tebuireng.co– Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar? Semua orang mengetahuinya. KH. M. Hasyim Asy’ari pahlawan Nasional dan tokoh pemersatu bangsa? Banyak orang mengakuinya. Mbah Hasyim tokoh panutan umat dan guru para ulama Indonesia abad ke 19? Tidak ada yang menyangsikan. Yang perlu “dipertanyakan” adalah: kenapa beliau bisa menjadi tokoh besar? Apa saja usaha batinnya—selain usaha dzahir? Simpelnya, bagaimana tirakat Mbah Hasyim sehingga beliau bisa mencapai maqam yang mulia seperti itu?
Sejauh pengamatan penulis, belum ada buku khusus yang mengulas tirakat Hadratussyaikh, yang ada hanyalah penggalan kisah atau fragmen-fragmen kecil, yang tercecer di dalam buku biografi beliau. Tulisan inipun, penulis yakin, hanyalah “sebutir debu” di antara puluhan bahkan ratusan jenis tirakat yang pernah dijalani beliau.
Kenapa tema tirakat penting dibahas? Karena di kalangan pesantren, tirakat diyakini berpengaruh besar terhadap keberhasilan seseorang. Banyak kiai pesantren, jika mempunyai cita-cita tinggi atau tekad kuat untuk mencapai sesuatu, selain melakukan usaha lahir, juga melakukan usaha batin melalui tirakat atau merutinkan zikir tertentu. Seperti tirakat Kiai Wahid Hasyim saat bercita-cita untuk menjadi pemimpin nasional, yang akan disinggung sedikit dalam artikel ini.
Baca juga: Kecintaan Gus Baha dan Mbah Maimoen pada Hadratussyaikh
Tirakat
Kata “tirakat” berasal dari bahasa Arab: “taraka-yatruku-tarkan/tirkatan” yang ber-arti “meninggalkan”. Yakni meninggalkan hal-hal buruk dan tidak bermanfaat guna meraih kebahagiaan ukhrawi. Ada juga yang berpendapat, “tirakat” berasal dari kata “thariqah”, yang dalam khazanah tasawuf berarti: Jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sementara “tirakat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai: Menahan hawa nafsu (seperti berpuasa, berpantang); atau mengasingkan diri ke tempat sunyi (uzlah).
Dalam dunia tasawuf dikenal istilah riyadhah, yaitu latihan keruhanian dengan menjalankan ibadah tertentu guna menundukkan keinginan dan hawa nafsu. Riyadhah juga disebut suluk (Jawa: lelaku), yaitu melakukan suatu ritus ibadah untuk menjernihkan hati, dengan tujuan mencapai derajat ma’rifatullah (mengenal Allah Swt) melalui proses mujahadah (melawan hawa nafsu dan memperbanyak ibadah sunnah).
Pengertian riyadhah dan suluk ini agaknya lebih “mendekati” pengertian tirakat versi pesantren. Sebab, di kalangan pesantren, tirakat dimaknai sebagai gabungan antara upaya pengekangan hawa nafsu, pengendalian diri dan pikiran, penjernihan hati, sebagai upaya untuk mencapai ma’rifatullah. Semua itu dilakukan dengan menjalani pola hidup sederhana dan prihatin.
Kalangan pesantren meyakini, tirakat merupakan lelaku warisan Rasulullah SAW saat beliau berkhalwat di Gua Hira. Nabi SAW. berkhalwat guna menghindarkan diri dari perilaku buruk masyarakat Jahiliyah, serta untuk melatih hati (qalbu), mengasah jiwa, dan merenung memperhatikan keagungan penciptaan alam semesta.
Selain memiliki tujuan spiritual-ukhrawi, tirakat juga dilakukan untuk menggapai tujuan-tujuan yang bersifat duniawi, seperti mendapat ilmu yang bermanfaat, dikaruniai keturunan yang salih, membentengi diri dan keluarga dari kejahatan jin dan manusia, serta hajat hidup lainnya yang tidak melanggar norma-norma agama.
Tapi perlu dicatat, kaum santri mengamalkan tirakat, riyadhah, atau suluk hanyalah sebagai ibadah penyempurna (sunnah), bukan ibadah wajib. Dalam arti, sebelum menjalani tirakat, mereka sudah terlebih dahulu menjalani ibadah wajib, seperti shalat, puasa, dan zakat, yang dilandasi pemahaman ilmu agama secara baik dan benar.
Menjalani tirakat tidak boleh meninggalkan kewajiban. Tirakat justru menjadi penyempurna kewajiban. Bahkan di sebagian pesantren, sejumlah kiai mewanti-wanti santri agar santri yang melakukan tirakat jangan sampai meninggalkan kewajiban belajar. Jika tirakat justru membuatnya malas belajar, maka tirakatnya harus dihentikan.
Beberapa jenis tirakat yang biasanya dijalani orang-orang pesantren, antara lain, puasa Senin-Kamis, puasa Daud, puasa dahr, puasa mutih, ngrowot, dan uzlah, diiringi dengan pembacaan hizib, doa, ratib, dan lain-lain yang diperoleh melalui ijazah (lisensi) dari guru/ kiai. Cara melakukan tirakat bisa berbeda, tergantung bagaimana ijazah dari sang guru/kiai.
Bagaimana dengan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari? Mari kita lihat dari awal.
Puasa Dahr
Ketika Hadratussyaikh masih di dalam kandungan, sang ibu, Nyai Halimah, sudah mulai menjalani tirakat dengan berpuasa dahr (puasa tahunan). Beliau berpuasa selama 3 tahun; yang 1 tahun diniati untuk menirakati diri sendiri, 1 tahun untuk keturunannya, dan 1 tahun lagi untuk santri-santrinya. Beliau juga rajin shalat malam dan berzikir. Nah, di tengah-tengah tirakatnya itulah, Nyai Halimah mendapat isyarah bahwa anak yang sedang dikandungnya, kelak akan menjadi manusia istimewa*
Isyarah pertama, Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit dan menimpa perutnya yang sedang hamil. Isyarah kedua berupa ujian dari Allah Swt. Yakni ketika sedang menampi beras, tiba-tiba beras tersebut berubah menjadi emas. Akhirnya Nyai Halimah berhenti menampi beras dan melaksanakan shalat dhuha guna mengadukan kesedihannya.
“Ya Allah, hamba tidak meminta harta. Yang hamba inginkan adalah keturunan hamba menjadi orang-orang baik dan berguna bagi agama-Mu,” isak beliau dalam doa.
Setumpuk emas tidak menggoyahkan niat Nyai Halimah untuk melanjutkan tirakatnya. Beliau justru sedih karena diberi tumpukan emas oleh Allah Swt. Itu artinya, Nyai Halimah lebih memilih kesuksesan yang bernilai jangka panjang daripada kesuksesan materiil. Bandingkan dengan kita, yang dengan batu akik saja—terkadang—kesengsem setengah mati.
Tradisi puasa dahr, pada akhirnya menjadi kebiasaan Nyai Halimah dan keturunannya. Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Abdul Wahid Hasyim, misalnya, beliau berdua sudah terbiasa berpuasa sejak usia muda. Menurut Imam Tauhid (88 tahun), abdi dalem keluarga KH. Hasyim Asy’ari, selama 32 tahun dirinya mengabdi, ia melihat keluarga Hadratussyaikh terbiasa berpuasa. Bahkan KH. A. Wahid Hasyim sudah dilatih berpuasa sejak usia 12 tahun. Saat berpuasa, Kiai Wahid hanya makan sayuran, tempe, dan tahu, sedangkan ikan sama sekali tak pernah. Dan setiap malam, beliau salat tahajud di selasela kesibukannya membaca dan mengetik.
KH. A. Wahid Hasyim juga pernah diminta seorang kiai sepuh untuk tirakat puasa dahr selama 5 tahun, guna mencapai cita-citanya menjadi pemimpin bangsa. Menurut penuturan KH Wahab Hasbullah, Kiai Wahid menjalani riyadhah tersebut dengan baik. Setiap hari, beliau selalu berpuasa, apapun kondisinya. Bahkan dalam buku biografinya disebutkan, Kiai Wahid sampai berpura-pura makan bersama tamu untuk menghormatinya. Dan, ketika puasanya baru berjalan 3 tahun 8 bulan, beliau mengalami kecelakaan di Cimahi, Jawa Barat (19 April 1953), pada usia 38 tahun. Beliau meninggal sebelum sempat menyelesaikan riyadhahnya. Namun, cita-citanya sudah berhasil dicapai, baik oleh dirinya sendiri maupun putra-putrinya, termasuk oleh Gus Dur yang kelak menjadi presiden RI ke-4.
Jika putranya saja terbiasa berpuasa, maka sang ayah tentu saja melebihi atau minimal telah memberi contoh teladan. Seandainya sang ayah (Kiai Hasyim) tidak ikut berpuasa, maka sang anak (Kiai Wahid) tentu sulit meneladaninya.
Uzlah
Ketika berada di Mekkah, setiap Sabtu pagi Hadratussyaikh berangkat menuju Gua Hira’ untuk melakkan uzlah sambil menghafalkan kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Hadratussyaikh membawa al-Quran dan kitab yang hendak dihafalkan. Beliau juga membawa perbekalan untuk menetap selama enam hari di sana.
Secara bahasa, ‘uzlah berarti menghindar dari sesuatu. Sedangkan secara terminologis, ‘uzlah diartikan sebagai: melepaskan diri dari gangguan manusia dan berkonsentrasi beribadah kepada Allah Swt. Namun, sebelum melakukan ‘uzlah, pelakunya harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya harus menguasai ilmu keimanan dan keislaman (syariat) dengan baik. Syarat ini sudah dipenuhi oleh Hadratussyaikh. Karena itu, pelaku ‘uzlah hendaknya tidak meninggalkan shalat Jumat atau shalat berjamaah, tidak melalaikan kewajiban yang ditetapkan Allah bagi diri dan keluarganya, dan tidak pula meninggalkan pergaulan dengan ahlil khair (orang yang suka berbuat kebajikan)**
Syarat inipun dipegang teguh oleh Hadratussyaikh. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jum’at. Dan setelah ’uzlah selesai, beliau kembali ke Masjidil Haram untuk mengajar umat. Hadratussyaikh bisa berkonsetrasi ’uzlah, salah satunya, karena istri dan putra beliau sudah wafat 2 tahun sebelumnya. Jadi, beliau sudah tidak memiliki kewajiban kepada keluarga. Fakta ini sudah banyak ditulis dalam buku biografi beliau.
Selain ber-’uzlah, Hadratussyaikh juga melakukan khalwat. Khalwat memiliki pengertian yang lebih khusus daripada ’uzlah. Khalwat ialah menyepikan hati dari selain Allah Swt dan mendidik jiwa untuk menyingkap hijab (tabir) yang menghalangi dirinya dengan Allah Swt, di samping untuk menghindarkan diri dari gangguan makhluk. Khalwat biasanya dilaksanakan selama 40 hari, dan ini yang dijalani Hadratussyaikh di gua Hira’.
Ada juga yang berkhalwat selama 10, 7, atau 3 hari. Bahkan menurut Habib ‘Abdullah bin Abu Bakar al-‘Aidrus, khalwat bisa dilakukan dengan singkat, misalnya malam dan hari Jumat saja, dengan membiarkan perut lapar, berjaga di waktu malam, tidak banyak bicara, selalu ber-tawajjuh kepada Allah Ta’ala, dan senantiasa berdzikir atau membaca Al-Quran dan hadits Nabi.
Dari sini dapat dipahami, ‘uzlah dan khalwat tidak dilakukan selamanya. ‘Uzlah atau khalwat hanyalah upaya latihan kerohanian yang berfungsi memantapkan hati supaya mampu menerima pancaran cahaya kalbu. Sehingga, jika seseorang telah selesai ‘uzlah dan hatinya sudah bebas dari virus-virus duniawi, maka dia dianjurkan berkumpul lagi dengan masyarakat. Dan hal ini yang dilakukan Hadratussyaikh setelah ’uzlah di Gua Hira’. (Bersambung)
Oleh: A. Mubarok Yasin, staff ahli Majalah Tebuireng dan dewan pengasuh Ponpes Al Ihsan Jaddung Pragaan Sumenep.
Baca juga: Peran Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dalam Pendirian NKRI