Di pesawat, jamaah haji tanpa wudhu, tetapi tayamum dengan menggunakan kursi sebagai alatnya. Kemudian mengerjakan sholat dengan duduk dan tidak menghadap kiblat, bagaimana hukumnya? Apakah shalat demikian ini termasuk Lihurmatil waqti?
Untuk menjawab permasalan ini kita bisa baca kembali hasil bahtusl masail Muktamar NU ke-28 pada 25-28 November 1989 di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Keputusan muktamar tersebut menyatakan bahwa tayamum dengan menggunakan kursi sebagai alatnya tidak sah, sedangkan kedudukan shalatnya hanya semata-mata karena mulianya waktu (lihurmatil waqti).
Keterangan dari kitab:
- Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab:
أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ التَّيَمُّمُ إِلاَّ بِتُرَابٍ هَذَا هُوَ الْمَعْرُوْفُ فِي الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ اْلأَصْحَابُ وَتَظَاهَرَتْ عَلَيْهِ نُصُوْصُ الشَّافِعِيِّ, وَحَكَى الرَّافِعِيُّ عَنِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْحَنَاطِيِّ بِالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ وَالنُّوْنِ أَنَّهُ حَكَى فِي جَوَازِ التَّيَمُّمِ بِالذَّرِيْرَةِ وَالنُّوْرَةِ والزِّرْنِيْخِ وَاْلأَحْجَارِ الْمَدْقُوْقَةِ وَالْْقَوَارِيْرِ الْمَسْحُوْقَةِ وَأَشْبَاهِهَا قَوْلَيْنِ لِلشَّافِعِيِّ وَهَذَا نَقْلٌ غَرِيْبٌ ضَعِيْفٌ شَاذٌّ مَرْدُوْدٌ وَإِنَّمَا أَذْكُرُهُ لِلتَّنْبِيْهِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَغْتَرُّ بِهِ وَالصَّحِيْحُ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ إِلاَّ بِتُرَابٍ وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَ دَاوُدُ قَالَ اْلأَزْهَرُ وَالْقَاضِيُّ أَبُوْ الطَّيِّبِ هُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَ مَالِكٌ يَجُوْزُ بِكُلِّ أَجْزَاءِ اْلأَرْضِ حَتىَّ بِصَخْرَةٍ مَغْسُوْلَةٍ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ مَالِكٍ يَجُوْزُ بِكُلِّ مَا اتَّصَلَ بِاْلأَرْضِ كَالْخَشَبِ وَالثَّلْجِ وَغَيْرِهِمَا وَفِي الْمِلْحِ ثَلاَثَةُ أَقْوَالٍ ِلأَصْحَابِ مَالِكٍ أَحَدُهَا يَجُوْزُ.
“Adapun hukum masalah ini: menurut Madzhab kami, tidak sah tayamum kecuali dengan debu. Pendapat ini adalah yang populer di madzhab kami dan telah ditetapkan oleh para ulama kalangan kami, serta tampak jelas pada nash-nash Imam Syafi’i. Diriwayatkan oleh al-Rafi’i dari Abi Abdillah al-Hanathi bahwa boleh bertayamum dengan debu, kapur, bijih besi, pasir, bebatuan dan kaca yang ditumbuk halus dan semisalnya. Ini adalah salah satu pendapat di kalangan madzhab asy-Syafi’i. Riwayat ini merupakan kutipan yang janggal dan lemah serta tidak dapat diterima. Kami mengemukakan ini sebagai peringatan agar tidak keliru. Pendapat yang tepat (sahih) dalam madzhab kami adalah bahwa tidak boleh bertayamum kecuali dengan debu. Pendapat ini dianut juga oleh Imam Ahmad, Ibnu Mundzir, dan Dawud. Al-Azhar dan al-Qadhi Abu Thoyyib mengemukakan, ini adalah pendapat mayoritas fuqaha. Abu Hanifah dan Malik berpendapat, bertayamum dengan segala jenis tanah walaupun berupa batu yang dicuci adalah boleh. Sebahagian pemuka madzhab Maliki berpendapat, tayamum dengan segala yang ada di bumi seperti kayu, es (salju) dan lainnya adalah boleh. Dalam hal bertayamum dengan garam, terdapat tiga pendapat di kalangan madzhab Maliki, salah satunya berpendapat boleh.”
- Majmu’ ‘ala Syarhul Muhadzdzab:
وَ أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ: فَإِذََا لَمْ يَجِدْ الْمُكَلَّفُ مَاءً وَلاَ تُرَابًا بِأَنْ حُبِسَ فِيْ مَوْضِعِ نَجِسٍ أَوْ كَانَ فِي أَرْضٍ ذَاتِ وَحْلٍ وَلَمْ يَجِدْ مَاءً يُخَفِّفُهُ بِهِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَفِيْهِ أَرْبَعَةُ أَقْوَالٍ حَكَاهَا أَصْحَابُنَا الْخُرَسَانِيُّوْنَ. (أَحَدُهَا) يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ فِى الْحَالِ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ اْلإِعَادَةُ إِذَا وَجَدَ مَاءً أَوْ تُرَابًا فِيْ مَوْضِعٍ يَسْقُطُ الْفَرْضُ فِيْهِ بِالتَّيَمُّمِ. وَهَذَا اْلقَوْلُ هُوَ الصَّحِيْحُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ كَثِيْرُوْنَ مِنَ اْلأَصْحَابِ أَوْ أَكْثَرُهُمْ وَصَحَّحَهُ الْبَاقُوْنَ وَهُوَ الْمَنْصُوْصُ فِي الْكُتُبِ الْجَدِيْدَةِ. (وَالثَّانِيُّ) لاَ تَجِبُ الصَّلاَةُ بَلْ تُسْتَحَبُّ وَيَجِبُ الْقَضَاءُ. سَوَاءٌ صَلَّى أَمْ لَمْ يُصَلِّ حَكَوْهُ عَنِ الْقَدِيْمِ, وَحَكَاهُ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَغَيْرُهُ مِنَ الْعِرَاقِِيِّيْنَ. (وَالثَّالِثُ) يَحْرُمُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَيَجِبُ الْقَضَاءُ حَكَاهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْخُرَاسَانِيِّيْنَ عَنِ الْقَدِيْمِ. (وَالرَّابِعُ) تَجِبُ الصَّلاَةُ فِى الْحَالِ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ وَلاَ تَجِبُ اْلإِعَادَةُ, حَكَوْهُ عَنِ الْقَدِيْمِ أَيْضًا, وَسَيَأْتِي أَدِلَّةُ هَذِهِ اْلأَقْوَالِ فِيْ فَرْعِ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى.
“Adapun hukum masalah ini: Jika seorang mukallaf tidak mendapatkan air dan debu, misalnya ia dipenjara di tempat yang najis, atau di tanah yang berlumpur, sedangkan ia tidak mendapatkan air atau jenis lainnya untuk bersuci maka terdapat 4 (empat) pendapat, seperti yang dikemukakan oleh para ulama Persi, yaitu;
a. Ia wajib melaksanakan shalat seketika dalam keadaan apa pun. Dan ia wajib mengulangi shalatnya jika sudah mendapatkan air atau debu pada suatu tempat yang dapat menggugurkan kewajibannya dengan tayamum. Pendapat ini adalah yang tepat (shahih) yang menjadi pilihan mayoritas ulama yang dipandang tepat oleh ulama kemudian. Pendapat ini adalah yang termuat jelas dalam kitab-kitab yang baru.
b. Ia tidak wajib melaksanakan shalat, namun disunnahkan melakukannya dan wajib meng-qadha, baik ia sudah shalat atau pun belum. Pendapat ini diriwayatkan dari qaul qadim dan dianut oleh Syeikh Abu Hamid dan ulama Irak lainnya.
c. Ia Haram melaksanakan shalat dan wajib meng-qadha. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Haramain dan jama’ah ulama Persi yang mengutip dari qaul qadim.
d. Ia wajib melaksanakan shalat ketika itu dalam keadaan apa pun, dan tidak wajib mengulanginya. Pendapat ini juga berdasarkan qaul qadim, dengan dalil-dali yang akan dijelaskan pada bagian pendapat madzhab-madzhab ulama, Insya Allahu Ta’ala.”
- Fathul Wahhab:
التَّوَجُّهُ لِلْقِبْلَةِ بِالصَّدْرِ لاَ بِالْوَجْهِ شَرْطٌ لِصَلاَةِ قَادِرٍ عَلَيْهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ, أَيْ جِهَّتَهُ وَالتَّوَجُّهُ لاَ يَجِبُ فِيْ غَيْرِ الصَّلاَةِ فَتَعَيَّنَ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهَا. وَلِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ قِبَلَ الْكَعْبَةِ أَيْ وَجْهِهَا وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ مَعَ خَبَرٍ: صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ, فَلاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ بِدُوْنِهِ إِجْمَاعًا. أَمَّا الْعَاجِزُ عَنْهُ لِمَرِيْضٍ لاَ يَجِدُ مَنْ يُوَجِّهُهُ إِلَيْهَا وَمَرْبُوْطٍ عَلَى خَشَبَةٍ فَيُصَلِّى عَلَى حَالِهِ وَيُعِيْدُ وُجُوْبًا.
“Menghadap kiblat (dalam shalat) adalah dengan dada bukan dengan wajah, merupakan syarat shalat bagi orang yang mampu melaksanakannya, sesuai dengan maksud firman Allah Swt: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram” (al-Baqarah: 149-150). Dan menghadap kiblat tidak merupakan kewajiban di luar shalat. Selain itu juga berdasar hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya Nabi saw. melaksanakan shalat dua rakaat dengan menghadap Ka’bah” dan hadits lain: “Shalatlah kamu sebagaimana shalat yang aku lakukan.” Maka, disepakati secara ijma’ bahwa tidak sah shalat jika tidak menghadap kiblat. Adapun orang yang tidak mampu menghadap kiblat seperti orang sakit yang tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, atau orang yang diikat pada kayu, maka ia boleh shalat sebagaimana adanya, dan kemudian ia wajib mengulanginya.”
- Al-Bajuri:
(تَتِمَّةٌ) عَلَى فَاقِدِ الطَّهُوْرَيْنِ وَهُمَا الْمَاءُ وَالتُّرَابُ أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرْضَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَيُعِيْدَهُ إِذَا وُجِدَ اَحَدُهُمَا.
“(Tatimmah): Orang yang tidak mendapatkan
air dan debu untuk bersuci, wajib melaksanakan shalat fardhu demi menghormat waktu dan kemudian mengulanginya bila telah mendapatkan salah satu dari keduanya.”
(Dikutip dari Muktamar NU ke-28 pada 25-28 November 1989 di Pesantren Krapyak Yogyakarta)
Oleh: Dr. Yusuf Suharto, M.Pd, Tim Aswaja NU Center PWNU Jatim, dan Tim Penulis Khazanah Aswaja.
Baca juga: Pandangan Kiai Hasyim Asy’ari Terkait Hukum Puasa Bagi Pekerja Berat