tebuireng.co – Penulis bernama Tere Liye kembali mengkritik maraknya pembajakan buku dan kinerja pemerintahan Indonesia. Namun, menurutnya ketika ia mengkritik hal tersebut banyak akun yang memarahinya.
Tere Liye sering mengkritik pajak penulis yang dirasakan memberatkan, maraknya buku bajakan, utang negera hingga janji-janji kampanye Presiden Jokowi. Kritikan tersebut membuatnya diserang banyak pihak.
Di halaman faceooknya bisa ditemui ada berbagai isu yang dibahas Tere Liye, mulai dari ulasan tentang novelnya, buku bajakan, utang negara hingga pemindahan ibu kota negara.
“Setiap kali page Tere Liye merilis postingan tentang utang negara, korupsi, anak-mantu bagi-bagi JABATAN, dan lain-lainyanya, selalu saja muncul akun-akun tidak jelas yang komentar sambil marah. Bilang penulis Novel bantu apa,” tulisnya di akun facebook, Ahad (23/1/22).
Menurut Tere Liye pernyataan orang yang mengatakan bahwa penulis novel tidak bantu-bantu apa sangat keliru sekali. Sebagai penulis ia mengetahui begitu banyak bukunya dibajak dan diperjual belikan bebas di pasar sejak 2010.
Pihaknya pernah menghitung total buku bajakan Tere Liye di marketplace tahun 2018. Tidak kurang 1 juta di tahun itu saja. Jika ditotalkan 10 tahun terakhir tentu hasilnya akan fantastis.
Kadang ia bingung melihatnya, di toko resminya buku-buku bahkan dijual Rp. 40.000 saja dan 100% original. Entah kenapa, masih banyak yang malah transaksi di toko-toko tidak jelas, belanja lewat whatsapp, percaya akun-akun impostor di Instagram/Facebook/Line/Tik Tok dan lain sebagainya.
Tere Liye menyarankan jika ada yang tertipu belanja di luar toko resminya, sudah transfer duit, buku tidak dikirim, maka harap lapor ke polisi saja. Jangan lapor ke pihaknya, apalagi ngamuk.
“Kamu tahu berapa nilai kerugian hanya di tahun 2018? 100 milyar lebih. Coba kalau itu bukunya original, bisa bayar pajak ke negara loh. PPN-nya tahun 2018 (masih ada PPN buku tahun tsb), bisa ngasih 10 milyar. Belum pajak royalti, pajak penghasilan penerbitnya, dan lainya,” tegas Tere Liye.
Baca Juga: Kehidupan Kaum Elit
Menurut pria memiliki nama asli Darwis ini, pihaknya baru menghitung buku bajakan, belum menghitung kontribusi realnya. Jangan sepelekan penulis novel. Bahkan tukang bakso pun boleh jadi memberikan duit ke negara lebih banyak dibanding komisaris BUMN, Jenderal, Menteri yang justeru digaji oleh negara.
Tere Liye menyebut orang-orang yang membeli buku bajakan karyanya adalah orang dungu. Menurutnya, pembeli buku bajakan telah membuat kaya para penjual buku bajakan
“Anggota DPR itu bahkan pajak penghasilan saja ditanggung negara. Tukang bakso, kalau dia tertib bayar pajak, lapor SPT, dia real pahlawan sejati. Patriot. Dia memberi duit ke negara. Bukan ngemis minta, bagi-bagi proyek,” imbuhnya.
Bagi Tere Liye, komentar yang menyudukannya seringkali datang dari orang-orang yang bahkan tidak pernah lapor SPT. Termasuk akun-akun raksasa, buzzer-buzzer sampah.
Tere Liye memang sering marah-marah di media sosial setelah mendapati sejumlah toko online di marketplace menjual buku bajakan. Saking kesalnya, penulis buku Negeri Para Bedebah ini bahkan menyebut pembeli buku bajakan adalah orang-orang yang bodoh.
Tere Liye tidak akan menarik atau merevisi tulisannya tersebut meski akan diboikot oleh pembaca bukunya. Baginya, itu bukan kali pertama dirinya mendapat cibiran dari netizen atas apa yang disuarakannya.
Pada 2017 lalu, saat dirinya menyuarakan soal pajak penulis dan pajak pekerja seni, banyak penulis lain yang malah menyerang balik Tere Liye. Dirinya sempat disebut berlebihan karena pernah akan berhenti menerbitkan buku gara-gara persoalan pajak.
Ia juga pernah memutuskan kontrak dengan dua penerbit yang yakni Gramedia Pustaka Utama dan Republika. Keputusan ini disampaikan Tere Liye melalui akun Facebook-nya karena pajak yang dibayarkan penulis lebih besar dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter, arsitek, artis, hingga pengusaha UMKM.
Dari paparan Tere Liye, penulis dengan penghasilan Rp1 miliar (belum dikurangi penghasilan tidak kena pajak/PTKP), harus membayar pajak dengan besaran hampir seperempat penghasilannya tersebut.
“Saat penulis akhirnya bisa pakai NPPN, pajaknya sudah dianggap sama dengan lawyer, akuntan, dokter dan profesi lain, tidak lagi bayar dobel, siapa yang menikmati semua perjuangan itu? Penulis. Saat PPN buku benar-buku telah dihapuskan. Siapa yg menikmati? Semua pihak,” tandasnya.