tebuireng.co- Ibnu Ar-Rawandi atau Abu Husain Ahmad bin Yahya bin Ishak Ar-Rawandi adalah salah seorang pemikir bebas yang jarang diperdebatkan oleh orang banyak bahkan ia dituduh sebagai ateis, sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai adanya keberadaan Tuhan atau menolak keadaan Tuhan.
Ibnu Ar-Rawandi lahir di Khurasan sekitar abad ke-3 Hijriyah, ia adalah seorang penganut Mu’tazilah di Baghdad sebelum akhirnya ia menjauhkan diri dari aliran tersebut dan menjalin aliansi pemikiran dengan sekte-sekte pemikiran lain dan banyak mengkritik habis Mu’tazilah dalam setiap tulisannya.
Imam Ad-Dhahabi dalam kitabnya Siyaru A’lami an-Nubula menuturkan bahwasanya Ar-Rawandi dahulu berguru dengan seorang pembesar Mu’tazilah bernama Abu Isa Al-Warraq yang mana ia banyak terpengaruh dengan pemikiran gurunya walaupun banyak juga perbedaan pendapat di antara keduanya.
Hubungan awal Ar-Rawandi dengan Mu’tazilah layaknya seorang penganut yang mendedikasikan diri dalam keyakinan mazhab Mu’tazilah sebelum akhirnya keluar dari aliran tersebut dan mengekspos segala apa yang ia telah pelajari di sana dalam bentuk penentangan terhadap ajarannya.
Abu al-Husain al-Khayat dalam kitab al-Intishar wa ar-Raddu ala Ibni Ar-Arawandi al-Mulhidi mengatakan bahwa Ibnu ar-Rawandi mengambil pemikiran ulama Mu’tazilah, namun berbeda pendapat dengan mereka bahkan menyalin buku-buku mereka dan menyebarkan kepada orang lain doktrin yang berbeda yang pada akhirnya ia dikeluarkan dari Mu’tazilah.
Tuduhan sebagai seorang ateis
Imam Ad-Dhahabi menggambarkan bahwa Ibnu Rawandi ialah seorang musuh agama, ateis, penulis beberapa buku yang menista agama. Al-Safadi menambahkan bahwa Ibnu Ar-Rawandi termasuk teolog Mu’tazilah, kemudian ia berpisah dan memilih menjadi ateis.
Beberapa sekte-sekte besar sepakat dalam tuduhan ateis yang ditunjukan kepada Ibnu Ar-Rawandi terlepas dari kontradiksi doktrin mereka di antaranya dari madzhab Hanabilah, Asy’ariyah, Mu’tazilah, Zahiriyah dan Syiah.
Mendapat tuduhan sebagai seorang ateis, Ibnu Ar-Rawandi menyangkal tuduhan tersebut sebagaimana diungkapkan dalam kitab al-Wafi bi al-Wafiyat karya sejarawan Al-Safadi bahwa Hakim Abu Ali At-Tunukhi berkata ketika orang-orang bertanya kenapa Ibnu Ar-Rawandi bergabung bersama golongan orang-orang ateis maka ia menjawab bahwa ia hanya sekedar ingin mengetahui tentang madzhab mereka.
Beberapa pemikiran kontroversial ar-Rawandi
Sosok kontroversial ini telah menggertak panggung dunia intelektual Islam dengan berbagai pernyataan dan pemikiran yang mengandung kontroversi melalui buku-buku yang terlarang yang ia karang. Salah satu di antaranya ia menghukumi wajib dalam mendengarkan musik saat ada perbedaan pendapat dalam hukum mendengarkan musik.
Sikap kontrovesial yang lain dia tunjukkan saat menolak konsep kenabian, di mana konsep kenabian bagi umat Islam adalah suatu dogma mutlak. Ibnu Ar-Rawandi justru mengingkarinya ia berpendapat bahwa Tuhan telah memberikan manusia akal yang sempurna yang dapat menjelajah seluruh kehidupan di dunia. Jika akal yang diberikan Tuhan sudah cukup untuk bekal manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, kenapa harus ada nabi yang menunjukkan jalan? Ketika akal telah mampu membuka tabir kegelapan dalam hidup, maka manusia sudah dianggap cukup dalam menjadi seorang khalifah dibumi ini. Kehidupan yang hanya menunggu kedatangan seorang nabi sebagai penunjuk jalan hanya akan menumpulkan keagungan akal manusia. Dan penumpulan akal menandakan bahwa tidak ada rasa syukur terhadap apa yang diberikan oleh Tuhan.
Pendapat-pendapat ar-Rawandi yang menjunjung kebebasan akal dan kontroversial tersebut, telah membentur dasar-dasar keyakinan umat Islam dan membuat geram para ulama dan intelektual muslim. Namun demikian, memang setiap pemikiran dalam dunia Islam akan menjadi jejak yang nantinya menjadi pembelajaran bagi umat setelahnya.
Baca juga: Agama Terbaik Menurut Dalai Lama Tenzin
Baca juga: Ilmu Hadis, dari Nabi Muhammad sampai ar-Ramahurmuzi