tebuireng.co – Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng 2006-2020 KH Salahuddin Wahid dalam sebuah acara mengatakan bahwa Pesantren Tebuireng konsisten melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mencegah kebangkitannya.
Terlebih pendahulu Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim dan KH Kholiq Hasyim terlibat dalam pertempuran fisik melawan PKI.
Bagi Gus Sholah, posisi melanjutkan apa yang dilakukan pendahulunya yaitu KH Yusuf Hasyim. Sosok Yusuf Hasyim merupakan tokoh Banser. Saat itu, Banser didirikan untuk melawan Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat.
Gus Sholah menuturkan saat itu terjadi aksi sepihak oleh BTI yang didukung pemuda rakyat untuk menjarah tanah milik pesantren. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1963/1964.
Bagi Gus Sholah peristiwa tersebut merupakan fakta sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi. Ia keberatan kalau G30S disebut tidak ada kaitannya dengan PKI, sebab pasti ada kaitannya dengan PKI.
Namun, KH Sholahudin Wahid mengingatkan dalam situasi saat ini umat hendaknya tidak sembarangan menuduh seseorang PKI. Sebab, jika asal menuduh, dapat berhadapan dengan hukum. Oleh sebab itu, hendaknya upaya menghalau kebangkitan komunis dilakukan dengan cara lebih preventif.
Ruang-ruang pendidikan dinilai menjadi sarana yang cukup efektif untuk kembali menguatkan kembali ingatan bangsa Indonesia bahwa PKI pernah melakukan pemberontakan. Sehingga, seluruh elemen bangsa dapat mengambil peran untuk menghalau berbagai upaya membangkitkan kembali faham terlarang ini.
Harus mengingatkan guru-guru sejarah dan guru pesantren, bahwa PKI pernah melakukan pemberontakan tahun 1948 dan 1956, tahun 1945 juga melakukan pemberontakan meskipun skalanya kecil.
Dalam catatan Gus Sholah bertanggal 28 Oktober 2019, pada tahun 1952, saat ia berumur sekitar 10 tahun dan masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat, ia melihat sebuah foto yang tergeletak di meja kerja ayahnya KH A Wahid Hasyim.
Foto itu memperlihatkan sejumlah orang berdiri berbaris ke samping sambil memegang senjata yang sudah diangkat untuk menembak seseorang yang ditutup matanya. Orang itu hanya mengenakan celana pendek.
Gus Sholah lalu bertanya kepada ayahnya, siapa orang yang akan ditembak itu? Ayahnya menjawab bahwa orang itu adalah anggota PKI yang melakukan pemberontakan di Madiun dan sekitarnya pada tahun 1948. Yang menembak adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang akan menghukum mati anggota PKI itu.
Kenapa yang menembak kok banyak sekali? Jawab ayahnya, hanya satu orang yang senjatanya berisi peluru tajam. Yang lain tidak. Itu dilakukan supaya para penembak itu tidak merasa bersalah.
Cerita ayahnya itu melekat kuat dalam ingatan Gus Sholah, sampai saat ini, bahwa PKI melakukan pemberontakan pada tahun 1948, saat Indonesia masih melakukan peperangan dengan Belanda.
Beberapa puluh tahun kemudian muncul pendapat bahwa PKI diprovokasi oleh tindakan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri sehingga mereka melakukan tindakan kekerasan yang memakan korban jiwa ratusan orang yang banyak di antaranya adalah para kiai.
Beberapa tahun kemudian Pengadilan Negeri di Jakarta memutuskan bahwa PKI tidak bersalah dalam Peristiwa Madiun itu. Namun, Gus Sholah yakin bahwa banyak rakyat Indonesia yang juga mempunyai keyakinan yang kuat bahwa PKI telah melakukan pemberontakan di Madiun pada 1948, jumlahnya mungkin jutaan orang.
Pada tahun 1964 muncul berita bahwa anggota PKI dan organisasi sayapnya seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat mulai melakukan aksi sepihak terhadap umat Islam bahkan terhadap sejumlah kiai dengan dalih melaksanakan Land Reform.
Peristiwa Kanigoro menjadi salah satu peristiwa yang sampai kini tidak terlupakan tentang keganasan anggota PKI dan organisasi sayapnya terhadap umat Islam. Seniman Lekra menampilkan lakon ludruk yang judulnya provokatif, seperti “Matine Gusti Allah”.
Konflik di atas pernah dilaporkan oleh Ketua Umum CC PKI DN Aidit kepada Bung Karno dalam suatu sidang kabinet, bahwa aktivis Nahdlatul Ulama (NU) melakukan tindakan kekerasan kepada aktivis PKI di Jawa Timur.
Ketua Umum Partai NU Kiai Idham Chalid menjawab bahwa konflik itu terjadi karena aktivis PKI yang mulai terlebih dahulu melakukan aksi sepihak dan provokasi.
Gus Sholah yang waktu itu sudah kuliah di ITB dan adiknya kuliah di FKUI aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), mengikuti dengan cermat perkembangan politik yang berkaitan dengan konflik antar warga PKI dengan umat Islam di berbagai daerah.
Ibu dan kakak dari Gus Sholah juga mengikuti perkembangan itu, bahkan mendapat informasi langsung dari berbagai daerah tentang masalah itu. Keluarga Gus Sholah sering membicarakan masalah itu dengan KH Yusuf Hasyim yang waktu itu menjadi pimpinan Banser. Mereka memperoleh informasi tentang hebatnya konflik itu dan dugaan akan timbulnya konflik yang lebih besar.
Pada hari Jumat, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 WIB, Gus Sholah bersama Ibunya, kakak ipar, serta dua adik Gus Sholah bersama-sama berkumpul di meja dan mendengarkan dengan cermat pidato Untung melalui RRI yang menyatakan berdirinya Dewan Revolusi dan susunan anggota Dewan tersebut. Serentak berkata berkata: “Ini pasti PKI yang berada di belakang gerakan ini”.
Tanggapan mereka itu adalah sesuatu yang wajar berdasar pada informasi yang mereka baca di media maupun informasi dari saudara-saudara di Jawa Timur.
Esok harinya, Ibu dari Gus Sholah mengambil prakarsa untuk mengumpulkan para aktivis muda NU yang tinggal di berbagai tempat di Jakarta dan mempersilahkan mereka bersama keluarga untuk tinggal di rumah Ibunya di Taman Matraman Barat no 8.
Tindakan itu dilakukan dengan pertimbangan keselamatan mereka. Mereka (antara lain Said Budairy, Mahbub Djunaedi, Djawahir) beserta keluarga tinggal di rumah Ibu dari Gus Sholah, selama sekitar sebulan.
Rumah Ibu dari Gus Sholah aman karena bertetangga dengan Kolonel Alamsyah (kelak menjadi Menteri Agama), yang dijaga oleh pasukan tentara, bahkan ada panser yang berada di situ.
Pengurus Pusat Muslimat NU meminta tindakan tegas Pemerintah untuk membubarkan PKI. Pada 4 Oktober 1965 Ibu dari Gus Sholah mewakili Muslimat NU membacakan pernyataan itu di depan massa yang menghadiri Rapat Umum di Lapangan Sunda Kelapa.
Sekitar awal Nopember 1965 mulai terdengar kabar dari saudara-saudara di Jawa Timur bahwa di sana mulai terjadi pembunuhan terhadap mereka yang dianggap sebagai anggota PKI atau organisasi payungnya. Keluarga Gus Sholah tentu sedih mendengar berita itu.
Pada akhir Januari 1966 banyak anggota Banser dari Jawa Timur yang menghadiri upacara Hari Lahir ke 40 Nahdlatul Ulama di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Sebagian menginap di rumah Ibu dari Gus Sholah.
Dalam kesempatan itu, Gus Sholah sempat berdiskusi dengan anggota Banser tentang pembunuhan itu. Anggota Banser mengatakan bahwa mereka terpaksa melakukan pembunuhan karena kalau tidak mau melakukannya mereka akan dicurigai sebagai bagian dari PKI.
Selain itu pembunuhan terhadap warga PKI dan organisasi di bawah payung PKI terjadi akibat balas dendam dari mereka yang pernah mengalami tindakan kekerasan atau ancaman dari warga PKI.
Menurut mereka, jangan menilai apa yang terjadi di Jawa Timur saat itu dengan ukuran Jakarta, sebab situasinya amat berbeda. Banser bilang bahwa kalau Gus Sholah ada pada posisi mereka, pasti Gus Sholah akan melakukan tindakan yang sama dengan mereka. Gus Sholah bersyukur bahwa ia tidak hidup di tempat terjadinya pembunuhan di Jawa Timur dan tempat lainnya.
Gus Sholah masih ingat bahwa ia ikut bersorak mendengar pengumuman bahwa Pemerintah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Mungkin kegembiraan sebagian besar masyarakat di Jakarta sama dengan kegembiraan saat Pak Harto menyatakan berhenti sebagai presiden pada Mei 1998.
Ketika beberapa tahun kemudian beredar berita tentang raibnya Supersemar dan muncul berita yang meragukan proses lahirnya Supersemar, Gus Sholah tetap yakin bahwa pembubaran PKI adalah sebuah langkah yang tepat dan dibutuhkan saat itu.
Pada 1966 beredar berita tentang Cornell Paper yang menyatakan bahwa Peristiwa G-30S adalah konflik internal AD, bukan dilakukan oleh PKI. Berita itu beredar dari mulut ke mulut.
Gus Sholah sempat membaca copy tulisan itu yang beredar secara sembunyi-sembunyi. Tulisan itu beredar luas dan secara terbuka pasca Orde Baru.
Selain itu, beredar juga versi lain yaitu bahwa peristiwa itu diketahui oleh Bung Karno. Juga beredar versi yang mengatakan bahwa peristiwa itu adalah proyek CIA.
Untuk memastikan versi mana yang benar, maka Presiden Megawati membentuk Tim yang dipimpin oleh Prof Taufik Abdullah yang terdiri dari para sejarawan dan dari berbagai kalangan yang mengetahui dengan baik apa yang terjadi.
Sampai akhir masa tugasnya, tim itu tidak berhasil menentukan mana yang betul dari berbagai versi di atas. Satu dua tahun yang lalu, Prof Dr Hermawan Sulistyo menyatakan bahwa akhirnya Ben Anderson yang ikut merumuskan Cornell Papers, mengakui kepada Hermawan Sulistyo bahwa PKI adalah dalang Pemberontakan G-30S. Kesimpulan itu diperoleh setelah Ben Anderson membaca sekian banyak dokumen tentang Peristiwa G30S termasuk data dari Mahmillub.
Tentu masih banyak pihak yang menganggap bahwa PKI bukanlah dalang Pemberontakan G-30S dan mereka berusaha keras melalui berbagai cara untuk menghapus pendapat yang selama ini diyakini oleh banyak pihak, yaitu PKI adalah dalang Pemberontakan G-30S.
Selama terus dilakukan untuk upaya menghapus jejak PKI dalam Pemberontakan G-30S, maka selama itu pula akan muncul pihak yang menegaskan dan memperkuat pendapat bahwa PKI adalah Dalang Pemberontakan G-30S.
Jangan Ada Korban Lagi
Setelah terjadi Pemberontakan itu, terjadi tindak kekerasan terhadap warga aktivis PKI dan mereka yang dianggap sebagai aktivis PKI. Jumlah korban itu juga menjadi bahan perdebatan sampai kini.
Tim Pencari Fakta yang dibentuk Bung Karno menyatakan bahwa jumlah korban itu sekitar 70.000-80.000. Ada pihak yang memperkirakan jumlah korban mencapai 500.000.
Kolonel Sarwo Edhie menyebut angka sekitar 3 juta. Angka 70.000 saja sudah besar dan merupakan sebuah tragedi kemanusiaan. Kita mengharapkan tidak terjadi lagi korban seperti itu di masa depan.
Selain itu, terdapat korban lain yaitu tahanan politik di Pulau Buru yang jumlahnya sekitar 13.000.
Keluarga dari korban yang meninggal dunia atau tahanan politik, ikut menanggung beban sejarah, mereka mendapat perlakuan diskriminatif dan kehilangan hak sebagai warga negara.
Jumlah mereka amat banyak. Alhamdulillah perlakuan diskriminatif itu sudah berakhir seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru.
Pasca Orde Baru proses rekonsiliasi dimulai. Tentu tidak mudah mewujudkan rekonsiliasi itu.
LSM Syarikat yang didirikan oleh anak-anak muda NU sangat aktif dalam kegiatan rekonsiliasi sosial. Pernah dibuat UU KKR dan proses pemilihan anggota KKR sudah selesai dan tinggal menunggu keputusan Presiden SBY.
Atas gugatan sejumlah tokoh, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR itu. Rekonsiliasi sosial budaya telah berjalan, rekonsiliasi berdasar hukum belum terjadi.
Sebagian warga masyarakat menganggap bahwa rekonsiliasi berdasar hukum seperti melalui UU KKR, tidak perlu.
Namun, sebagian lain menganggap hal itu perlu. Sejarah yang akan menentukan apakah rekonsiliasi berdasar hukum akan terwujud atau tidak.
Beberapa tahun lalu Komnas HAM telah membuat laporan tentang dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat terkait Peristiwa G-30S. Laporan itu telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung.
Menanggapi laporan itu, Kejaksaan Agung mengembalikan laporan itu dengan alasan belum lengkap.
Tuntutan dari keluarga korban terus diajukan kepada Presiden, tetapi tidak jelas bagaimana kebijakan Presiden terhadap tuntutan tersebut.