tebuireng.co– KH. Abdul Karim Hasyim lahir pada 30 September 1919 M. di Tebuireng. Ia merupakan anak keenam dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh.
Sejak kecil KH. Abdul Karim Hasyim dididik langsung oleh kakaknya, KH. Abdul Wahid Hasyim, serta kakak iparnya, KH. Ahmad Baidhawi Asro. Kiai Karim terkenal sebagai anak yang rajin belajar dan gemar membaca.
Masa pendidikannya lebih banyak dihabiskan di Tebuireng. Ia tercatat sebagai salah seorang siswa pertama Madrasah Nidzamiyah yang didirikan kakaknya, Kiai Abdul Wahid Hasyim.
Selama Kiai Abdul Wahid Hasyim menjadi pengasuh Tebuireng, Kiai Abdul Karim Hasyim sudah dipercaya sebagai wakilnya sejak tahun 1947.
Di kalangan pesantren, Kiai Abdul Karim terkenal sebagai ahli bahasa dan sastra Arab. Ia juga produktif menulis dengan nama samaran Akarhanaf, singkatan dari Abdul Karim Hasyim Nafiqoh.
Sejak Kiai Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta kepemimpinan Pesantren Tebuireng menjadi kosong sehingga keluarga besar Bani Hasyim memilih Kiai Abdul Karim sebagai penggantinya. Kiai Karim resmi menjadi pengasuh Tebuireng sejak tanggal 1 Januari 1950.
Baca juga: Tebuireng di Masa Kiai Abdul Wahid Hasyim
Selama satu tahun memimpin Tebuireng, Kiai Karim banyak melakukan reorganisasi dan revitalisasi sistem madrasah. Pada masa kepemimpinannya, madrasah-madrasah di berbagai pesantren sedang mengalami masa-masa suram.
Dikatakan suram karena sejak penyerahan kedaulatan RI dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI tahun 1949, pemerintah lebih memprioritaskan sistem persekolahan formal (schooling) dari pada madrasah. Perlakuan deskriminatif lainnya terlihat dari keputusan bahwa yang diperbolehkan menjadi pegawai negeri adalah mereka yang lulusan sekolah umum.
Oleh sebab itu, madrasah-madrasah di Tebuireng pun akhirnya diformalkan sesuai dengan sistem persekolahan. Jika sebelumnya jenjang madrasah hanya dua tingkat, yakni Shifir dan Ibtidaiyah, pada masa Kiai Karim ditambah menjadi tiga tingkat, yaitu Shifir dua tahun, Ibtidaiyah enam tahun, dan Tsanawiyah tiga tahun.
Pada masa Kiai Karim, didirikan pula Madrasah Mu’allimin enam tahun. Jenjang ini lebih berorientasi pada pencetakan calon guru yang memilki kelayakan mengajar. Selain pelajaran agama dan umum, para siswa Mu’allimin juga dibekali keahlian mengajar seperti didaktik-metodik dan ilmu psikologi. Dengan adanya jenjang Mu’allimin, permintaan tenaga guru dari berbagai daerah dapat dipenuhi.
Periode Kiai Abdul Karim merupakan masa transisi menuju integrasi sistem salaf dan sistem formal. Inilah tonggak awal dimulainya era pendidikan formal di Pesantren Tebuireng, yang kemudian diikuti oleh sejumlah pondok pesantren lain, khusunya di tanah Jawa.
Setelah satu tahun mengasuh Tebuireng, Kiai Abdul Karim menyerahkan estafet kepengasuhan kepada KH. Ahmad Baidhawi Asro, hal ini merupakan hal baru dari sistem kepemimpinan Tebuireng, karena seorang menantu dapat menggantikan kedudukan anak kandung di saat anak kandung masih hidup.
Selain aktif di Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim juga bekerja sebagai KN I Kabupaten Jombang dan merangkap menjadi guru pada tahun 1945-1948. Pada saat yang sama, KH. Abdul Karim Hasyim merangkap sebagai penghubung staf Grup M I di pulau Jawa.
Lalu pada tahun 1954, ketika sudah tidak menjabat sebagai pengasuh Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim diangkat menjadi Ahli dan Pengawas Pendidikan Agama di Semarang. Lalu pada tahun 1960, Kiai Karim dipindahkan ke wilayah Surabaya dan Bojonegoro. Kemudian pada tahun 1968, ia diangkat menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sekitar tahun 1970-an, KH. Abdul Karim Hasyim masuk keanggotaan Partai Golkar. Sikap ini sangat kontroversial di kalangan pesantren, yang saat itu umumnya berpartai Islam. Konon, ia masuk Golkar karena diajak oleh salah seorang pejabat di Jombang, dengan petimbangan bahwa perjuangan Islam tidak selamanya hanya di pesantren.
Dakwah juga tidak selamanya di dalam partai Islam. Di Golkar juga membutuhkan siraman rohani, sehingga pemerintahan Orde Baru yang semuanya anggota Golkar perlu mendapat siraman rohani dari orang pesantren. Dakwah seperti ini, menurut Kiai Abdul Karim, merupakan konsep saling mengisi antar ulama dan umaro.
Pada pemilu tahun 1971, di mana partai Golkar mendapat suara 62,8 % dan memperoleh 227 kursi di parlemen, Kiai Abdul Karim terpilih sebagai salah satu anggota DPR-RI dari fraksi Golongan Karya.
Pada tahun 1972, Kiai Abdul Karim Hasyim menunaikan ibadah haji bersama Kiai Idris Kamali dan keluarga pesantren Seblak. Ketika semua persiapan ibadah haji selesai dan rombongan sudah bersiap-siap untuk pulang, kondisi fisik Kiai Karim mulai menurun. Dokter lalu memberikan suntikan injeksi. Namun tak lama kemudian Kiai Karim tak sadarkan diri. Akhirnya pada 31 Desember 1972, Allah swt, memanggil kiai Karim untuk selama-lamanya. KH. Abdul Karim Hasyim meninggal dunia dan jenazahnya dimakamkan di Makkah.
Baca juga: Tebuireng di Masa Penjajahan Belanda
Baca juga: Tebuireng di Masa Penjajahan Jepang