Layang-layang terbang di tengah hujan deras, bunyi sawangannya samar oleh suara rintik hujan dan tiupan angin yang menerpa pepohonan. Awan terlihat kelabu seolah ingin menumpahkan segala cairan dalam tubuhnya. “Siapa orang gila yang menerbangkan layang-layang saat hujan begini?” tanya Abdul Hadi pada dirinya saat hampir menyulut rokok dan menyeruput kopi hitam yang diseduhnya sendiri. Abdul Hadi, seorang mahasiswa pertanian dari salah satu kampus di kota Malang yang kebetulan sedang pulang kampung, dia sesekali pulang ketika libur semester atau ketika ada hajatan keluarganya.
Selain cerdas, Abdul Hadi termasuk anak yang beruntung karena bisa bersekolah sampai ke bangku kuliah, meskipun hal itu wajar saja dia dapatkan karena ayahnya adalah petani yang rajin dan memiliki tanah yang luas. Memang, setiap anak ingin sekolah tinggi tapi tak semuanya bernasib seperti Abdul Hadi.
Setiap Abdul Hadi pulang kampung dia biasa datang ke rumahku dan duduk di kobhung sambil mengajakku mendengarkan pengalamannya di kampus, bahkan kalaupun aku sedang sibuk menyabit rumput untuk pakan sapi atau mengambil air bersih di sumur untuk kebutuhan dapur, dia rela berlama-lama menungguku di kobhung, tak lain karena dia ingin berbagi pengalaman tentang apa yang diperolehnya di kota orang. Dia terkadang tertawa saat bercerita tentang kenyataan dan pengalaman yang berbeda di sana, semisal saat dia bercerita tentang teman-teman kelasnya di jurusan pertanian yang tak memiliki keterampilan bercocok tanam.
“Bahkan tak tampak pada mereka gambaran seorang petani,” ejeknya. “Coba kamu bayangkan Har, saat kami studi banding proses penanaman singkong gajah di Pasuruan, mereka menancapkan batang singkong secara terbalik, memang batang itu tetap akan tumbuh tapi akarnya tidak akan kuat. Akhirnya semua pekerjaan mereka dicabut kembali oleh para petani di sana.” Abdul Hadi tertawa mengingatnya. Dengan pengalaman-pengalaman seperti itu dia selalu merasa lebih beruntung dibanding yang lain lantaran dia dilahirkan dari keluarga petani sehingga semua teknik pertanian telah lama dia praktikkan bahkan sebelum dia mendapat pendidikan di bangku kuliah.
Namun saat Abdul Hadi pulang pada liburan semester tahun ketiga dia datang ke rumahku sambil membawa beban pikiran dan sebuah pertanyaan yang menurutnya cukup sulit dipahaminya yakni pertanyaan tentang mengapa di zaman kakeknya dulu orang sulit makan. “Bukankah tanah sekarang sama seperti tanah yang dulu, Har? Kalau sekarang padi tumbuh di tanah itu kenapa dulu orang-orang masih sulit makan nasi beras, mengapa untuk sekedar makan nasi beras terkadang harus menunggu acara kawinan atau ada orang meninggal,” ucapnya dengan penuh heran. Sayapun cuma bisa diam mendengarkan keheranan Abdul Hadi. Kalau sudah bicara perihal pertanian dia bisa berbicara panjang lebar dan lama. Bukan hanya tentang pertanian yang ada di kampung saja tapi juga pertanian yang ada di wilayah lain di Indonesia bahkan di negara-negara lain yang maju.
Pernah suatu pagi yang aku lupa kapan, Abdul Hadi bertanya kepada kakeknya: “Apakah dulu setiap panen kakek membayar upeti ke pamong?”
“Tidak Nak, kami tidak pernah membayar upeti ke pamong, tapi memang dulu keadaan kami memang melarat. Dulu, kakek menjual gaplek cringkeng ke pasar, jalan kaki sampai puluhan kilo meter. Dulu hidup sulit tidak seperti sekarang, sekarang makan sudah mudah dan enak, dulu makannya singkong dan nasi jagung, jarang orang makan nasi beras,” jawab kakek Tandur.
“Tanah kita ini memang paling cocok ditanami tembakau, walaupun pengerjaannya menguras biaya dan tenaga tapi hasilnya lumayan,” lanjut kakek Tandur. Mendengar jawaban kakek Tandur waktu itu, Abdul Hadi masih menyimpan tanya besar. Mengapa lahan yang sama dan musim yang sama bisa menciptakan kondisi manusia yang berbeda.
Tentu saja Abdul Hadi dengan pengalamannya di bangku kuliah mengetahui bahwa kondisi masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi pertanian. Dan oleh sebab itu pula dia merasa semakin bersemangat mempelajari teknik-teknik pertanian, agribisnis, kondisi ekologi dan semua hal yang berhubungan dengan dunia pertanian. Dia kemudian tersadar akan satu hal, lahan boleh sama, musim boleh sama tapi hasil produksi tetaplah terletak pada pengetahuan petaninya, mulai pembibitan, pupuk pada tanaman, sampai strategi penjualan hasil tanam.
Menurut Abdul Hadi, pengetahuan tentang bercocok tanam bagi orang-orang di kampung adalah pengetahuan alamiah yang didapat dari kebiasaan leluhur turun temurun. Abdul Hadi mengerti dengan sikap para petani yang maklum dengan keadaan itu. Dia mengingat kembali sebuah artikel yang dia baca di internet tentang bagaimana China dan Jepang mengembangkan pertaniannya.
“Aku pernah baca di internet tentang pengembangan pertanian di China, orang-orang di sana sangat bersemangat dalam bertani bahkan jumlah pekerja di sektor pangan dan pertanian mencapa sekitar 315 juta orang, jumlah itu lebih banyak dari total penduduk Indonesia yang kisaran 267 juta orang. Aku paham kenapa mereka bersemangat dalam bertani, salah satunya karena mereka dibekali pengetahuan mengoperasikan mesin tanam sampai panen dan ketersediaan pupuk dijamin pemerintah. Sedang kita?” katanya sambil menghela nafas.
“Di Jepang teknologi pertanian sangat maju, mereka menggunakan teknologi pertanian yang canggih untuk menanam, memupuk, hingga memanen, mereka menggunakan mesin untuk membajak sawah sehingga penggarapan lebih cepat selesai. Pemerintah juga sangat perhatian kepada para petani. Pengelolaan pertanian Jepang telah diatur dengan rapi, mulai dari jenis tanaman yang disesuaikan dengan permintaan pasar, ketersediaan pupuk tanaman, sampai harga hasil panen semua dikontrol langsung oleh pemerintah. Hasil panennya kebanyakan dibeli langsung oleh pemerintah sehingga bisa menetapkan harga yang layak bagi para petani. Mereka betul-betul memanfaatkan tanah mereka yang tidak lebih subur dari tanah kita ini, tanah kita ini subur Har, tapi kita bersikap seolah hidup di tanah tandus.” tegas Abdul Hadi menerangkan kegelisahannya. Dan memang begitulah Abdul Hadi, mahasiswa pertanian yang selalu bersemangat kalau sudah bicara tentang pertanian.
Sejak dulu Abdul Hadi memang punya rasa ingin tahu yang tinggi, umurnya sepentaranku. Sejak sekolah di SD kami selalu duduk satu kelas sampai sekolah di SMA. Cuma ketika dia mulai melanjutkan kuliah di kota Malang kami berpisah, aku tidak melanjutkan kuliah karena tidak punya biaya. Aku hanya petani biasa yang cuma tinggal sama kakek dan nenek di rumah. Aku bersyukur memiliki teman sepertinya karena dia akan selalu membagikan pengalamannya saat sedang pulang kampung.
***
Hujan sore ini mulai reda, layang-layang terbang tinggi di angkasa. Bunyi sawangannya mulai terdengar nyaring lantaran rintik hujan tak lagi menerpa daun-daun di pepohonan. Kilau jingga muncul samar-samar ketika mobil Carry masuk ke halaman rumah dan saya sudah selesai membereskan semua perlengkapan.
“Sudah siap?” tanya sang sopir.
“Tunggu sebentar, aku ingin ke Abdul Hadi, kebetulan dia sekarang sedang ada di rumahnya,” jawabku kepada sang sopir. Aku langsung bergegas menuju rumah Abdul Hadi dan mendapati orangnya sedang duduk menikmati kopi di emperan. Dia melihatku dari kejauhan sambil tersenyum. Setelah aku berada di depannya dia menunjukkan sikap keheranan.
“Mau ke mana kau Har, kok rapi sekali?” tanyanya sambil menepuk pundakku.
“Saya mau kerja ke Arab Di,” jawabku, mendengar itu Abdul Hadi mengurungkan senyumnya. Saya tahu apa yang dia pikirkan, dia mungkin kecewa dengan pilihanku menjadi TKI ini, tapi beginilah, aku tak punya pilihan lain. []
Penulis: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Rangsangan Kesusastraan