tebuireng.co- Secara umum tawassul bermakna perantara, yaitu sesuatu yang digunakan sebagai perantara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Menurut istilah (etimologi) tawassul bermakna pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dengan wasilah (media/perantara), baik berupa amal shalih, nama dan sifat, ataupun zat dan jah (derajat) orang shalih, misalnya para nabi, para wali, para ulama, dan sebagainya. Allah Swt berfirman dalam surah al-Maidah ayat 35:
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah carilah perantara mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kalian bahagia.”
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Wali, al-Hasan, Zaid, ‘Ata, as-Sauri dan lain-lain, mengartikan al-Wasilah di dalam ayat ini dengan mendekatkan diri. Ibnu Kasir dalam tafsirnya juga berkata: Kata wasilah ada kalanya berarti tempat tertinggi di surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Apabila engkau bersalawat kepadaku, maka mintakanlah untukku “wasilah”. Lalu beliau ditanya: “Wahai Rasullullah, apakah wasilah itu?.” Rasullulah menjawab, “Wasilah itu ialah derajat yang paling tinggi di Surga tidak ada yang akan mencapainya kecuali seorang saja dan saya berharap, sayalah orang itu.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah)
Baca juga: Kisah Tiga Pemuda Bertawasul Amal Saleh
Istilah dan perbuatan tawassul ini telah ada dari dulu sebagaimana yang diceritakan Allah dalam al-Quran surah Yusuf ayat 97-98. Allah menceritakan tentang tawassul saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayahnya Nabi Ya’qub untuk meminta ampunan Allah.
قَالُوْا يٰٓاَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَآ اِنَّا كُنَّا خٰطِـِٕيْنَ
قَالَ سَوْفَ اَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيْ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa).”
Dia (Yakub) berkata, “Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dia Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q. S. Yusuf : 97-98)
Pada masa Rasulullahpun tawassul juga bukanlah hal yang dilarang seperti hadis tentang kisah seorang buta yang berdo’a dengan bertawassul kepada Rasulullah sehingga matanya menjadi sembuh dan bisa melihat kembali
عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله ﷺ وجاءه رجل ضرير فشكا إليه ذهاب صره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله ﷺ : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعني في نفسى، قال عثمان :فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر
“Dari ‘Usman bin Hunaif R.A., beliau berkata; “Aku mendengar Rasulullah Saw saat ada seorang lelaki buta datang mengadukan matanya yang tidak berfungsi kepadanya, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah Saw, aku tidak punya pemandu dan sangat payah. Beliau bersabda: ‘Pergilah ke tempat wudhu, berwudhu, shalatlah dua raka’at, kemudian berdoalah (dengan redaksi): ‘Wahai Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu, dengan (menyebut) Nabi-Mu Muhammad Saw, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadap kepada Tuhan-Mu dengan menyebutmu, karenanya mataku bisa berfungsi kembali. Ya Allah terimalah syafaatnya bagiku, dan tolonglah diriku dalam kesembuhanku.’ ‘Utsman berkata: ‘Demi Allah kami belum sempat berpisah dan perbincangan kami belum begitu lama sampai lelaki itu datang (ke tempat kami) dan sungguh seolah-olah ia tidak pernah buta sama sekali’.” (HR. Al-Hakim, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi. Shahih)
Namun seringkali makna tawassul disalahpahami dengan beranggapan bahwa tawassul adalah perbuatan syirik yang dilarang. Hal tersebut seperti yang dilakukan orang jahiliyah yang menyebabkan mereka menjadi syirik bahkan menyekutukan Allah, yakni ketika orang-orang Jahiliyah dahulu memalingkan sebagian ibadah mereka kepada selain Allah swt, mereka ber-i’tiqad bahwa para wali itu baginya mempunyai pangkat dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt. Dan mereka mengangkat hajat-hajatnya kepada Allah swt. Seperti Latta yang disembah selain Allah di Thaif, padahal (sebenarnya) sebelum meninggal dunia ia adalah seorang yang memberikan suatu manfaat kepada manusia dan para jamaah haji pada khususnya.
Dulu Latta adalah orang yang pandai membuat adonan kue yang dicampur dengan minyak samin, lalu ia menyuguhkannya untuk orang-orang termasuk para jamaah haji. Ketika ia meninggal dunia, maka urusannya menjadi seperti orang besar yang berpengaruh di mana-mana. Orang-orang beri’tiqad bahwa ia mempunyai kelebihan dan kebaikan.
Maka orang-orang yang hidup di zamannya ikut berduka cita lalu mereka berulangkali datang ke makamnya kemudian mereka membangun di atasnya suatu bangunan dan bertawassul dengannya, mengelilingi kuburannya dan memohon kepadanya agar diselesaikan hajatannya serta dibebaskan dari kesulitan-kesulitannya.
Padahal sudah sangat jelas makna tawassul di sini hanyalah wasilah (perantara) bukan tujuan. Bertawassul dengan Nabi, waliyullah dan ulama adalah sebagai sebab yang dapat mendekatkan doanya dikabulkan oleh Allah swt. Sehingga dari sini menjadi jelas hakikat yang tampak dalam bertawassul sama sekali tidak terdapat unsur-unsur yang menyebabkan kesyirikan. Yang menyebabkan terjerumusnya pengamal tawassul dalam kesyirikan adalah jika mereka meyakini perantara itu yang dapat memberi manfaat dan menjauhkan dia dari mudharat tanpa campur tangan Allah Saw.
Baca juga: Jihad Fii Sabilillah dengan Cara Sabar