yang mana itu hanya diketahui oleh Allah, dan tidak diragukan bahwa itu tidak akan berubah atau tergantikan. Sedangkan takdir yang diketahui oleh makhluk di Lauhi Al-Mahfudz, seperti para malaikat dan lainnya, dapat mengalami perubahan. Hal ini karena Allah yang dapat memberitahukan mereka tentang sebagian takdir, yang sebenarnya tergantung pada sebab dan syarat, untuk menunjukkan keistimewaan-Nya.”
Dari dua pandangan ulama Tafsir di atas mengenai macam-macam takdir bisa kita temui benang merah bahwa takdir yang bisa berubah adalah takdir yang tertulis di Lauhi Al-Mahfudz sedangkan takdir yang Allah tetapkan di zaman Azali maka takdir tersebut tidak akan berubah.
Namun perlu diketahui meskipun ulama mengklasifikasikan takdir menjadi dua, pada hakikatnya tidak akan ada takdir yang berubah, sebab semua yang terjadi di dunia ini telah ditentukan di zaman Azali sehingga usaha manusia, baik itu berupa tindakan, pilihan rasional, atau doa yang dipanjatkan, semuanya adalah kejadian yang tertulis di zaman Azali, adapun yang dimaksud takdir seorang hamba tertulis di Lauhi Al-Mahfudz dan masih bisa diubah dengan usaha dan doa maka sejatinya kejadian demikian adalah bentuk takdir yang sesungguhnya yang tertulis di zaman azali.
Jadi ketika seseorang dengan kesadaran penuh bertekad untuk mengubah ketidakberuntungannya dalam karier menjadi kesuksesan, dan ia berhasil mencapai tujuannya, sebenarnya ia tidak mengubah takdirnya. Takdirnya bukanlah mengalami kegagalan yang kemudian diubah dengan usaha dan doa hingga meraih kesuksesan, melainkan takdirnya adalah mengalami kegagalan, berjuang dengan gigih, dan akhirnya meraih kesuksesan. Hal ini sesuai dengan keterangan yang di tulis oleh Syekh Isma’ail Zain dalam kitabnya Qurah Al-‘Ain beliau menuturkan
“Bahwa apa yang ditulis di zaman azali tidak akan berubah atau tergantikan. Allah berfirman: ‘Tidak ada yang dapat mengubah perkataan-Ku, dan Aku tidaklah zalim terhadap hamba-hamba-Ku.’ Namun, yang dapat berubah adalah apa yang disaksikan oleh para malaikat dan diterima dalam keadaan bersyarat. Misalnya, para malaikat dapat melihat bahwa umur seseorang adalah empat puluh tahun dan jika ia berdoa, umurnya akan menjadi enam puluh tahun. Namun, apa yang ada di zaman azali adalah yang menentukan takdir bagi orang tersebut, apakah ia berdoa atau tidak berdoa. Jika Allah menuliskan taufik-Nya untuk berdoa, maka umurnya di zaman azal adalah takdir yang dikehendaki.”
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa takdir yang tertulis di Lauh al-Mahfudz merupakan ketetapan yang bersifat sementara dan dapat berubah seiring dengan adanya usaha dan doa. Namun, pada hakikatnya, semua skenario tersebut telah ditentukan sejak zaman azali. Oleh karena itu, secara substansial, tidak ada perubahan terhadap takdir yang telah Allah tetapkan pada zaman azali.
Sebagai contoh, jika seseorang memiliki takdir yang tertulis sebagai miskin di Lauh al-Mahfudz, namun setelah berjuang keras dan berdoa, akhirnya takdirnya berubah menjadi kaya, maka peristiwa tersebut sebenarnya merupakan bagian dari skenario takdir yang telah ditentukan oleh Allah sejak zaman azali. Artinya kemampuan untuk berjuang dan berdoa adalah termasuk takdir yang melahirkan takdir yang lain. Proses yang dilalui oleh individu tersebut, mulai dari penetapan sebagai orang miskin di Lauh al-Mahfudz, diikuti dengan perjuangan dan doa untuk mencapai kekayaan, adalah bagian dari rencana ilahi yang sudah tercatat sejak zaman azali yang hanya diketahui oleh-Nya
Oleh: Ma’shum Ahlul Choir
Baca juga: Menghadapi Kehidupan dengan Total Surrender