Ngopi memiliki makna denotatif, yang artinya memang benar-benar minum kopi. Bisa sendiri dan seringkali kolektif atau bareng-bareng dengan para teman. Bisa juga bermakna konotatif, majas yang mengisyaratkan untuk kumpul dalam membincangkan persoalan penting. Makna kedua bisa jadi bukan hanya kopi yang dihidangkan, melainkan makanan dan minuman-minuman yang bukan kopi.
Pada masanya, ketika disebutkan istilah “ngopi”, maka menjurus makna kedua. Akan tetapi hari ini makna pertama lebih dominan. Bahwa “ngopi” tidak lagi bermakna menyelesaikan persoalan penting, melainkan hanya sekadar ngobrol-ngobrol yang tidak produktif dan menghabiskan waktu. Memang tidak salah, karena tradisi tersebut juga masih dalam koridor positif meski tidak produktif. Positif karena menjadi obat bius, obat penenang dari ketegangan otot-otot menjalani kehidupan sehari-hari, baik yang di perkantoran, di kampus-kampus dengan kejenuhan perkuliahan, kelelahan dalam menyelesaikan proyek bangunan, maupun urusan rumah tangga. Setidaknya, selama durasi waktu “ngopi”, para penyeruputnya tertawa-tawa menikmati keindahan takdir Tuhan. Itupun tidak dilarang oleh syariat dan masuk koridor mubāḥāt (boleh). Sedangkan, tidak produktif karena tidak ada hasil dari penyelesaian persoalan, tidak ada gerak perubahan setelah prosesi acara guyonan-guyonan “ngopi” usai.
Baca Juga: Khasiat Kopi Beserta Doa Ngopi
Ketidakproduktifan “ngopi” dilatarbelakangi setidaknya dua poin penting. Pertama, common vision, motif bersama. Para penyeruput kopi tidak memiliki kesamaan tujuan yang kaduk dijalani bareng-bareng kecuali memang ngopi itu sendiri sebagai tujuan. Di sini, ngopi tidak lagi sebagai wasilah atau perantara menyelesaikan persoalan, melainkan sebagai hadaf atau tujuan itu sendiri. Kedua, mengalami jalani buntu how to solve. Para penyeruput memiliki common vision, tapi belum menemukan jalan keluar dalam menyelesaikan satu persolan yang mereka hadapi bersama. Bagaimana menyukseskan program-program yang telah menjadi kesepakatan. Bagaimana cara meraih common vision.
Dua poin penting itu adalah pondasi yang selalu ditanamkan oleh ajaran Islam melalui shalat. Bacaan Alfatihah tidak boleh ditinggalkan. Bahwa “iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn” adalah common vision, tujuan dari hidup. Ibadah kepada Allah SWT bagi umat Islam adalah tujuan dari mereka diciptakan. Baik ibadah individu, sosial, profesional, lingkungan, dan lain sebagainya dari rincian ibadah yang diperumit oleh para ilmuan cendikia. Keluar dari itu, ibadah kepada Allah SWT adalah tujuan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Sedangkan “Ihdinaṣ ṣirāṭal mustaqīm. Ṣirāṭalladzīna an’amta ‘alaihim…” adalah how to solve, bagaimana cara menyelesaikan, bagaimana cara meraih, bagaimana cara menggapai, syir’atan wa minhāja, bagaimana jalan keluar yang ideal.
“Bagaimana caranya” ini yang kemudian dikodifikasi menjadi berjilid-jilid kitab fiqh al-Islām (fikih Islam), fiqh al-muqārin (fikih perbandingan), kitab-kitab tafsir dan kitab lainnya. Semua adalah upaya untuk memahami bagaimana cara beribadah yang ideal, baik, dan berusaha benar. Saking banyaknya cara yang telah dituangkan dalam kodifikasi keilmuan, para pengkaji dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, perlu kumpul dan “ngopi” untuk bertukar wacana dan menyelesaikan satu persoalan. Tradisi “ngopi” hanya sebagai wasilah, salah satu perantara, bukan sebagai tujuan.
Dengan perkembangan zaman, al-‘ilm lā fiṣ ṣudūr bal fis suṭūr, ilmu tidak lagi melekat dalam benak para terpelajar, melainkan dalam gadget masing-masing individu. Maka, penampakan yang mengambang di permukaan dalam perkumpulan para terpelajar ketika “ngopi” tiada lain adalah tatapan mata pada gawai (gadget). Butuh searching referensi ketika prosesi “ngopi” dan waktu terus berjalan tanpa ada hasil yang diselesaikan (mauqūf). Naasnya, ketika berusaha mencari referensi, malah tergiur aplikasi game atau hiburan web lainnya yang justru digandrungi. Sehingga, gawai yang mereka genggam tidak lagi dalam posisi portrait, melainkan berotasi landscape.
Semakin ke sini, tradisi gawai landscape mode dinarasikan positif. Banyak perlombaan mendukung atas nama tren generasi muda. Bahwa, zaman now bukan milik orang-orang tua yang tradisional dan kolot. Sok membahas persoalan kolektif, padahal tidak pernah tuntas. Berusaha membahas dan mendiskusikan akan tetapi terbatas keilmuan, hendak mengoperasikan dan mengoptimalkan kemajuan teknologi, akan tetapi mengalami kendala gagap teknologi.
Baca Juga: Kemajuan Teknologi adalah Kemunduran “Kualitas” Generasi?