Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai Al-Muhibbin Bahrul Ulum Tambakberas, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur KH Muhammad jamaluddin Ahmad dalam bukunya ‘Mutiara Indah’ menyebutkan perjalanan seseorang yang berjalan menuju Allah SWT itu ada tiga tingkatan.
Pesan tersebut juga dituliskan dalam bentuk syi’ir bahasa Jawa dengan nada tertentu. Materi ini disampaikannya di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin Al-Hikam setiap malam selasa di Bumi Damai Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Jamaahnya berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur yang datang berhamburan ke Bahrul Ulum untuk mendengarkan pesan dari kiai sepuh ini.
Tingkatan pertama yaitu Abid, kedua Murid dan ketiga yakni Arif.
Tingkatan pertama yaitu Abid, Seorang hamba yang sampai pada tingkatan Abid adalah orang yang bisa merasakan manisnya melakukan ibadah kepada Allah. Tujuan beribadahnya seorang Abid yakni mengharap imbalan dari Allah SWT seperti pahala dan dimasukkan ke surga. Hal ini diperbolehkan bagi seorang yang masih pada tingkatan Abid. Kebiasaan seorang Abid yaitu banyak melakukan amal dzohir atau kasat mata. Seperti solat lima waktu dengan harapan masuk surga. Membaca quran agar tidak dimasukan ke neraka.
Cirinya Abid yaitu taubat atas perbuatan maksiat kepada Allah, qona’ah, wira’i atau menjaga anggota tubuh dari berbuat maksiat. Abid ini orangnya mengandalkan atau bergantung dengan amalnya untuk mendapatkan sesuatu.
Tingkatan kedua yaitu Murid, seseorang yang masih bergantung pada amalnya tapi digunakan untuk mendapatkan ridlo Allah. Mayoritas orang awam masih bisa sampai pada tahap satu dan dua ini.
Tingkatan ketiga yaitu Arif, seorang hamba yang tidak mengandalkan amal ibadahnya tapi hanya bergantung pada Allah saja. Ciri-cirinya yaitu tidak bergantung pada amal ibadahnya untuk menuju Allah. Ibadahnya orang yang tingkatan Arif tidak lagi ingin diberikan ganjaran pahala, surga, maupun pujian. Tujuannya hanya satu yaitu Allah SWT saja. Selalu rindu Allah, berharap ridlonya Allah dan nyaman bersama Allah. Ciri lain seorang yang sampai pada tahap Arif yaitu zuhud, tawakal, sabar dan wira’i.
Seorang Arif menyadari ada empat perkara penyebab amal ibadah seorang hamba ditolak Allah SWT. Pertama yaitu gandolan (bergantung) pada ibadahnya sendiri bukan pada Allah. Kedua, hamba yang hanya condong pada ibadahnya dan lupa pada Allah SWT. Penyebab ketiga yakni merasa nyaman dengan ibadah tapi tidak merasa nyaman dengan Allah. Dan terakhir, hanya bisa merasa manisnya ibadah tapi lupa pada Allah SWT.
Seorang yang Arif menghindari penyakit-penyakit hati seperti riya’, takabur, ingin dipuji dan ingin dilihat orang dalam ibadah, padahal ini dapat merusak dan menjadikan amal tidak diterima oleh Allah. Bahkan riya’ termasuk syirik asghar (syirik kecil).
Kadang orang memiliki sifat sum’ah, atau ingin tenar, dan padahal itu adalah penyakitnya hati. Dan apabila penyakit itu dibuka oleh Allah, mungkin orang lain tidak akan sudi menghormatinya lagi.
Pada hakikatnya menghormati, memuliakan, memuji seseorang adalah menghormati, memuliakan dan memuji Allah yang menutupi cacat orang tersebut. Bukan malah memuliakan diri sendiri, tapi kepada Allah lah kita memuji dan memuliakan-Nya.
Siapa yang bisa sampai tingkatan Arif?
Setiap orang bisa menikmati tingkatan Arif, dengan ketentuan memenuhi syarat bahwa ia hanya bertujuan menuju Allah. Bukan berharap yang lain, apalagi balasan seperti pujian, surga dan agar terkesan baik di mata manusia.
Orang alim, tidak menjamin bisa sampai pada tingkatan Arif, sebab mereka juga punya penyakit hati. Biasanya penyakit tersebut berupa hasut kepada orang alim dan mubaligh. Pada tataran bawah, pemilik warung kopi hasut dengan sesama pemilik warung kopi, pedagang hasut dengan pedagang, serta pengusaha hasut dengan pengusaha.
Terkadang penyakit hati berupa khiqdzu, atau dendam. Contoh, karena bapaknya pernah disakiti, anaknya dendam kesumat. Bisa juga seorang suami yang melakukan poligami, kemudian timbul khiqdzu antara sesama istri.
Kunci agar terhindar dari penyakit hati bagi orang alim harus sabar, seperti nasehat pendiri Thariqah Syadiliyah Syaikh Hasan al-Syadili yang berbunyi “seseorang tidak bisa dikatakan alim sebelum diuji empat hal, pertama dimusuhi musuh, lalu dikatai teman dekatnya sendiri, ketiga dicacat orang bodoh, dan terakhir didengki orang alim.
Orang baik pasti punya musuh, seperti Nabi Musa dengan Firaun, atau Nabi Adam dengan iblis. Pasti ada yang memusuhi, oleh karena itu, orang alim itu pasti dimusuhi oleh musuh-musuhnya.
Manusia pada umumnya memandang orang lain adalah yang negarif. Ada orang baik 99 persen dan jeleknya 1 persen, yang dipandang pasti yang 1 persen. Oleh karena itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pendiri Tariqah Qadiriyah mengajarkan apabila melihat orang lihatlah kebaikannya.
Apabila seseorang telah bisa melalui semuanya dengan sabar, maka akan menjadi orang alim yang bisa dijadikan sebagai panutan.
Tips selanjutnya yaitu apabila melihat orang alim, merasalah bahwa mereka lebih utama, karena orang alim beramal dengan ilmunya, dan amal yang disertai ilmu akan mudah diterima oleh Allah. Apabila melihat orang bodoh, merasalah bahwa orang bodoh lebih utama, karena orang bodoh apabila berdosa karena tidak tahu, sehingga mudah diampuni oleh Allah.
Apabila melihat orang kaya, merasalah bahwa orang kaya lebih utama, karena orang kaya banyak syukurnya. Bagitu juga apabila melihat orang miskin, merasalah orang miskin lebih utama, karena mereka lebih banyak sabarnya, sampai-sampai apabila melihat anjing sekalipun, kita disuruh merasa bahwa anjing lebih utama, karena mereka setelah mati tidak ada dihisabnya.
Semoga kita semua bisa menikmati perjalan menuju Allah, sehingga damai dan nyaman bersama Allah.