tebuireng.co– Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama besar, Pahlawan Nasional, tokoh pemersatu bangsa, dan guru para ulama Indonesia abad ke 19. Lalu bagaimana tirakat Mbah Hasyim sehingga beliau bisa mencapai maqam yang mulia seperti itu? Berikut ini tulisan bagian kedua yang mengulas tentang tirakat Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari
Baca juga: Tirakat Kiai Hasyim Asy’ari dari Puasa Dahr hingga Pati Geni (Bagian I)
Lelono
Lelono artinya berkelana atau melakukan perjalanan untuk mecari ilmu atau berziarah ke makam para ulama, sambal memperbanyak zikir dan instropeksi diri (tafakkur); menyadari kelemahan diri dan mengagungkan kebesaran Allah Swt. Tradisi lelono di kalangan santri masa kini, umumnya dilakukan selama 1 bulan atau 40 hari, dengan berziarah ke makam para ulama penyebar Islam di Nusantara, terutama Wali Songo.
Kiai Hasyim sendiri memulai lelono sejak berusia 15 tahun. Beliau meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain, termasuk belajar hingga mengajar di Masjidil Haram. Lelono dengan berpindah-pindah pondok merupakan tradisi kaum Nahdliyin. Dan itulah yang dijalani Hadratussyaikh selama 13 tahun masa pengembaraannya. Kemudian, ketika pulang ke Indonesia dan mendirikan Pesantren Tebuireng, umur beliau baru 28 tahun; usia yang sangat muda untuk ukuran kiai kharismatik seperti beliau. Tradisi lelono ini pada akhirnya dijalani juga oleh sebagian keturunan Hadratusy Syeikh, seperti Kiai Wahid Hasyim dan Gus Dur.
Mutih dan Pati Geni
Puasa mutih ialah berpuasa dengan hanya makan nasi putih saja tanpa lauk. Nasi putihnya pun tidak boleh ditambah bahan apapun, termasuk gula, garam, cabe, atau asam. Dan, sesuai namanya, puasa mutih dipercaya dapat ”memutihkan” hati dan pikiran, sehingga mudah menerima pelajaran. Puasa mutih juga dapat mengekang nafsu dari makanan enak, yang biasanya tergantung pada jenis lauk-pauknya. Dengan terbiasa mutih, keinginan untuk makan akan berkurang sehingga nafsu dapat terkendali. Puasa mutih bukan termasuk ibadah melainkan seperti diet saja, sehingga hukumnya dibolehkan.***
Sedangkan Pati Geni ialah penutup dari puasa sunnah atau puasa mutih, dengan tidak tidur sehari-semalam. Misalnya seorang santri yang sedang mengamalkan ilmu kanuragan. Dia berpuasa selama seminggu dan dimulai pada hari Sabtu. Kemudian pada hari terakhir (Jum’at), dia menjalani Pati Geni sebagai penutup puasanya, dengan tidak tidur sehari semalam. Pati Geni berarti mematikan unsur api di dalam tubuh. Dalam tradisi Jawa, unsur api diyakini sebagai tabiat buruk manusia yang dapat membawanya pada perilaku negatif, seperti marah, benci, iri, dengki, ingin menguasai, mengalahkan, menaklukkan, bahkan membunuh. Unsur api yang tidak bisa dikendalikan dapat mengakibatkan pelakunyamudah melakukan tindakan-tindakan yang dilarang agama. Dalam terminologi tasawuf, unsur api ini disebut an-nafs al-lawwamah atau an-nafs al-ammarah bis-suu’.
Ketika KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng, beliau mendapat gangguan dari sebagian penduduk setempat yang tidak suka dengan keberadaan pesantren. Prediksi saudara dan teman-teman beliau bahwa kawasan Tebuireng itu liar dan berbahaya, benar-benar terbukti.
Penduduk Tebuireng, saat itu, punya hobi mabuk-mabukan, hura-hura, dan melacur di lokalisasi pabrik gula Cukir. Bahkan banyak penyamun yang berdatangan ke tempat ini, membegal para buruh pabrik berkantong tebal atau memalak orang yang keluar-masuk tempat pelacuran. Sementara Pesantren Tebuireng hanya berjarak seratus meter di seberang pabrik. Itulah sebabnya, selama dua tahun pertama, Pesantren Tebuireng selalu mendapat gangguan. Para santri Tebuireng terpaksa tidur berdesakan di tengah bilik dan tidak berani merapatkan ke tubuh ke dinding yang terbuat dari gedek (anyaman bambu). Para penyamun, terutama di malam hari, sering menyerang mereka dengan menusukkan tombak atau parang dari balik dinding.
”Para begundal saat itu ganas sekali,” kenang Imam Tauhid, salah satu pelayan Kiai Hasyim yang kini bermukim di Dusun Balongjambe, Pare, Kediri. Namun, berkat keuletan, ketabahan, dan tirakat Kiai Hasyim, perlahan-lahan ”perang dingin” tersebut dapat dimenangi. Dimulai dari kehadiran 5 pendekar dari Cirebon yang merupakan sahabat karib Hadratussyaikh.
Kelimanya didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan ilmu kanuragan kepada santri selama 8 bulan. Sedangkan ilmu ”pengisian”, dilakukan sendiri oleh Kiai Hasyim. Telah dimaklumi, untuk menguasai ilmu kanuragan atau pengisian, kita harus menjalani riyadhah, baik dengan puasa mutih atau pati geni. Kemampuan Hadratussyaikh memberi pengisian, baik kepada santri maupun tentara Hizbullah dan Sabilillah (kelak), mengindikasikan bahwa beliau memiliki ilmu kanuragan cukup tinggi, yang berarti beliau pernah menjalani suatu laku spiritual. Bahkan menurut cerita Gus Dur, KH. Hasyim Asy`ari juga memiliki tongkat yang jika dilemparkan, hanya akan mengenai mereka yang bersalah, meskipun dilemparkan sekenanya ke tengah-tengah kelompok santri. Beliau juga sering dimintai doa oleh masyarakat untuk kesembuhan, penglarisan, dan berbagai macam hajat lainnya.
Kesimpulan
Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa kebesaran nama Hadratussyaikh dan keturunannya, tidak terjadi secara instan. Selain dilakukan melalui cara dzahir, upaya batin berupa tirakat dengan berbagai variannya, juga dijalani. Dimulai dari tirakat sang ibu, yang kemudian dilanjutkan oleh beliau sendiri dan beberapa keturunannya. Ini belum menghitung kebiasaan Hadratussyaikh yang selalu shalat malam dengan membaca Surat At-Taubah dan Al-Kahfi (masing-masing 41 kali), shalat dhuha dan membaca al-Quran yang tidak pernah putus setiap harinya, atau zikir-zikir dan amalan-amalan lain yang hingga kini belum kita ketahui.
Menjalani tirakat dan laku prihatin lainnya, tidak sama dengan terpaksa menahan diri karena kondisi hidup yang serba kekurangan. Dalam sejarah disebutkan, Hadratussyaikh termasuk santri yang berkecukupan. Namun, beliau tetap hidup sederhana dan prihatin, termasuk saat berkhidmah kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, dengan menjadi tukang ternak sapi dan tukang bersih jamban (WC) milik sang guru.
Laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk menahan diri dari berbagai kesenangan-kesenangan, keinginan-keinginan, dan nafsu-hasrat yang tidak baik dan tidak bijaksana. Laku prihatin juga dimaksudkan untuk menggemblengdiri dan mendapatkan ketahanan jiwa dalam menghadapi kesulitan hidup. Juga untuk memelihara kepekaan batin, peka firasat, peka terhadap petunjuk Allah Swt, dan peka terhadap tanda-tanda alam. Itulah sebabnya, ketika mendirikan NU, Hadratussyaikh selalu bermunajat dan shalat istikharah berbulan-bulan lamanya, guna mendapat isyarah batin dari Allah Swt.
Jika ulat saja harus bertirakat untuk menjadi kupu-kupu, maka manusia pun sama. Ulat tidak akan bisa memiliki sayap dan terbang jika hanya hidup berleha-leha. Itulah filosofi Hadratussyaikh yang menyebabkan beliau terbiasa bertirakat guna menjadi ”kupu-kupu indah” di tengah-tengah kehidupan umat. Filosofi ini pula yang dijalani sebagian keturunan beliau dan santri-santri Tebuireng di masa lalu, sehingga mereka bisa menjadi ”kupu-kupu” di tengah-tengah kehidupan bangsa.
Pertanyaannya, bagaimana dengan santri masa kini? Apakah mereka siap menjalani hidup sederhana dan prihatin seperti Hadratussyaikh, agar kelak bisa menjadi “kupu-kupu Indonesia”? Waallahu a’lam.
Catatan:
*Mengenai hukum shaum ad-dahr (puasa tahunan), menurut mayoritas ualam adalah mubah selama tidak menyebabkan kewajiban menjadi terbengkalai. Bahkan banyak sahabat Nabi yang menjalaninya, seperti Abu Musa al-Asya’ri, Abu Hurairah, dan istri Nabi sendiri, Siti Aisyah ra. Dari golongan tabi’in, yang biasa melaksanakan puasa dahr, antara lain, Imam Hasan al-Basri dan Rabiah Al-Adawiyyah. Bahkan Siti Aisyah, dalam hadits riwayat Abu Thalhah disebutkan: “Saya benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa ketika Nabi masih hidup, Sayyidatina Aisyah tidak pernah berpuasa; beliau hanya berkhidmah kepada Rasulullah SAW. Tapi setelah Rasul SAW wafat, Siti Aisyah tidak pernah ifthar (batal puasa). Tidak ada satu haripun (yakni hari yang dibolehkan berpuasa) dilewatkannya kecuali dalam keadaan berpuasa.”
Sedangkan mengenai kisah sahabat Saad Bin ’Ash yang melakukan puasa dahr lalu disuruh berhenti oleh Nabi SAW, hal itu karena ada alasan syar’i. Yakni agar Saad dapat menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Saad memang dikenal ahli puasa, shalat, dan zikir sejak muda, tapi hal itu justru melalaikan dirinya dari kewajiban memberi nafkah batin kepada Hindun, istrinya. Itulah yang menyebabkan Rasulullah SAW melarangnya berpuasa dahr. Kisah Saad Bin ’Ash ini memberikan pesan moral, bahwa segala macam bentuk mujahadah adalah baik, karena Rasulullah SAW tidak pernah melarang sahabat berpuasa. Namun, jangan sampai puasa dahr melalaikan diri dari kewajiban syariat, sebagaimana kisah Saad Bin ’Ash.
**Mengenai hukum uzlah, para ulama berbeda pendapat. Pertama ialah ulama yang mengutamakan uzlah dari pada bercampur dengan masyarakat. Kedua ialah ulama yang lagi lebih mengutamakan bercampur dengan masyarakat daripada uzlah. Sedangkan ketiga ialah memilih jalan pertengahan alias tergantung sikon; kapan ia harus bercampur dengan masyarakat dan kapan ia mesti ber-uzlah. Pedapat ketiga ini adalah yang paling masyhur di kalangan ulama ahlussunnah wal jamaah, termasuk Hadratus Syeikh.
*** Hal ini berdasarkan kaidah fiqh:
الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
(Hukum asal dalam masalah muamalah [non-ibadah] adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya). Ini merupakan kaidah fiqh yang sangat populer di kalangan penganut madzhab Syafi’i.
Oleh: A. Mubarok Yasin, staff ahli Majalah Tebuireng dan dewan pengasuh Ponpes Al Ihsan Jaddung Pragaan Sumenep.