Dalam dinamika kehidupan manusia tidak pernah lepas dari masalah, termasuk tingkatan Nabi dan Rasul sekalipun. Persoalan hidup yang menggelayuti kehidupan manusia sering membuat hidup terasa berat. Islam menawarkan beberapa solusi ihwal masalah itu dengan berbagai jalan, seperti tidak berputus asa, senantiasa husnudzon kepada Allah, memandang masalah sebagai ujian untuk meraih derajat yang lebih baik di sisi Tuhan dan seterusnya. Tak terkecuali bercanda yang menimbulkan efek tertawa.
Sadar atau tidak, di tengah penat kehidupan, bercanda adalah salah satu siasat yang mudah dan murah dalam mereduksi kepenatan. Tak hanya untuk itu, bercanda juga menjadi cara jitu dalam menyampaikan dakwah di tengah masyarakat, alat diplomasi, dan melunakkan ketegangan.
Ihwal bercanda ini bisa kita lihat pada KH Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU. Dalam suatu kesempatan KH Wahab menyerukan keharaman menjadi Ambtenaar (pegawai) Belanda saat itu. Dengan suara yang berapi-api beliau menyeru, “Wahai saudara-saudaraku kaum pesantren, baik yang sudah sepuh, yang di sebut kiai atau yang masih muda-muda yang di kenal dengan sebutan santri. Jangan sekali-kali terbersit apalagi bercita-cita sebagai Ambtenaar!”
“Mengapa kalangan kiai dan santri tidak boleh menjadi Ambtenaar?” “Jawabannya tiada lain tiada bukan, karena Ambtenaar itu singkatan dari ‘Antum fi Nar’. Tidak usah berhujah susah-susah tentang Ambtenaar, intinya ya tadi, ‘kalian di neraka’ titik,” jelas Kiai Wahab. Para Kiai dan santri yang hadir tertawa dan bertepuk tangan.
Tertawa Ingat Rahmat Allah
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazali, Rasulullah bersabda: “Inna min khiyari ummati qauman yadhakuna jahran min sa’ati rahmatillah, wa yabkuna sirran min khaufi adzabi”. Termasuk umat Nabi pilihan, tertawa lepas ketika bersama orang lain karena yakin dengan rahmat/pemberian Allah dan ketika sendirian dia menangis, takut akan siksa Allah.
Gus Baha sering mengutip Hadis tersebut dengan menjelaskan bahwa ulama-ulama dahulu sering bercanda, berkelakar, rileks, guyon, dan tertawa. Itu semua mereka lakukan sebagai ekspresi atas kebahagiaan dan ridha terhadap pemberian Allah. Dan kalimat wa yabkuna sirran (menangis secara sembunyi) diinterpretasikan Gus Baha agar kita menangis pada malam hari ketika kita sedang bermunajat kepada Allah dalam kesunyian malam sebagai bentuk ekspresi rasa takut pada siksa Allah (khaufan min adzabihi).
Jika serius menyusuri khazanah humor atau guyon dalam Islam, kita akan menemukan banyak peristiwa yang tidak melulu serius. Para ulama, sahabat, tabiin, bahkan Rasulullah sendiri tidak lepas dari bercanda yang tidak melanggar syariat Islam.
Dalam suatu kisah, bahwa Rasulullah Saw bersama para sahabat sedang makan kurma. Sayyidina Ali yang duduk di dekat Rasul kemudian meletakkan biji kurma di tempat Rasul dan kemudian berucap “Rasulullah makan kurma paling banyak, lihat biji yang ada.” Maka kemudian beliau membalas “Saya hanya makan kurmanya saja, sedangkan Ali memakan kurma dengan bijinya.”
Suasana yang rileks dan menyenangkan di dalam berkomunikasi bersama para sahabat yang juga menunjukkan keakraban, menjadikan ikatan batin semakin bertambah kuat. Dan inilah yang selama ini juga menjadi ciri khas yang ada di lingkungan para ulama di Indonesia. Saling menghargai, saling menghormati, dan melepaskan canda untuk memunculkan kegembiraan merupakan akhlak yang memiliki dimensi spiritual.
Bagaimana mengukur dimensi spiritual?
Ini adalah perkara yang sulit, karena logika belum mampu membuat alat ukurnya, walaupun kita meyakini adanya manfaat dan kebaikan berdasarkan dalil-dalil Al Quran dan Hadis. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Prof. David R Hawkin, psikiater berkebangsaan Amerika, melakukan penelitian mengenai cara kesadaran mengukur kebenaran, yang bisa kita pinjam untuk mengukur dimensi spiritual dalam usaha memperbaiki mental, emosional, dan kerohanian.
Pengukuran terhadap energi yang dihasilkan dari emosi dihitung dengan tabel yang berisi skala 0 – 1000 yang menggambarkan tingkat kesadaran. Kemudian digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kesadaran yang bisa dijadikan sebagai acuan perencanaan pengembangan diri yang mudah dan bisa ditindak lanjuti.
Skala itu terbagi menjadi beberapa bagian dan secara global dikrucutkan menjadi dua kelompok besar.
Kelompok pertama, yang berada di bawah skala 200, adalah sikap yang menghasilkan energi negative di antaranya: rasa malu, bersalah, apatis, putus asa, kesedihan mendalam, takut, keinginan, marah, bangga.
Kelompok kedua, berada di atas skala 200 yang menghasilkan energi positif, yaitu: sikap berani, netralitas, kemauan, penerimaan, berpikir, cinta/kasih sayang, suka cita, kedamaian, pencerahan.
Dari ukuran skala yang ada maka canda-tawa masuk dalam golongan kelompok kedua. Karena kegiatan ini membutuhkan suka cita, cinta, penerimaan, kegembiraan yang mengandung rahmat Allah dan menghasilkan energi positif. Hal-hal positif mengandung unsur kebaikan yang mana semua kebaikan datang hanya dari Allah Swt.
Standar Nilai
Manusia memiliki standar nilai terhadap apa yang ia hadapi. Sudut pandang terbentuk karena pengalaman yang berbeda-beda di masa lalu dan pada umumnya sudah terbentuk stereotip. Bagi yang memiliki bekal pemahaman agama, melihat permasalahan yang ia hadapai maka akan dikaitkan dengan ilmu agama untuk mencari solusi.
Bagi yang sangat menguasai agama maka tidak ada satu masalah pun yang tidak ada penyelesaiannya, bahkan seringkali sangat sederhana. Sehingga kepenatan dalam kesibukan sehari-hari isinya penuh dengan canda.
Hal yang perlu digarisbawahi, Islam adalah agama yang rileks dan menyenangkan. Tetapi sering mendapatkan citra negatif sebagai agama yang selalu garang dan menakutkan. Seolah-olah tidak ada aspek yang menyenangkan. Tertawa dalam konteks duniawi dan berlebihan dapat mengeraskan hati namun tidak dengan konteks tertawa karena legowo dan syukur atas rahmat Allah.
Wallahu a’lam bi sowab
Oleh: KH. Abdul Hakim Mahfud