Sebuah buku kecil membahas Ulama perempuan asal tebuireng bernama Syaikhah Khairiyah Hasyim Asy’ari, pendiri Madrasah Kuttabul Banat di tanah suci. Buku ini diberi pengantar oleh Hadratussyaikh DR (H.C). Ir. KH. Salahuddin Wahid:
“Saya menyambut gembira atas terbitnya buku tentang Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari karya saudara Amirul Ulum. Sebelumnya saya pernah melihat buku tentang Nyai Khairiyah Hasyim yang merupakan thesis dari seorang perempuan Indonesia yang belajar di sebuah universitas di Australia.
Pustaka Tebuireng mempunyai rencana menerbitkan buku tentang Nyai Khairiyah, tetapi mengalami kendala yang tidak mudah kami atasi.
Saya pertama kali bertemu Bu Nyai Khairiyah Hasyim pada sekitar 1957 M, ketika beliau baru kembali dari Saudi Arabia. Itu juga pertama kalinya saya melihat seorang Muslimah memakai jilbab. Pada waktu itu, semua Muslimah, termasuk ibu saya dan nenek saya memakai kerudung, di dalam pesantren tidak ada yang memakai jilbab.
Mungkin di Sumatra Barat saat itu sudah cukup banyak yang memakai jilbab. Nyai Khairiyah menekankan kepada para santri untuk menutup aurat dengan benar. Alhamdulillah, kini semua santri putri berjilbab dan alumni pesantren yang perempuan, apapun profesinya, berjilbab.”
Setelah suami pertama beliau, KH. Ma’shum Ali wafat, Nyai Khairiyah menikah dengan suami kedua, yaitu KH. Muhaimin. Pada tahun 1938 M, beliau mengikuti suami kedua pindah ke Makkah. Di Makkah, beliau menuntut ilmu dari para ulama. Beliau mendirikan madrasah putri pertama di Makkah pada 1942 M, yang diberi nama Madrasah Banat (Kuttabul Banat), yang merupakan bagian dari Madrasah Darul Ulum yang dipimpin oleh suaminya, KH. Muhaimin.
Atas prestasi itu, beliau mendapat penghargaan dari Pemerintah Saudi Arabia. Karena jasanya itu, maka didirikanlah Universitas Khairiyah oleh Aminah Yasin al-Fadani. Kita tidak bisa menilai prestasi Nyai Khairiyah itu dengan kondisi Indonesia saat ini. Saat itu, di Saudi Arabia, sama sekali belum ada madrasah untuk putri. Jadi tindakan Nyai Khairiyah itu adalah sesuatu yang amat luar biasa untuk ukuran Saudi Arabia pada saat itu dan beliau di nobatkan sebagai ulama perempuan.
Soekarno sempat bertemu dengan Nyai Khairiyah Hasyim saat masih di Tanah suci. Soekarno begitu kagum dengan pergerakan putri KH Hasyim Asy’ari ini dalam membela hak perempuan dan mencerdaskan kehidupan perempuan. Semangat yang diusung Nyai Khairiyah membuat Soekarno merasa perlu meminta saran terkait perempuan Indoensia. Konon, setelah 18 tahun di tanah suci, Soekarno meminta Nyai Khairiyah kembali ke Indonesia.
Setelah kembali ke Inndonesia, Nyai Khairiyah aktif dalam kegiatan keagamaan di kalangan Nahdlatul Ulama. Bahkan ia juga sering terlibat dalam diskusi bersama tokoh-tokoh besar Nahdlatul Ulama seperti KH A wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri baik di forum resmi seperti Bahsul Masail maupun forum rapat organisasi.
Semangat ini muncul dan diwariskan dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Ia dilahirkan pada 1906 dan wafat pada 2 Juli 1983 bertepatan dengan 21 Ramadhan 1404 H dalam usia 73 tahun. Ia dimakamkan di komplek pemakaman Tebuireng bersama sang ayah, KH M Hasyim Asy’ari.