Halalbihalal merupakan ungkapan yang lumrah di kenal di kalangan masyarakat Indonesia. Tradisi yang biasanya berisi acara saling meminta maaf di area keluarga, teman, guru ataupun kantor ini seakan menjadi salah satu kegiatan yang wajib dilaksanakan setelah hari raya.
Dilansir dari NU Online, halalbihalal yang kerap dilaksanakan masyarakat Indonesia hingga saat ini dipelopori oleh KH Wahab Hasbullah, seorang kiai yang digelari pahlawan nasional ini mengubah istilah silaturrahmi sebagai momen saling meminta maaf dengan istilah halalbihalal dengan tujuan utamanya menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik dan menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang.
Sedangkan Iskandar Usman Al-Farlaky, S.HI, Ketua Fraksi Partai Aceh DPR Aceh tahun 2019 menyebutkan tradisi halalbihalal sudah di cetuskan dalam Kitab Qanun Meukuta Alam yang disusun dan dirancang pada masa Kesultanan Aceh Darussalam (Sultan Iskandar Muda), disebutkan bahwa setelah melewati bulan Suci Ramadan, sebagai penyempurna ibadah puasa kita, dianjurkan masyarakat untuk saling mengunjungi kerabat, sanak saudara untuk bersilaturahmi, saling bermaaf-maafan. Jika ada hubungan yang renggang atau bahkan untuk mengeratkan hubungan yang baik. Meskipun didalamnya tidak disebut kata halalbihalal, namun pada hakikatnya kegiatan yang dilaksanakan sama halnya dengan kegiatan halalbihalal yang dikenal masyarakat saat ini.
Mengingat bahwa hari raya Idul Fitri menjadi hari dimana manusia kembali ke fitrah atau suci setelah satu bulan penuh melakukan ibadah puasa dan mendekatkan diri serta meminta ampun kepada Allah, maka meminta maaf kepada sesama manusia menjadi hal yang tak kalah penting untuk dilakukan terlebih kepada orang yang pernah disakiti dengan sengaja atau tidak.
Dalam Kitab At-Targib wat Tarhib, terdapat sebuah hadis Nabi Muhammad ﷺ tentang bersegera meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan pada orang lain.
قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِاَخِيْهِ مِنْ عَرَضٍ أَوْمِنْ شَىْءٍ فَلْيتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ مِنْ قَبْلِ اَنْ لَا يَكُونَ دِيْنَارٌوَلَا دِرْهَمٌ اِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَمِنْهُ بِقَدْرِمَظْلَمَتِهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَمِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari dan Tirmidzi).
Wallahu a’lam bissowab.
Oleh: Syofiatul Hasanah
Baca Juga: Tradisi Tahlil dan Gaya Hidup