tebuireng.co – Tasyakuran pulang haji banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Namun, ada perbedaan pandangan mengenai hukum menggelar tasyakuran sepulang haji. Oleh karenanya penting kita lihat pendapat para ulama
Di Indonesia, tradisi menyambut kepulangan jemaah haji umumnya dilakukan dengan mengadakan tasyakuran sekaligus mengundang saudara atau kerabat. Menggelar tasyakuran sendiri seolah telah menjadi suatu tradisi yang berlaku pada sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam rangkaian acara tersebut, nantinya para undangan akan meminta doa dari para jemaah sekaligus menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh pemilik hajat. Tak luput pula, jemaah biasanya akan membagikan oleh-oleh khas haji seperti air zamzam, sajadah, tasbih, dan lain sebagainya.
Meski begitu, terkadang setiap daerah memiliki tradisinya sendiri. Semua hal tersebut dalam Islam dipotret dalam kerangka kajian hukum syariat sebagai walimatus safar. Lalu bagaimana pendapat para ulama?
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarth al-Muhadzab menjelaskan bahwa praktik ini hukumnya sunnah. Ia menyebutnya sebagai naqi’ah, yakni hidangan yang disedekahkan untuk menyambut kedatangan seseorang.
يستحب النقيعة، وهي طعام يُعمل لقدوم المسافر ، ويطلق على ما يَعمله المسافر القادم ، وعلى ما يعمله غيرُه له
“Disunahkan untuk mengadakan naqi’ah, yaitu hidangan makanan yang digelar sepulang safar. Baik yang menyediakan makanan itu orang yang baru pulang safar atau disediakan orang lain.” (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (4/400)
Sederhananya, naqi’ah tersebut adalah makanan yang sengaja disiapkan untuk makan bersama dalam rangka menyambut kedatangan seseorang yang telah melakukan safar.
Pendapat Imam an-Nawawi tersebut meneladani tindakan nabi usai melakukan safar atau perjalanan. Hal tersebut dijelaskan pada sebuah hadis riwayat sahabat Jabir.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة من سفره نحر جزوراً أو بقرةً ” رواه البخاري
“Sesunguhnya Rasulullah SAW ketika tiba dari Madinah sepulang safar, beliau menyembelih onta atau sapi.” (HR Bukhari)
Selain itu, hadis lain yang diriwayatkan Al Bukhari dari Abdullah bin Ja’far mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di Makkah, beliau disambut oleh anak-anak kecil dari Suku Bani Abdul Muthalib. Kemudian beliau menggendong salah satu mereka di depan dan yang lain di belakang.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ
“Jika Nabi SAW pulang dari safar, kami menyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain, lalu beliau menggendong salah satu di antara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau, hingga kami masuk kota Madinah.” (HR Muslim)
Berdasarkan dalil di atas, para ulama menyebutkan bahwa walimatus safar diperbolehkan bahkan dianjurkan. Pasalnya, dalam walimatus safar masyarakat tak hanya dapat menikmati hidangan, melainkan juga memiliki keutamaan untuk menjaga silaturahmi, mensyukuri nikmat Allah dengan kebahagiaan termasuk di antaranya bersedekah.
Oleh: Dinna