Ulama perempuan asal Sumatera memiliki peran siginifikan dan karya fenomenal dalam pentas keulamaan Nusantara. Hal ini diungkapkan oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban, seorang filolog muda yang cemerlang dari Leuwimunding Majalengka, dalam sebuah sesi diskusi pada kegiatan Halaqah Perempuan Ulama 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren (PSP) di Bogor (28-30/5/2021)
Berdasarkan naskah-naskah klasik yang ia baca, Nusantara, menurutnya, memiliki sejarah keperempuanan yang sangat maju. Pada abad ke-17, ketika kepemimpinan seorang perempuan masih dianggap tabu dalam dunia Muslim, Kesultanan Aceh telah memiliki seorang pemimpin perempuan bernama Sultanah Shafiyatuddin.
Kebesaran Sultanah Shafiyatuddin terekam dalam sebuah karya berjudul “Tuhfah Al-Asma’ wa Al-Abshar” atau “Al-Sirah Al-Mutawakkiliyyah” yang ditulis oleh Syaikh Manshur Al-Mishri, seorang ulama besar dari Al-Azhar Mesir.
Pada tahun 1660 M, ia mengunjungi beberapa kesultanan di Nusantara seperti Aceh, Palembang, Banten, Mataram Jawa, Bugis, dan lain-lain. Mengenai Aceh, Syaikh Manshur Al-Mishri menuliskan:
“Dipimpin oleh seorang perempuan, Muslimah, pemilik keutamaan dan kesempurnaan, dermawan dalam hartanya yang melimpah, memiliki kegemaran membaca, pengetahuan dan keilmuan. Ia juga pemrakarsa amal kebajikan, dekat dengan Al-Qur’an dan para ahlinya. Ia bernama ‘Shafiyatuddin Syah Berdaulat’”.
Sultanah Shafiyatuddin adalah orang yang memprakarsai dituliskannya kitab fikih Mazhab Syafi’i terlengkap pertama di Nusantara yaitu kitab “Al-Shirat Al-Mustaqim”.
Tidak hanya paling lengkap, kitab yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658) itu juga ditulis dalam bahasa Melayu. Al-Shirat Al-Mustaqim kelak diberi syarh (penjelasan) oleh Syakh Arsyad Al-Banjari melalui “Sabil Al-Muhtadin”.
Selain di bidang fikih, Sultanah Shafiyatuddin juga memprakarsai dituliskannya kitab tafsir. Kitab itu adalah “Turjuman Al-Mustafid fi Tafsir Al-Qur’an Al-Majid”, kitab tafsir Al-Qur’an pertama dan terlengkap yang ditulis di dunia Melayu, dalam Bahasa Melayu, dan oleh seorang ulama Melayu-Nusantara (Aceh), Syaikh Abdul Rauf Singkel (w. 1693).
Ulama perempuan asal Sumatera selanjutnya bernama Syaikhah Fathimah binti ‘Abd al-Shamad Al-Falimbani, ia seorang perempuan ahli Hadis dari Palembang.
Dalam riset berjudul “Peran Perempuan dalam Melestarikan Kitab Shahih Bukhari-Muslim [dengan Transmisi] Sejak Abad ke-4 hingga 14 H” yang ditulis oleh Shafiyya Idris Fallata (Universitas Jordan, 2010), terdapat data penting mengenai perempuan ahli hadis.
Disebutkan di buku tersebut (ulama perempuan ahli hadis sepanjang abad ke-4 H sampai 14 H) bahwa ada tiga ulama perempuan ahli hadis, yaitu: (1) Syaikhah Ummatullah bint ‘Abd al-Ghani al-Dahlawi (India), (2) Syaikhah Fathimah binti ‘Abd Al-Shamad Al-Falimbani, dan (3) Syaikhah Fathimah bint Ya’qub Al-Makki.
Syaikhah Fathimah binti ‘Abd Al-Shamad Al-Falimbani adalah seorang ulama perempuan asal Nusantara, tepatnya dari Palembang yang tidak lain adalah putri dari Syaikh ‘Abd Al-Shamad Al-Falambani.
Nama Syaikhah Fathimah binti Abdul Shamad Palembang juga banyak tersebut dalam beberapa kitab “sanad”. Di antaranya adalah ”Al-’Iqd Al-Farid” karya Syaikh Yasin Padang (w. 1991).
Yang menarik adalah di “Al-’Iqd Al-Farid” disebutkan bahwa Syaikhah Fathimah binti Abdul Shamad Palembang adalah guru dari Syaikh Nawawi Banten (w. 1897), ulama prolifik yang menetap, mengajar, dan wafat di Makkah.
Di Jawa sendiri, dari ulama tersohor dari Jombang, Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, lahir seorang perempuan bernama Nyai Khairiyah. Dengan dibantu oleh Jee Abdullah Palembang (istri Syaikh Husain b. Abdul Ghani Palembang) Nyai Khairiyah mendirikan “Madrasah al-Banat” di Makkah.
Institusi ini menjadi pusat pendidikan dan pemberdayaan perempuan Nusantara yang ada di Makkah. Di kemudian hari, Jee Abdullah Palembang bersama suaminya, Syaikh Husain bin Abdul Ghani Palembang mendirikan “Madrasah Al-Fatat Al-Ahliyyah” sebagai sekolah khusus perempuan pertama di Saudi Arabia. Hingga saat ini, institusi pendidikan tersebut masih eksis.
Perempuan Nusantara lainnya yang kiprahnya sangat membanggakan dan inspiratif adalah Lathifah binti Abdul Hamid bin Ahmad Khatib Minangkabau.
Ia adalah cucu perempuan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yang kepadanya beberapa ulama Nusantara, seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) berguru.
Lathifah binti Abdul Hamid bin Ahmad Khatib Minangkabau adalah dokter pertama perempuan Saudi Arabia yang menyelesaikan pendidikannya di luar (Universitas King Fuad Mesir). Ia juga dikenal sebagai pelopor dunia literasi perempuan Saudi Arabia.
Ala kulli hal, fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa peradaban Nusantara, khususnya Sumatera sejak dulu adalah peradaban yang menjunjung tinggi perempuan. Tidak diragukan lagi perempuan memainkan peran-peran penting dalam kehidupan sosial politik dan agama.
Di pentas keulamaan Nusantara, perempuan bukan hanya penonton, bukan hanya objek, melainkan aktor dan subjek yang turut menentukan gerak peradaban Nusantara.
Siapa ulama perempuan asal Sumatera selanjutnya yang akan menghiasi Indonesia dan dunia?
Mohammad Hamdani Al-Hasyimi