Di lembaga kepesantrenan terdapat tradisi menarik yang dilakukan terhadap santri baru yaitu tradisi 40 hari disebagian lembaga ada yang mengganjilkan menjadi 41 hari, dimana selama kurun waktu tersebut santri dilarang pulang atau berkomunikasi dengan orang tua di rumah.
Tradisi ini telah menjadi bagian ketentuan dari sistem pendidikan di beberapa pesantren di Indonesia, khususnya yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisional. Walaupun tidak semua pesantren di Indonesia menggunakan tradisi ini dalam menghadapi santri baru.
Tradisi 40 hari tidak pulang dan tidak berkomunikasi adalah kebiasaan yang berlaku di beberapa pesantren di Indonesia. Dalam tradisi ini, santri baru diwajibkan untuk tidak pulang ke rumah dan tidak berkomunikasi dengan keluarga selama 40 hari sejak masuk pesantren. Selama periode ini, para santri baru harus fokus sepenuhnya pada kegiatan pembelajaran dan kehidupan di dalam pesantren, tanpa adanya gangguan atau koneksi dengan dunia luar.
Tradisi ini biasanya diterapkan pada awal masa belajar di pesantren, terutama pada saat santri baru pertama kali masuk ke lingkungan pesantren. Tujuannya adalah untuk membantu santri baru beradaptasi dengan lingkungan baru dan fokus pada proses pembelajaran tanpa terpengaruh oleh hal-hal di luar pesantren termasuk dari keluarganya.
Tradisi ini ternyata banyak memiliki dampak positif bagi santri baru. Pertama, santri baru akan fokus dalam pembelajaran di Pesantren. Dengan memutus koneksi dengan keluarga dan dunia luar pesantren ini bertujuan agar santri dapat lebih fokus pembelajarannya di awal-awal mondok di pesantren hal ini membantu mereka agar lebih dalam menghayati nilai dasar kepesantrenan tanpa ada gangguan dari luar pesantren.
Kedua tradisi ini akan membentuk kemandirian dan kedisiplinan para santri baru. Dengan tidak lagi bergantung pada keluarga, mereka belajar mengurus diri, mengatur waktu, dan membiasakan diri dengan rutinitas pesantren yang ketat. Membentuk jiwa santri yang mandiri dan bertanggung jawab dengan apa yang ada di pesantren.
Ketiga dapat mempererat hubungan pertemanan antar santri. Tanpa ada koneksi dengan dunia luar santri secara otomatis akan banyak menghabiskan waktunya dengan bercengkrama dengan sesama santri. Hal ini dapat mempererat hubungan pertemanan mereka sehingga menumbuhkan jiwa santri yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap temannya.
Walaupun memiliki dampak positif yang banyak nyatanya tradisi ini juga memberikan dampak negatif di antarnya rasa rindu yang mendalam terhadap keluarga di rumah menyebabkan stres dan berkurangnya konsentrasi hal ini terkadang justru menjadi alasan santri tersebut boyong dari pesantren karena tidak ada suport dari orang-orang terdekat di awal-awal mondok di pesantren.
Dampak negatif yang lain diantaranya kesulitan beradaptasi, tidak semua santri memiliki daya adaptasi yang bagus dengan sekitarnya ada yang susah untuk berinteraksi dengan lingkungan baru. Tradisi ini dapat memperparah masalah adaptasi tersebut, terutama bagi mereka yang belum terbiasa dengan lingkungan baru.
Pertanyaannya kenapa dibatasi 40 hari?
Dalam kisah Nabi Musa, setelah selamat dari Fir’aun, beliau melakukan riyadhoh dengan mengasingkan diri di Bukit Sinai selama 40 hari untuk bermunajat kepada Allah dan menerima Kitab Taurat.
Begitu pula dalam kehidupan pondok pesantren, santri baru diminta untuk melupakan kehidupan di rumah dan tidak memikirkan kondisi apapun di sana selama 40 hari.
Hal ini bertujuan agar mereka dapat beradaptasi dan terbiasa dengan rutinitas pesantren. Setelah 40 hari, barulah orang tua diperbolehkan untuk menjenguk.
Diharapkan setelah masa riyadhoh ini, santri baru dapat melakukan riyadhoh-riyadhoh lainnya dan siap menghadapi ujian serta tantangan di pesantren.
Tradisi 40 hari ini merupakan salah satu upaya pesantren untuk mendidik santri baru di awal pembelajarannya di pondok pesantren. Bagi beberapa santri pengalaman ini memberikan dampak yang positif terhadap kemandirian dan tanggung jawab seorang santri.
Meskipun terdapat dampak yang kurang positif bagi santri, apalagi bagi santri generasi Z atau gen z agaknya pesantren dan orang tua lebih bijak dalam menanggapi tradisi ini karena bertahannya santri belajar di pondok tetap menjadi prioritas utama.
Penulis: Badar Alam Kalasuba
Editor: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Dr. Achmad Roziqi: Empat Langkah Sukses dalam Belajar