tebuireng.co – Rebo Wekasan merupakan suatu tradisi yang terjadi di masyarakat karena faktor akulturasi budaya Jawa dengan Islam secara intensif. Istilah Rebo Wekasan dalam tradisi masyarakat memiliki beragam varian penyebutan dan maknanya. Diantaranya ada yang menyebut Rebo Wekasan berakar dari dua kata, yaitu rebo yang artinya hari Rabu dan ‘wekasan’ atau ‘pungkasan’ yang artinya terakhir. Dalam artian, Rebo Wekasan adalah hari Rabu terakhir pada bulan Safar.
Masyarakat lainnya menyebut Rebo Wekasan dengan makna pesanan yang bermakna rebo wekasan adalah rebo khusus yang terjadi satu tahun sekali sehingga para sesepuh berpesan (wekas/mewanti-wanti) agar berhati-hati pada hari tersebut karena konon pada hari tersebut Allah Swt menurunkan segala macam bala’ ke bumi.
Masyarakat Banjar menyebut Rabu terakhir di bulan Safar dengan nama Arba’ Mustamir, dengan keyakinan bahwa adanya kesialan pada Rabu terakhir tersebut. Berdasarkan sebuah referensi klasik disebutkan bahwa Allah Swt. telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Disebutkan pula dalam kitab Al-Jawahir, bahwa diturunkan bala pada tiap-tiap tahun sebanyak 320.000 bala dan sekalian pada hari Rabu yang terakhir pada bulan Safar, maka hari itu terlebih parah daripada setahun.
Baca Juga: Bulan Safar Bulan Sial, Benarkah?
Untuk mengantisipasi hal tersebut, masyarakat Jawa biasanya membuat kue apem dari beras yang kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Hal tersebut dimaksudkan sebagai sedekah dan tentu saja untuk menolak bala. Karena ada hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa, “sedekah dapat menolak bala”. Di daerah lain seperti daerah Banjar dalam menyambut Rebo Wekasan atau arba’ mustamir adalah melakukan beberapa amalan seperti salat sunah disertai dengan pembacaan doa tolak bala, Mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Tidak melakukan atau bepergian jauh, tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan atau pamali, dan sebagainya.
Meski hal tersebut dilakukan sebagai bentuk antisipasi, ada baiknya setiap muslim di daerah manapun tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadis nabi, bahwa nabi pernah menjelaskan tidak ada kesialan di bulan Safar. Kepercayaan mengenai perkara sial atau bala pada sesuatu hari, bulan dan tempat itu merupakan kepercayaan orang Jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Islam sendiri tidak mengajarkan demikian. Namun karena Islam merupakan agama yang toleran dengan konteks sosial-budaya masyarakat penganutnya, maka selama hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, keadaan yang demikian boleh saja dilakukan.
Wallahua’lam bisshowab.
Baca Juga: Fatwa Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari tentang Salat Rebo Wekasan
Oleh: Thowiroh